Pilihan Terbuka

November 05, 2019

Baca Juga


Beberapa waktu lalu, jejeran pinus kembali menyambut saya. Kali ini, menemani adik-adik kampus yang menggelar pengkaderan anggota baru persma. Lokasi yang berjarak dua jam dari pusat kota itu menjadi penutup dari barisan agenda selama tiga hari. Beberapa teman juga ikut andil menyuntikkan motivasi atau sekadar mengarahkan para pengurus dalam "menyambut" adik-adik barunya itu.

Sejatinya, saya hanya ingin menikmati waktu bebas. Tak ada salahnya, sebelum saya kembali dihantui kesibukan kerja dan berbagai macam bentuk keinginan kapitalis lainnya. Alam selalu jadi pelarian terbaik.

Saya pernah merasa begitu terasing dari keluarga. Hidup tanpa keinginan pulang dan mendekap orang tua. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanya mengeja kenangan tentang ibu dan adik yang masih sarat dalam ingatan. Keluarga benar-benar sudah begitu jauh dan terasa rapuh. Pulang, hanya jadi angan-angan.

Pelarian saya berujung pada lembaga persma yang kini terus beranjak menua. Mereka, kala itu, menjadi keluarga saya satu-satunya. Tempat saya menumpahkan segala resah dan pelarian atas masalah hidup. Meski, terkadang saya pun dijejali banyak masalah darinya. Ibarat bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Namun, ia ternyata punya nilai yang jauh lebih mendewasakan.

Kali ini, saya meresapi waktu bersama "keluarga" itu. Lebih dari seminggu, saya menenggelamkan diri meniti wajah-wajah polos mereka. Mengeja namanya. Melafalkan setiap guratan lelah di raut wajah itu. Bahkan, kata teman, lelah mereka tak jarang berbuah air mata, dalam diam.

Lagipula, saya juga tak bisa menyangkal, terlampau resah dengan ketertinggalan karya mereka sebagai media kampus. Yang mereka butuhkan adalah teladan. Bukan sumpah serapah atau tekanan. Dengan sedikit mengulurkan tangan, seharusnya saya bisa memaknai cara berterima kasih dari kehidupan di masa lampau. Tengoklah, sebagian kisah saya (di rumah ini) justru bercerita dari lembaga pencetak pewarta ini.

Ini ketiga kalinya saya menyambangi hutan pinus. Semesta punya caranya sendiri menawarkan pesona. Meski tak begitu liar, seperti Lembanna, wisata alam pinus Malino sudah cukup melambungkan kerinduan di alam terbuka. Tenda-tenda dijejerkan. Suara-suara didengungkan. Dingin masih getol bersemayam.

Saya biarkan saja mereka, para pengurus, menghangatkan suasana di atas panggung kecil, menghabiskan malam. Gelak tawa mewarnai penampilan masing-masing kelompok calon anggota baru. Beberapa jam ke depan, mereka masih harus menghadapi waktu-waktu terberat mengalahkan kantuk.

Saya menyibak langit dari bawah pinus. Jalan di atas permukaan batako yang membelah rumput. Mengawasi bintang-bintang yang berkumpul membentuk rasi. Saya begitu jelas menitinya satu per satu. Apalagi, awan menguap dari hujan beberapa jam sebelumnya. Sayangnya, tak ada milky way yang menjadi buruan saya berjalan sendirian di sepertiga malam.

Sebelumnya, saya sempat berjumpa dengan salah seorang senior kawakan persma kami. Ia tahu status saya yang sementara menjedai kerja. Dari perbincangan dengannya, ia sempat menawarkan untuk mengadu nasib di kota Bogor. Di sana, senior lainnya memang berstatus sosial cukup tinggi di media besutannya. Katanya, ia butuh seorang kader yang berasal dari persma yang sama.

"Cobalah, kalau mau, saya akan tanyakan ke beliau," tawarnya.

Tuhan memang menyiapkan banyak pertemuan untuk menawarkan pilihan.

Saya memang sempat menggarisbawahi keinginan untuk berkiprah di luar Makassar. Barangkali, dengan menjalin kehidupan di Jawa, saya bisa lebih dekat dengan keluarga dan kerabat. Apalagi, usia orang tua yang semakin beranjak, tak bisa berbuat apa-apa, butuh kehadiran anak sulungnya. Pun, ibu saya demikian.

Pilihan itu, entah bagaimana terus terngiang-ngiang di benak saya. []


Ps: Beberapa jam sebelumnya, tawaran lain datang dari wartawan senior lokal. 

Hal lainnya merasuk kepala. (Foto: Iyan)



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments

  1. dan sepertinya pertemuan pertama kita terjadi karena pers mahasiswa ini ya?
    hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya saya sudah lama jad fans ta, Kak. Baru setelah itu ketemu dalam project majalah Bukit Baruga. Baru setelah itu jadi pemateri di kampusku. Hahahahahaha....🤭

      Hapus