yang Sakit, yang Bertahan

November 22, 2019

Baca Juga

Beberapa hari lalu, seorang wartawan senior baru saja masuk rumah sakit. Ia dirawat karena mendadak dijangkiti vertigo. Penyakit, yang kata orang, dipengaruhi efek kelelahan dan banyak pikiran. Apalagi, ia juga seorang perempuan yang usianya tak muda lagi.

"Jangan sekali-kali berbicara soal jodoh, nikah, dan semacam itu di hadapannya," pesan teman-teman wartawan, selalu, kepada setiap 'anak baru' di kalangan mereka.

Rumah sakit hanya berjarak 500 meter dari warkop langganan kami. Sungguh durhakalah jikalau saya tak meluangkan waktu membesuknya. Kemarin, saya juga mendapati sebuah kalimat menohok di Twitter.



Terakhir kali saya berkunjung ke rumah sakit ini  justru ketika pertama kali bertugas sebagai wartawan di media massa. Seorang junior dari lembaga kampus dirawat di sana. Gara-gara itu pula, saya menjadi akrab dengan ayahnya.

Kini, saya kembali melintasi waktu melalaui selasarnya. Bedanya, ketika saya baru saja melepas status pekerjaan yang dulu itu. Betapa epik bagaimana Tuhan mengatur awal dan akhir itu...

Wartawan senior yang terbujur di kamar lantai kedua itu termasuk orang yang menyambungkan saya dengan dunia kriminal. Sebagai orang yang lebih suka menyendiri, saya tidak punya banyak teman di desk baru itu. Pikiran idealis sebagai pekerja media juga masih mengakar dalam kepala saya. Ternyata, saya berjumpa orang yang lebih idealis dibanding saya.

Beberapa orang di pekerjaan kami tentu menjadikannya "role model". Ia cukup getol dalam menggali informasi. Bertemu narasumber, tak pernah meloloskan satu pun pertanyaan dari mulutnya. Karena posturnya yang kecil dan "terlalu banyak tanya", orang-orang akan mudah mengenalnya.

Sayangnya, dunia sungguh kejam melabeli orang-orang dengan idealisme setangguh itu. Sekuat-kuatnya kita mempertahankan "hal-hal yang ideal", kita akan dikucilkan dari pergaulan.

Orang-orang lebih senang bersikap realistis. Menerima apa yang berlaku untuk kebanyakan. Selama bisa mengisi perut, tak masalah jadi penurut. Idealis, kata dunia, sudah ketinggalan zaman.

Saya yang bergerak di luar pergaulan masih beruntung bisa menyimak sekat-sekat yang terjadi. Tak jarang, teman saya itu dijauhi kalangannya sendiri. Mungkin, karena memang ia terlalu teguh dan dianggap kaku memegang idealismenya itu. Bahkan, hingga beranjak usia kepala empat, ia masih berjibaku dengan debu dan panas matahari di lapangan. Salah satu organisasi wartawan menjadi tempatnya berpulang di saat-saat dunia terlihat tak adil padanya.

Akh, saya bercerita begini seolah banyak tahu tentangnya. Padahal, pertemuan kami dulu hanya sebatas liputan kriminal, press conference, atau ongkang-ongkang kaki merampungkan naskah di warung kopi (warkop) tengah kota. Warkop kumuh yang memang hanya menyisakan segelintir wartawan di tengah menjamurnya kafe-kafe modern. Termasuk saya, yang lebih menyenangi kesunyian, kala itu.

Kini, sosoknya terbaring tak berdaya di ranjang kamar perawatan itu. Matanya berkunang-kunang. Kerongkongannya kerap tak ingin berkompromi. Beberapa teman akrabnya, sesama anggota organisasi itu, masih setia menemani.

"Sudah memang saya bilang, kerja itu untuk hidup. Bukan hidup untuk kerja," cecar seorang wartawan perempuan senior lainnya di tengah perbincangan kami.

"Yah, jangan terlalu dipaksa kerja, Kak. Kalau sudah jatuh sakit begini, belum tentu gaji bisa dipakai bayar semua biaya pengobatan..." ucapan saya menghilang perlahan.

Saya nyaris melanjutkannya dengan, "Belum lagi, tidak ada pasangan yang mau jagai ki disini." Namun, urung. Ucapan itu justru akan menjadi peluru tak kasat mata yang melubangi kepala karena tatapan tajamnya.

Dari kunjungan berujung senja itu, saya memulangkan banyak hal.

Kesehatan menjadi bagian paling penting dalam hidup. Barangkali, Tuhan memang tak sekaligus menghadiahi saya dengan segepok uang atau pekerjaan yang bagus. Kesehatan kadang tak pernah menjadi prioritas melabeli "rezeki" itu. Yah, kita memang manusia-manusia tak tahu diri. Terlalu sombong menganggap kesehatan sudah satu-paket dengan penciptaan badan.

Teman-teman saya pernah mengalami berbagai penyakit karena kelelahan bekerja. Paling sering menjangkiti seperti typhus atau tipes. Gejalanta tentu tak jauh-jauh dari fisik dan batin yang diporsir bekerja. Sepanjang pekerjaan saya, hampir semua teman pernah mengalaminya.

Saya wajib bersyukur, belum diuji Tuhan dengan penyakit-penyakit berat seperti itu. Penyakit paling mengesalkan hanyalah batuk berdahak yang berlangsung hingga tiga bulan. Saya sampai was-was jika harus berujung pada dokter dengan rontgen seperti pengalaman teman. Ternyata, tanpa perlu dipikirkan macam-macam, sambil terus direcoki kopi, penyakit saya itu perlahan menghilang.

Pikiran selalu berkorelasi dengan tubuh. Obat paling mujarab, ya, dari pikiran itu. Berkontemplasi. Bahkan, saya punya banyak waktu merenung di masa jeda kerja seperti ini.

"Tapi, bagaimana cara ta hidup selama tidak ada pekerjaan?" Seorang perempuan mungil lainnya pernah bertanya.

Saya hanya menjawabnya dengan tersenyum. Padahal, kepala sedang mendata teman-teman yang selalu rela saya susahkan. Maaf ya, teman-teman.. []

Mitosnya, kucing punya sembilan nyawa. (Imam Rahmanto)



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments