Cerita Pinus (2-end)

Oktober 10, 2019

Baca Juga

Malam yang ditemani rembulan. (Imam Rahmanto)

Tak banyak bintang di atas langit. Mereka tampaknya bersembunyi di balik awan-awan halus. Ditambah lagi, cahaya rembulan-separuh menerpa kedatangan kami di pemukiman sekitar camping ground Lembanna.

Ternyata, pedesaan ini tak jauh dari jalan poros Malino-Makassar. Meski begitu, jalurnya masih dalam tahap renovasi. Jalanannya bisa membuat ban motor sedikit selip. Debu-debu beterbangan memenuhi rongga udara hingga paru. Untuk itu, berkendara motor tak bisa ngebut seenaknya. Tikungan tajam langsung disambut tanjakan curam.

Kalau saja hujan menyambut kami dengan baik hati, jalanan akan semakin licin. Tanah berdebu itu masih merupakan bagian dari konstruksi jembatan baru di sebelahnya. Setelah pulang dari sana, saya baru paham kalau ada jembatan yang sementara dibangun. Tampaknya masyarakat sengaja membuatnya agar pengendara tak membelok sangat tajam untuk menaiki tanjakan setelahnya.

Karena jam yang telanjur molor, saya dan kedua teman itu tiba lepas tengah malam. Tak ada lagi warga yang terjaga. Lampu-lampu rumah menyinari jalan-jalan kecil. Hanya beberapa orang saja yang terlihat berjalan rombongan, sembari memanggul ransel seperti kami. Tampaknya, tujuan kami sama.

Motor-motor terparkir rapi di halaman rumah penduduk setempat. Kami bebas memilih ingin memarkirnya di mana saja. Beberapa rumah justru tak punya tempat kosong lagi sekadar ditumpangi satu motor.

Saya rindu suasana seperti ini. Masyarakat yang ramah. Tak ada batas pagar antar rumah. Bahkan, memarkir motor sepanjang malam tanpa melepas kuncinya juga bakal berakhir dengan hati yang tenang-tenang saja.

"Jadi, lewat mana ini?" Saya bertanya kepada teman itu.

Kami sudah berjalan nyaris 30 menit. Berbeda arah dengan rombongan yang kami lihat berjalan lebih dulu. Teman saya, mengikuti intuisinya yang memudar seiring waktu. Kami tentu hanya bisa mengandalkannya, karena dia yang punya ingatan tentang camping ground tersebut.

"Tunggu dulu. Agak lupa ka. Dulu, seingatku bisa lewat sini," jawabnya dengan tangan sibuk membuka ulang Google Map.

Oiya, di desa ini, jaringan internet timbul dan tenggelam. Saya memakai jaringan Indo*** dan sangat minim mendapatkan sinyal.

Suasana di pedesaan tak bergelimang cahaya. Selain temaram bulan, kami hanya mengandalkan lampu smartphone. Untung saja, lampu tenda saya masih bisa berguna.

Setelah berjalan di arah yang berbeda itu, kami berbalik ke titik awal. Sebuah pertigaan jalan desa. Kami menempuh arah satunya, hingga menjumpai penunjuk jalan yang mengarah ke dua tempat berbeda; Air Terjun dan Gunung Bawakaraeng. Seingat saya, seorang teman pernah berkata, Lembanna memang menjadi pintu awal untuk orang-orang yang ingin mendaki ke salah satu gunung di Sulsel tersebut. Sayangnya, kami justru memilih arah satunya...

"Pak, dimana itu Lembanna? Yang biasanya jadi tempat camping?" tanya kami kepada seorang petani, yang masih sibuk menjagai sawahnya malam-malam.

Ia menunjuk ke arah berlainan. Katanya, jalan kami seharusnya ke arah Bawakaraeng. Jalan yang kami tuju justru berbeda. Yang sedikit melegakan, hanya kata-kata, "Bisa juga lewat sini. Tetapi nanti di sana, belok kanan, agak jauh."

Rasa-rasanya ingin melemparkan lampu bertenaga baterai ini ke kepala teman saya...

Berjaga semalam suntuk. (Imam Rahmanto)

***

Bagi saya, kehidupan alam bebas kerap kali menawarkan hal berbeda dibanding kenyamanan di balik bilik-bilik tembok. Kami bisa merasai bagaimana peluh di penghujung malam. Ceracau di tengah perjalanan yang menyesatian. Berat ransel tak membuat kami ingin berhenti. Justru, kami ingin segera sampai agar bisa mendaratkan beban itu di atas permukaan tanah.

Perjalanan kami memang tak melalui jalur umumnya para pengunjung camping ground Lembanna. Kami terpaksa menembus belukar di bekas aliran sungai. Memanjat sedikit tanjakan di antaranya. Hingga kami tiba di bagian puncak camping ground itu. Sementara orang-orang menikmati langkahnya melalui pintu masuk yang berada agak jauh di bawah sana.

Gemerisik suara tenda sudah menandakan kami tiba di tempat yang benar. Lampu-lampu memudar dari balik tenda. Beberapa orang bernyanyi lewat speaker bluetooth yang berdentum. Tidak seperti ekspektasi saya, ternyata Lembanna cukup ramai dengan para "pelancong" alam bebas.

"Kita pasang tenda di sini saja. Kayaknya agak rata,"

Kami berselimut gelap mendirikan tenda. Membiarkan suara musik dari speaker-speaker tetangga. Teman perempuan kami sudah terlampau lelah bangun dari duduknya. Kata teman, ia baru pertama kali itu bermalam di tengah pinus.

"Sekali waktu, tidurlah dengan beralaskan rumput dan beratapkan langit," menjadi dengung-dengung yang abadi di dalam kepala. Saya selalu menyampaikan dengungan itu kepada teman lainnya.

Tanpa tenda pun, jadi. (Imam Rahmanto)

Memang, tak semua orang senang bermalam di luar kamar. Namun, tak ada salahnya sekali saja dalam hidup kita menjalaninya. Pun, saya terbuai setelah merasainya sendiri. Gara-gara itu pula, saya pernah "tergila-gila" dengan outdoor equipment. Sampai-sampai rela merogoh kocek untuk tenda, yang hingga kini masih jarang terpakai di alam bebas.

"Biasanya, kata orang, kalau sudah sekali mencoba camping, besok-besok susah untuk menolak lagi," ujar saya kepada teman itu.

***

Obrolan. (Imam Rahmanto)

Saya pun menyadari, pagi kami riuh dengan suara-suara canda para penghuni tenda lainnya. Sejauh mata memandang, ternyata sudah banyak tenda yang bersama kami menghabiskan malam. Kami tak begitu memperhatikannya lantaran diselimuti gelap malam. Saat matahari sudah memancar dari celah-celah pinus, semua bagian camping ground sudah tergambar begitu jelas.

"Ini belum apa-apa. Karena kalian datang pas Jumat malam. Kalau Sabtu malam, tenda-tenda berjejer di semua lahan. Bahkan, waktu kita bangun dari tidur baru sadar ada tenda baru di sebelah," tutur seorang teman yang datang bertamu di tenda kami.

Ia sudah akrab dengan Lembanna dan segala titik tersempitnya. Sekretariatnya berada di pemukiman desa. Kebetulan saja, ia merupakan kenalan dari teman kami.

Saya biarkan saja mereka berbincang dengan bahasa ibunya. Saya lebih senang menyibukkan diri dengan sorot kamera ke berbagai arah. Tujuan utama saya memanggul ransel, memang, untuk mengoleksi foto sebanyak-banyaknya. Satu-satunya yang jadi minus karena tak bisa stargazing.

Suasana Lembanna memang cukup menuntaskan dahaga rindu di alam bebas. Banyak orang tak dikenal yang ikut menikmati suasana itu. Kami tak perlu merasa sendirian di antara jejeran pinus itu. Apalagi, kami cukup tertolong dengan tetangga yang meminjamkan korek setelah pemicu kompor portabel saya bermasalah. Api unggun juga sempat menghangatkan kami beberapa jam.

Kopi arabika dan mi instan jadi iringan cerita-cerita malam di depan tenda. Sudah jadi kodratnya, anak camping berbekal mi instan. Nilai plusnya bisa saja hanya seputar ikan kaleng sarden atau telur ceplok. Namun, kami hanya memilih mi instan berbalut camilan dari minimarket. Bagaimana lagi? Ini camping dadakan.

Jangan perhatikan camilannya. Ramai tenda di ujung sana. (Imam Rahmanto)

Lembanna perlahan-lahan sudah dipersiapkan bagi "pelancong". Buktinya, para penghuni tenda takkan pernah kesulitan air bersih. Di tepian camping ground, masyarakat sudah menyediakan beberapa kamar kecil. Bahkan, di sebelahnya berdiri warung-warung kecil yang menyediakan beberapa camilan. Tak terkecuali sekadar menyeduh mi instan sambil duduk-duduk di atas dipan.

Untuk orang-orang yang ingin berkemah "manja", Lembanna menjadi alternatif yang cukup bagus. Mereka yang baru pertama bersentuhan alam. Mereka yang tak punya perlenglapan memadai. Atau mereka yang ingin melarikan diri sebentar dari hegemoni perkotaan, demi menikmati padu-padan alam pinus. []

Salam dari kami, hanya bertiga. (Imam Rahmanto)



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments