Sekeping Cita

Oktober 21, 2019

Baca Juga

Hai, kakak. (Imam Rahmanto)

"Naruto! Naruto!" teriak anak-anak setiap mengarahkan pandangannya kepada saya.

Tatapan di dalam kelas itu berpusat di atas kening saya. Sebuah pita merah putih terikat melingkar di kepala. Stiker bertulisan "Naruto" memang sengaja saya pasang di sana. Saya tahu, tontonan kami tak pernah berbeda. Karena saya pun, masih suka dengan segala manga dan anime.

Seruan mereka berujung dengan pose berbagai gaya. Ada yang mengacungkan jari tangannya. Tersenyum memperlihatkan gigi-giginya. Saling dorong untuk jadi yang terdepan. Akh, gaya topang dagu dengan ibu jari dan telunjuk juga tak pernah mati dilibas waktu. Gaya sepanjang zaman.

"Naruto, Naruto. Itu Naruto," masih terus menyerukan tokoh anime itu.

Wajar jika mereka memamerkan segala gaya kocaknya. Saya sedang menenteng kamera. Bagi anak-anak yang saban hari bermain di pematang sawah, ukuran sudah bikin takjub. Pikiran mereka tentu mencocok-cocokkannya dengan yang selama ini dilihatnya di layar kaca.

Dalam beberapa menit, saya harus berkeliling dari kelas ke kelas lainnya. Masuk tanpa permisi kepada pengajar "sehari" di depan kelasnya. Tak peduli mereka sedang berjibaku dengan kenakalan murid. Berdiri di depan kelas atau melayani permintaan anak-anak kecil di bangkunya. Tugas saya, setidaknya, memang hanya satu; mengabadikan momen dari Kelas Inspirasi (KI) Gowa #6.

Kami punya pita baru. (Imam Rahmanto)

Kelas Inspirasi mengingatkan saya dengan teman-teman pertama yang menyatukan ikatan di Kabupaten Bone. Lebih dari setahun silam, saya berusaha menjalin circle dengan orang-orang baru. Sebagai pendatang di tanah Bugis itu, saya tak punya banyak teman. Saya menggalinya lewat kegiatan-kegiatan komunitas berbau pendidikan semacam itu.

Kali ini, saya kembali. Berjibaku dengan anak-anak Sekolah Dasar (SD) Ganrang Jawa 1 di Kabupaten Gowa. Meski dengan tugas yang berbeda. Dulu pengajar, kini dokumentator. Sebenarnya dulu juga berperan ganda karena harus membantu dokumentator yang hanya seorang diri.

Ada alasan sederhana kenapa saya berputar peran sebagai dokumentator foto. Sudah lama saya vakum dengan aktivitas lensa. Perjalanan-perjalanan di Makassar, sepuluh bulan belakangan, sekadar rutinitas yang membekukan kepala. Saya rindu berjalan, menghirup udara segar, membuka interaksi-interaksi baru, dan membekukannya lewat foto. Seperti Harry Potter yang pernah memakai mantra Arresto momentum!

Sesungguhnya konsep KI hampir sama di setiap daerah. Hanya pemilihan lokasi saja yang biasanya berbeda dan bisa menarik antusiasme relawan. Saya pun sempat terbayang lokasi sekolah di Kabupaten Gowa itu yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Kalau bisa, dengan area menanjak atau berkerikil.

Sayangnya, bayangan itu seketika pupus. Lokasi kami, Team 3, sebenarnya tak begitu jauh dari kota Makassar. Bahkan, jarak tempuh saya yang dulu kerap bergelut dengan berita olahraga golf di Padivalley masih terbilang lebih jauh dan terpencil.

Tak sulit bagi kami menemukan lokasi sekolah itu. Posisinya masih terlacak di Google Maps. Letaknya pun berada tepat di pinggir jalan. Hanya butuh belasan menit dari pusat kota Makassar.

Tunjuk Naruto. (Imam Rahmanto)

***

Anak-anak selalu menyimpan magnet di matanya. Lewat kedua kutub bola mata itu, mereka menarik lengkung senyum orang-orang dewasa. Tawa pecah jika menaksir kutub itu terlalu lama. Bahagia terpancar dan menyebar kemana-mana.

Berinteraksi dengan anak-anak menjadi momen paling penting dalam setiap anjangsana Kelas Inspirasi. Rindu itu tercurah. Tepat ketika saya memang membutuhkan dorongan tak kasat mata dari polosnya sinar mata mereka.

Tawa lepas. (Imam Rahmanto)

Seperti slogannya, Bangun Mimpi Anak Indonesia, anak-anak butuh teladan untuk menciptakan gambaran mimpi itu. Hanya saja, mereka butuh pilihan-pilihan profesi yang lebih kongkrit dari sekadar polisi, tentara, guru, PNS, dokter, perawat, atau pilot. Tambahan, zaman sekarang ada yang mengidamkan jadi Youtuber.

Untuk alasan itu pula lah, teman-teman saya dari relawan pengajar menciptakan gambaran utuh dari profesinya masing-masing. Dimulai dari pengacara, pengusaha IT, pengajar Bahasa Jepang, tim kesehatan tanggap darurat, hingga bankir.

Dalam benak kita semasa kecil, memang tak pernah terekam dalam kepala jenis-jenis pekerjaan semacam itu. Paling tidak, kehadiran mereka menyumbangkan inspirasi bagi anak-anak dari sekadar menjadi profesi-profesi sepanjang zaman itu.

"Mau jadi apa?"

"Tentara," jawab anak kesekian yang ingin menuliskan cita-citanya di Pohon Cita-cita.

"Waduh, mereka kayaknya hobi berkelahi," sambar salah seorang guru dalam bahasa daerah.

Entah bagaimana alurnya, dari zaman saya pun, anak-anak hanya terpikir untuk pekerjaan-pekerjaan semacam itu. Mereka tak terpikir kalau ada juga profesi barista, fotografer, penulis, atau wartawan. Duh!

Antre untuk menuliskan cita-cita. (Imam Rahmanto)

Anak-anak memang masih terlalu lekat dengan masa bermain. Kepala mereka masih terlampau berat untuk memikirkan tentang masa depan. Mau jadi apa mereka kelak, baru terpikirkan beberapa tahun kemudian. Itu semacam kepingan cita-cita yang belum tersusun dengan rapi.

Sama halnya ketika guru SD saya pernah bertanya dan bersambut jawaban "polisi" dari mulut saya. Karena... ya memang saya tak punya banyak pilihan profesi untuk menjawabnya. Sementara hati kecil saya telah membangun kegemaran membaca majalah Bobo, mengisi buku TTS, atau sekadar menulis indah di buku bergaris-garis.

Terlepas dari itu, Kelas Inspirasi sudah menawarkan teman-teman baru bagi saya. Itu bagian pentingnya. Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak hanya menjadi bonus dan kesenangan lain bagi saya. Lima relawan pengajar, dua dokumentator, dan dua fasilitator berhasil menjalin circle baru. Kelak, pertemuan-pertemuan baru akan berujung di atas meja dan secangkir kopi.

Saranghaeyo! (Imam Rahmanto)

***

Saya masih belum memiliki kesibukan menggantikan pekerjaan yang telah tertanggalkan. Jeda masih belum reda. Kehidupan, akhir-akhir ini, memang terasa berjalan mundur.

Kegiatan saya saban hari hanya terbangun, berpikir, ngopi, atau berjumpa teman-teman di tempat tongkrongan. Tak ada rutinitas seperti pekerjaan sebelumnya. Hanya waktu tidur saya yang bergeser demikian jauh. Siang jadi malam. Malam jadi siang.

Banyak orang justru belum tahu tentang keputusan "gila" saya mengambil resign. Hanya teman sekantor dan teman-teman seprofesi dalam circle saya. Pun, karena saya bukan tipe-tipe orang yang gigih update status di segala lini media sosial. Paling banter, hanya twitter yang menjadi tempat segala sambat.

Ini sudah hari ke-17. Status saya masih kekal sebagai "pengangguran". Ah, tidak. Sebut saja ia jeda, demi menghirup udara segar.

Lantas, selanjutnya apa? Biarkan arah angin yang menuntun saya...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments