Peran Sederhana

Januari 12, 2020

Baca Juga


"Ping!"

Foto-foto menyerbu Whatsapp saya. Gambarnya berjejer dalam rentetan sekian detik. Foto itu menunjukkan suasana aksi sosial yang baru saja dilakukan teman saya dan rekan-rekannya.

Melihat tawa dan komentar mereka, membuat saya sangat terhibur. Satu-satunya yang saya sesali karena tak hadir di antara relawan-relawan itu. Mereka ramai-ramai datang dari luar kota Bogor hanya demi menghibur korban bencana longsor.

Sementara di hari yang sama, saya justru dijejali dengan tugas liputan. Sebagai orang baru, saya tak bisa menolak tugas apa pun. Melipir ke kampus IPB, hanya untuk menyaksikan momen pengukuhan tiga guru besarnya.

Padahal, seharusnya saya menjadi salah satu "penunjuk jalan" di lokasi bencana. Ikut merangkum duka demi memanen suka. Jauh hari juga sudah meniatkan hal itu. Damn

***

Kondisi korban bencana longsor di Kabupaten Bogor itu sudah menjadi pemandangan umum di hari-hari pertama saya menjalani liputan di tempat kerja yang baru. Jalan becek. Jalan yang tertutup longsoran. Warga yang berlarian meninggalkan kampungnya. Semuanya menjadi bagian dari kehidupan nyata pertama saya di Bogor.

Hari pertama menyadarkan untuk memakai sandal saja di hari berikutnya. (Imam Rahmanto)

Saya tak punya siapa-siapa di tempat baru ini. Sejatinya benar-benar merantau. Bahkan, sekadar teman jalan pun belum ada. Liputan semacam itu terpaksa hanya bisa mengandalkan boncengan dari rekan sekantor. Kami menempuh jarak yang bisa menghabiskan waktu tiga jam. Pun, kami harus selalu bolak-balik ke kota, setiap hari.

"Seandainya saya masih bujang, mam, saya juga mau nginap," teman pertama saya sebagai rekan satu media.

Benar yang dikatakannya. Kami seharusnya tak butuh alasan untuk berbaur dengan korban-korban di bencana longsor Bogor. Bukan perkara mudah menanggalkan empati melihat kondisi mereka yang kehilangan harta hingga sanak saudara. Mulut kami hanya bisa menganga mendengar langsung cerita-cerita para korban. Yah, betapa bencana besar baru saja terjadi di Bogor dan sekitarnya.

"Anak saya mengungsi dengan berjalan kaki keliling gunung. Anak bayinya masih menyusui. Ibunya terpaksa meminum air tadahan hujan agar bayi tetap bertahan selama jalan mengungsi itu," cerita-cerita di warung bertaburan bak air sungai.

"Kelihatan di sana kampungnya longsor. Orang-orang teriak nyuruh lari," kisah lainnya di waktu berbeda.

Anak-anak memandang kosong. Berlarian di antara tumpukan tanah berwarna cokelat. Bantuan terus saja berdatangan. Lalu lalang di hadapan mereka. Itu jadi pemandangan bagi wajah-wajah polos yang juga meminta diperhatikan. Dalam benak mereka pun, harapan mengudara bebas.

Tak adakah yang bisa membagikan permen, eskrim, atau sebaris senyumnya kepada kami? Kenapa orang-orang dewasa begitu ibuk?

"Saya juga punya anak-anak kan, mam. Jadinya, tahu bagaimana rasanya melihat orang tua mereka menggendongnya keluar dari kampung," ucap rekan saya itu.

Kami sering kali mengantre di jalan keluar kecamatan. Longsor menimbun jalan dan harus dikeruk dengan alat berat. Tak tahan mengantre dengan tanah masih rawan, banyak orang tua memilih berjalan kaki menggendong anaknya. Sembari menunggu motor usai mengantre di titik longsor itu.

Sejujurnya, saya berjumpa dengan banyak wajah muram di lokasi bencana. Langit bernuansa kelabu. Tanah tak setegas biasanya. Hujan kadang tiba cepat sekali. Kadang terlambat hebat sekali. Orang-orang sibuk mendata banyak hal, mengangkut, hingga mencari orang hilang. Anak-anak hanya bisa tenggelam dalam dunianya yang kelam.

Melihat itu, saya tak tahu hendak berbuat apa. Kebiasaan saya menyimpan camilan di saku jaket. Lantas membagikan jajanan itu kepada anak-anak yang lewat. Meski begitu, ternyata sebatang cokelat saja sudah bisa membuat mereka tersenyum riang dan mengucap terima kasih dari binar matanya. Hari berikutnya, saya biasanya memenuhi saku jaket dengan lebih banyak wafer atau biskuit cokelat.

Beruntunglah, seorang teman dari Jakarta menginisiasi kegelisahan itu. Baginya, tak sulit mencari teman-teman yang bisa terjun menyulap tawa bagi anak-anak di sana. Yah, karena saya sebatang kara di tempat ini, kepada siapa lagi saya meminta bantuan? Terima kasih, kalian. Ia punya relasi dan jaringan dari pekerjaannya yang kerap berurusan dengan komunitas.

"Kalau relawan 10-15 kebanyakan gak ya?" sambarnya.

Anak-anak bisa sedikit terhibur. Melupakan kegetiran bencana yang melahap harta dan impian mereka. Meluapkan semangat. Di tanah bencana, mereka harus bangun dan tetap tegar. Setidaknya, memori mereka akan mengenang momen itu sebagai "ketegaran" semasa kecil.

Terima kasih, kakak-kakak. (Komunitas Dongeng)

Bencana memang meruntuhkan banyak harapan. Fondasi impian porak-poranda. Menenggelamkan semangat untuk hidup. Akan tetapi, ia juga menjalin rantai yang sangat kuat satu sama lain. Orang-orang tergerak mengulurkan tangannya. Ketika satu harapan hilang, maka harapan lainnya perlahan tumbuh seperti benih baru.

Sekecil apa pun, setiap orang punya peran masing-masing. Sesederhana membuat anak-anak tertawa. Sesederhana orang tua ikut tertawa melihatnya anaknya kembali riang.

Sesederhana itu. []


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments