Hidden Gem

Oktober 29, 2019

Baca Juga

Hari-hari saya lebih banyak dihabiskan dengan secangkir kopi. Sudah nyaris sebulan saya rehat dari pekerjaan mengulik isi berita. Satu-satunya yang sedikit menghubungkan saya dengan "dunia" itu adalah kesibukan menyambangi sekretariat organisasi kampus dan menguliti isi berita adik-adik di sana. Pun, gara-gara ini, "rehat" lain menghampiri kehidupan saya.

Beberapa tawaran memang sempat mampir melalui pesan pribadi. Mulai dari tautan hingga pamflet lowongan pekerjaan. Sayangnya, sifat saya yang kadung selektif terlalu mengakar hingga ubun-ubun. Sebagaimana sifat keras kepala saya.

Barangkali, saya harus menyematkan penghargaan kepada Oktober atas hadiah waktunya yang melimpah. Saya jadi tahu bagaimana rasanya tidur siang. Paham bagaimana rasanya panas-panasan di dalam kamar pengap. Melewatkan banyak mimpi, yang berakhir tanpa ingatan sedikit pun. Satu-satunya mimpi yang membekas tentang handphone yang rusak dan berusaha saya perbaiki namun tak kunjung berhasil.

Beberapa buku juga saya tamatkan di bulan ini. Seorang teman sampai nyeletuk, "Lama-lama kau jadi filsuf."

Ia sering menjumpai kebiasaan saya menghabiskan waktu seorang diri di sebuah warkop langganan. Bayangkan! Saya bisa melahap tiga-empat buku dalam seminggu!

Saat menulis ini pun, saya sedang menghadapi satu buku dari Muriel Barbery. Namanya sungguh asing bagi saya yang lebih terbiasa membaca karya J.K Rowling, Dewi Lestari, Eka Kurniawan, Andrea Hirata, atau Tere Liye. Akh, maaf, untuk nama yang terakhir itu sudah lama saya coret dari wish-list.

Saya sadar, target bacaan selama setahun masih jauh dari harapan. Betapa membaca buku ternyata bukan hanya soal waktu luang. Bahkan, waktu luang pun masih belum menjamin kesempatan membaca buku itu. Kita terlalu banyak terdistraksi dengan kegiatan-kegiatan menghadapi layar gadget. Menemukan orang yang membaca buku menjadi hal yang sangat langka (dan seksi) di antara orang-orang yang ngopi di sebuah kafe atau warkop.

Kebiasaan saya menghabiskan waktu di warkop tersebut tidak sekadar menyesap kopi. Karena, bagi saya, kopinya juga tak begitu istimewa. Tak ada cappuccino yang benar-benar cappuccino di sini. Salah satu bagian menyenangkannya adalah ketika seorang musisi jalanan datang dan mulai berdendang.

Saya pertama kali menyadari kerennya penampilan mereka (ia dan seorang rekannya) saat menyanyikan lagu Buku Ini Aku Pinjam. Saya tak bisa tidak menyukai lagu itu.

"Dia tahu, dia rasa
Maka tersenyumlah, kasih
Tetap langkah, jangan hentikan
Cinta ini milik kita,"

Musisi itu memang menyambangi warkop saban malam. Menyanyikan satu-dua lagu dengan begitu bersemangat. Suaranya nyaring dan melengking. Menyatu dengan petikan gitar dan tabuhan drum yang dibawanya. Mereka seumpama mutiara terpendam (hidden gem) di antara para pengamen yang bergantian datang "menjual" suara. Apa pun lagunya, mereka sungguh menjiwai sepenuh hati.

Saya (dan pengunjung lainnya) sudah barang tentu terhibur dengan penampilan emas itu. Saya pernah mengangsurkan uang kertas hijau di atas kardus kecil yang disodorkannya. Disambut wajah kaget dan lafal terima kasih yang begitu tulus. Betapa membahagiakannya melihat wajah-wajah sumringah yang memancarkan ketulusan dan kepolosan hidup.

***

Seperti buku, saya tidak meminjam waktu ini. Saya memang memilih untuk memilikinya. Se-sia-sia apa pun saya menghabiskannya, harus tetap dijalani. Hingga kelak tiba di titik dimana saya harus memulai kembali apa yang mesti saya jalani. Karena ini bukan tentang kehidupan saya sendiri. Kehidupan lain tertambat di dalamnya.

Semoga, ini hanya soal mutiara yang belum mencelat ke permukaan. Looks like a hidden gem. []

"Seperti hari yang lain" (Imam Rahmanto)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments