Selamat, Guru
November 25, 2019Baca Juga
Selamat kepada siapa saja yang berprofesi guru pada hari ini. Bahkan, kepada teman-teman saya yang sedang meniti jalan ke arah hidup itu, sudah seharusnya mendapatkan selamat.
Selamat pula untuk saya, yang seharusnya melanjutkan titel kependidikan yang melekat di belakang nama. Sayangnya, saya memilih menanggalkan titel itu atas alasan passion dan ketenangan hidup. Masa bodoh dengan waktu 3 tahun 30 bulan yang dihabiskan untuk meraih titel di kampus.
Peran sebagai guru seharusnya menjadi putaran hidup bagi saya. Toh, jalan hidup pernah berkolaborasi menghadapkan saya pada jurusan kependidikan. Menamatkannya pula dengan segala ilmu tentang bagaimana mengajar di dalam kelas. Hal-hal berbau pedagogis dengan titel sarjana pendidikan dari Matematika.
Sungguh, saya tak pernah pandai menjadi guru. Romantika guru terakhir kali melekat pada masa KKN-PPL, enam tahun silam. Akh, saya jadi rindu anak-anak Aljabar dan Einstein. Bagaimana kabar kalian kini? Apakah hidup tak membuat kalian jungkir-balik?
Jiwa saya memang tak cocok terkungkung dalam kelas dengan segala silabus dan absensi yang berhubungan dengan administrasi. Saya lebih senang menjadi manusia bebas; bebas bertemu orang baru, bebas berjalan kemana saja, bebas menjalani waktu sekarang. Cukuplah saya menjadi guru di rumah bagi anak-anak kita kelak. #ehh
Padahal, kalau merunut keinginan guru-guru di sekolah dulu, mereka mungkin menyimpan harapan agar saya melanjutkan kiprahnya. Seandainya pun mau, saya akan kembali ke sekolah itu dan menjalani hidup sebagai guru.
Masa sekolah saya cenderung berjalan begitu mulus. Saya tak pernah merasai menjadi berandalan sekolah yang saban hari diuber-uber guru BK. Saya condong menjadi anak kesayangan hampir semua guru. Saya punya privilege di mata para guru. Karena itu, tak ada hal-hal luar biasa yang berlangsung selama masa sekolah saya.
Hal paling mengenaskan hanya ketika diminta guru mapel seni untuk berdiri satu kaki di depan kelas. Saya terlalu banyak bermain di bangku belakang. Sementara di waktu SMA, saya pernah berseteru dengan guru Matematika dan Fisika karena juga dianggap terlalu "sok" pintar di dalam kelas.
Sejatinya, sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Ketika beranjak dewasa, saya menyadari banyak hal yang bisa berperan sebagai guru. Siapa saja bisa menjadi guru. Seperti kata potongan motivasi legend di buku tulis; "Experiences is the best teacher".
Sekolah selalu jadi tonggak awal untuk menyadari hal itu. Keluarga menjadi tempat menanam akarnya. Sekolah yang menumbuhkannya perlahan. Dasar mencerna kehidupan ada di sekolah. Entah kita akan dicap sebagai anak paling pintar atau paling berandalan.
Di kehidupan sekarang pun, saya enggan mengkotak-kotakkan label semacam itu kepada anak-anak sekolah. Saya menyadari, anak-anak bisa menjadi apa saja di masa depan.
Mereka yang sering berbuat ulah, bisa jadi menyimpan bakat yang lebih cerah. Tak ada jaminan, mereka yang berprestasi akan menjalani hidup dengan penuh inovasi. Belantara kehidupan itu jauh lebih menyeramkan dan penuh misteri.
Guru sudah seharusnya menjadi pamong bagi siswanya. Bukan untuk membaca dan menentukan masa depannya, sembari mengkotak-kotakkan dan memasang sekat. Tugas guru yang sebenarnya adalah membuka jalan sesuai dengan keterampilan anak-anak didiknya. Kalau bisa, guru seharusnya memberi inspirasi bagaimana menjalani hidup, kelak.
Kini, ketika teman di sekeliling saya berlomba-lomba mendaftarkan diri sebagai abdi negara, saya hanya jadi penggembira.
"Kamu ndak daftar? Banyak loh formasi guru dibuka,"
"Ndak ah," ringkas saya. Dasar keras kepala.
"Kenapa? Coba saja. Siapa tahu rejekimu malah disitu,"
"Ndak ada niatku juga mau jadi PNS,"
Saya masih percaya, rezeki itu bukan perihal "siapa tahu" atau "gambling". Apalagi seenaknya memilih 'ban serep' di kala saya masih belum mendapatkan pekerjaan lagi.
Setiap orang punya kuasa dan 'privilege' menentukan jalannya masing-masing. Saya akan menjalani apa yang memang benar-benar saya ingin jalani.
Karena pada akhirnya, pun, PNS bukan jalan ninjaku~ []
Selamat pula untuk saya, yang seharusnya melanjutkan titel kependidikan yang melekat di belakang nama. Sayangnya, saya memilih menanggalkan titel itu atas alasan passion dan ketenangan hidup. Masa bodoh dengan waktu 3 tahun 30 bulan yang dihabiskan untuk meraih titel di kampus.
Peran sebagai guru seharusnya menjadi putaran hidup bagi saya. Toh, jalan hidup pernah berkolaborasi menghadapkan saya pada jurusan kependidikan. Menamatkannya pula dengan segala ilmu tentang bagaimana mengajar di dalam kelas. Hal-hal berbau pedagogis dengan titel sarjana pendidikan dari Matematika.
Kenang-kenangan terakhir di masa PPL. (Imam Rahmanto) |
Sungguh, saya tak pernah pandai menjadi guru. Romantika guru terakhir kali melekat pada masa KKN-PPL, enam tahun silam. Akh, saya jadi rindu anak-anak Aljabar dan Einstein. Bagaimana kabar kalian kini? Apakah hidup tak membuat kalian jungkir-balik?
Jiwa saya memang tak cocok terkungkung dalam kelas dengan segala silabus dan absensi yang berhubungan dengan administrasi. Saya lebih senang menjadi manusia bebas; bebas bertemu orang baru, bebas berjalan kemana saja, bebas menjalani waktu sekarang. Cukuplah saya menjadi guru di rumah bagi anak-anak kita kelak. #ehh
Padahal, kalau merunut keinginan guru-guru di sekolah dulu, mereka mungkin menyimpan harapan agar saya melanjutkan kiprahnya. Seandainya pun mau, saya akan kembali ke sekolah itu dan menjalani hidup sebagai guru.
Masa sekolah saya cenderung berjalan begitu mulus. Saya tak pernah merasai menjadi berandalan sekolah yang saban hari diuber-uber guru BK. Saya condong menjadi anak kesayangan hampir semua guru. Saya punya privilege di mata para guru. Karena itu, tak ada hal-hal luar biasa yang berlangsung selama masa sekolah saya.
Hal paling mengenaskan hanya ketika diminta guru mapel seni untuk berdiri satu kaki di depan kelas. Saya terlalu banyak bermain di bangku belakang. Sementara di waktu SMA, saya pernah berseteru dengan guru Matematika dan Fisika karena juga dianggap terlalu "sok" pintar di dalam kelas.
***
Sejatinya, sekolah bukan satu-satunya tempat belajar. Ketika beranjak dewasa, saya menyadari banyak hal yang bisa berperan sebagai guru. Siapa saja bisa menjadi guru. Seperti kata potongan motivasi legend di buku tulis; "Experiences is the best teacher".
Sekolah selalu jadi tonggak awal untuk menyadari hal itu. Keluarga menjadi tempat menanam akarnya. Sekolah yang menumbuhkannya perlahan. Dasar mencerna kehidupan ada di sekolah. Entah kita akan dicap sebagai anak paling pintar atau paling berandalan.
Di kehidupan sekarang pun, saya enggan mengkotak-kotakkan label semacam itu kepada anak-anak sekolah. Saya menyadari, anak-anak bisa menjadi apa saja di masa depan.
Mereka yang sering berbuat ulah, bisa jadi menyimpan bakat yang lebih cerah. Tak ada jaminan, mereka yang berprestasi akan menjalani hidup dengan penuh inovasi. Belantara kehidupan itu jauh lebih menyeramkan dan penuh misteri.
Guru sudah seharusnya menjadi pamong bagi siswanya. Bukan untuk membaca dan menentukan masa depannya, sembari mengkotak-kotakkan dan memasang sekat. Tugas guru yang sebenarnya adalah membuka jalan sesuai dengan keterampilan anak-anak didiknya. Kalau bisa, guru seharusnya memberi inspirasi bagaimana menjalani hidup, kelak.
***
Kini, ketika teman di sekeliling saya berlomba-lomba mendaftarkan diri sebagai abdi negara, saya hanya jadi penggembira.
"Kamu ndak daftar? Banyak loh formasi guru dibuka,"
"Ndak ah," ringkas saya. Dasar keras kepala.
"Kenapa? Coba saja. Siapa tahu rejekimu malah disitu,"
"Ndak ada niatku juga mau jadi PNS,"
Saya masih percaya, rezeki itu bukan perihal "siapa tahu" atau "gambling". Apalagi seenaknya memilih 'ban serep' di kala saya masih belum mendapatkan pekerjaan lagi.
Setiap orang punya kuasa dan 'privilege' menentukan jalannya masing-masing. Saya akan menjalani apa yang memang benar-benar saya ingin jalani.
Karena pada akhirnya, pun, PNS bukan jalan ninjaku~ []
--Imam Rahmanto--
0 comments