Normal yang Baru
April 30, 2020Baca Juga
Ini hari terakhir April.
Ini puasa ketujuh.
Tahun keempat saya menjalani puasa di tempat yang berbeda. Kali ini jauh lebih "terasing" dibanding dua tahun silam. Kalau dulu saya masih bisa menjumpai teman-teman kuliah, sekarang tak begitu.
Kini, benar-benar sebatang kara di kota hujan. Terasing tanpa kenalan. Suasana di indekos juga mulai terasa sunyi sebulan terakhir. Hanya menyisakan saya seorang diri. Para penghuni telanjur pulang karena aturan pandemi yang kian diperketat.
Saya cukup beruntung, masih bisa merasai sedikit aroma bekerja di kota ini. Banyak pekerja di luar sana babak belur terkena imbas pandemi Covid-19.
Bahkan, terhitung hari ini, kantor tempat saya bekerja akhirnya buang handuk. Beberapa teman saya terpaksa mengantongi surat "perpisahan" dari kantor. Tak terkecuali, sebagian orang yang masa bekerjanya lebih "senior" dibanding saya yang masih seumur jagung.
"Bagus ji itu pale alhamdulillah. Kuatki dekkengmu berarti," cetus seorang teman lama dari seberang pulau.
Saya hanya menanggapinya dengan tertawa. Setidaknya, teman saya itu punya alasan untuk ikut bernapas lega. Sedikit tertawa. Selepas dirinya bergantung akan nasib yang malang karena gagal menikah. *Saya akan bercerita kemudian.
Sungguh, tak ada siapa-siapa yang menemani di kota ini.
Seorang senior yang awalnya mengajak saya bergabung juga telah memilih resign, sebulan silam. Penyakitnya tak bisa diajak berkompromi dengan kesibukan melampaui batas istirahat. Apalagi, kata rekan-rekan kantor saya, pemimpin redaksi itu pernah diopname cukup lama dan menjalani operasi di Bandung.
Agar tak mengulang kejadian yang sama, ia memutuskan untuk memangkas ritme kerjanya. Beralih kepada pekerjaan-pekerjaan di luar urusan berita dan berita.
Saya seolah anak lelaki yang harus belajar mengayuh sepedanya sendirian. Awalnya dipegang dan dituntun perlahan. Setelahnya, sudah harus mengayuh sendirian kemana pun ingin bepergian.
"Santai mako dibilang sudah na atur Allah skenarionya hidupmu," entah jin mana lagi yang merasuki teman saya hingga bisa bertutur begini.
Keadaan memang tampak berjungkir balik belakangan ini. Semua orang terkena imbas pandemi wabah Covid-19. Perusahaan-perusahaan gulung tikar. Ekonomi kian melemah. Pengangguran bertambah hampir setiap hari.
Entah sampai kapan orang-orang akan membumbungkan harapan terbebas dari "penjara" di rumah sendiri. Seperti kata mereka, sudah bosan rasanya di dalam rumah. Ingin rasanya berjalan keluar menantang mentari dan menari-nari.
Ataukah sekadar berjalan-jalan di taman. Berdesak-desakan mengantre barang kesukaan. Berpelukan mesra. Bergandengan tangan dengan orang terkasih. Bahkan sekadar duduk sendirian di antara keramaian kafe menjadi angan-angan tiada tara. Kapan semuanya akan kembali normal?
Atau jangan-jangan... ini adalah kehidupan normal yang baru. Tak ada lagi pertemuan-pertemuan. Segalanya berpacu di dunia maya. Sekolah. Pekerjaan. Keluarga. Dunia nyata yang semakin lengang.
"Hukum rimba" perekonomian juga bukan lagi soal fisik di dunia nyata. Malah, teknologi menjadi daya dorong paling utama. Yah, bisa saja ini menjadi "the new normal"; kehidupan di-reset dengan cara yang berbeda. Manusia harus kembali beradaptasi. Bukankah kehidupan purba kita berevolusi dengan melabrak kebiasaan-kebiasaan terdahulu?
Reset and Restart, maybe. []
Ini puasa ketujuh.
Tahun keempat saya menjalani puasa di tempat yang berbeda. Kali ini jauh lebih "terasing" dibanding dua tahun silam. Kalau dulu saya masih bisa menjumpai teman-teman kuliah, sekarang tak begitu.
Kini, benar-benar sebatang kara di kota hujan. Terasing tanpa kenalan. Suasana di indekos juga mulai terasa sunyi sebulan terakhir. Hanya menyisakan saya seorang diri. Para penghuni telanjur pulang karena aturan pandemi yang kian diperketat.
Mencoba kebiasaan baru. (Imam Rahmanto) |
Saya cukup beruntung, masih bisa merasai sedikit aroma bekerja di kota ini. Banyak pekerja di luar sana babak belur terkena imbas pandemi Covid-19.
Bahkan, terhitung hari ini, kantor tempat saya bekerja akhirnya buang handuk. Beberapa teman saya terpaksa mengantongi surat "perpisahan" dari kantor. Tak terkecuali, sebagian orang yang masa bekerjanya lebih "senior" dibanding saya yang masih seumur jagung.
"Bagus ji itu pale alhamdulillah. Kuatki dekkengmu berarti," cetus seorang teman lama dari seberang pulau.
Saya hanya menanggapinya dengan tertawa. Setidaknya, teman saya itu punya alasan untuk ikut bernapas lega. Sedikit tertawa. Selepas dirinya bergantung akan nasib yang malang karena gagal menikah. *Saya akan bercerita kemudian.
Sungguh, tak ada siapa-siapa yang menemani di kota ini.
Seorang senior yang awalnya mengajak saya bergabung juga telah memilih resign, sebulan silam. Penyakitnya tak bisa diajak berkompromi dengan kesibukan melampaui batas istirahat. Apalagi, kata rekan-rekan kantor saya, pemimpin redaksi itu pernah diopname cukup lama dan menjalani operasi di Bandung.
Agar tak mengulang kejadian yang sama, ia memutuskan untuk memangkas ritme kerjanya. Beralih kepada pekerjaan-pekerjaan di luar urusan berita dan berita.
Saya seolah anak lelaki yang harus belajar mengayuh sepedanya sendirian. Awalnya dipegang dan dituntun perlahan. Setelahnya, sudah harus mengayuh sendirian kemana pun ingin bepergian.
"Santai mako dibilang sudah na atur Allah skenarionya hidupmu," entah jin mana lagi yang merasuki teman saya hingga bisa bertutur begini.
Keadaan memang tampak berjungkir balik belakangan ini. Semua orang terkena imbas pandemi wabah Covid-19. Perusahaan-perusahaan gulung tikar. Ekonomi kian melemah. Pengangguran bertambah hampir setiap hari.
Entah sampai kapan orang-orang akan membumbungkan harapan terbebas dari "penjara" di rumah sendiri. Seperti kata mereka, sudah bosan rasanya di dalam rumah. Ingin rasanya berjalan keluar menantang mentari dan menari-nari.
Ataukah sekadar berjalan-jalan di taman. Berdesak-desakan mengantre barang kesukaan. Berpelukan mesra. Bergandengan tangan dengan orang terkasih. Bahkan sekadar duduk sendirian di antara keramaian kafe menjadi angan-angan tiada tara. Kapan semuanya akan kembali normal?
Atau jangan-jangan... ini adalah kehidupan normal yang baru. Tak ada lagi pertemuan-pertemuan. Segalanya berpacu di dunia maya. Sekolah. Pekerjaan. Keluarga. Dunia nyata yang semakin lengang.
"Hukum rimba" perekonomian juga bukan lagi soal fisik di dunia nyata. Malah, teknologi menjadi daya dorong paling utama. Yah, bisa saja ini menjadi "the new normal"; kehidupan di-reset dengan cara yang berbeda. Manusia harus kembali beradaptasi. Bukankah kehidupan purba kita berevolusi dengan melabrak kebiasaan-kebiasaan terdahulu?
Reset and Restart, maybe. []
--Imam Rahmanto--
0 comments