Membaca Jeda

Oktober 06, 2019

Baca Juga

"Ini serius?"

"Setelah ini, mau kemana?"

Pertanyaan silih berganti menyesaki layar gawai saya. Pesan-pesan dari WhatsApp itu berderet dan membentuk angka-angka yang belum terbaca. Baru kali ini saya menumpuk pesan-pesan yang belum terbaca. Tak seperti biasanya, karena saya lebih suka "membersihkan" notifikasi itu agar tak menumpuk.

Beberapa panggilan tak terjawab juga menggantung di pemberitahuan lainnya. Ada panggilan yang memang tak terlihat. Ada pula yang memang sengaja saya abaikan. Terlihat jelas siapa yang menelepon. Apa yang diinginkannya sudah tertebak dalam memori kepala saya.

Apa yang saya lakukan beberapa hari lalu memang membetot banyak perhatian. Khususnya rekan-rekan kerja saya. Secara mendadak, saya telah mengajukan pengunduran diri (resign).

Semula, langkah itu hanya menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut. Teman-teman hanya saling menanyakan via pesan dan telepon. Mempertanyakan kebenarannya. Menutupi sangsi, untuk menarik konklusi.

Ketika itu, saya juga secara terang-terangan keluar dari grup-grup Whatsapp. Saya sengaja memilih waktu dini hari agar tak ada pertanyaan-pertanyaan menyesakkan kepala. Toh, bentuk tanya itu tetap datang di pagi hari, saat saya memaksa mata untuk tetap terlelap, sepanjang-panjangnya waktu yang tak pernah saya pakai.

Lalu apa yang membuat saya begitu nekat melepaskan label pekerjaan yang melekat selama empat tahun?

Saya tak menjumpai sesuatu yang sama lagi. Semuanya berjalan berbeda. Semuanya berjalan tergesa-gesa. Kebanggaan atas nama besar perusahaan bukan satu-satunya pilihan bagi saya untuk tetap berada dalam "zona nyaman" itu. Karena sejatinya saya sudah merasa tidak nyaman lagi.

Orang-orang menyangka, saya punya batu loncatan lainnya. Padahal, saya benar-benar hanya menjalankan isi hati. Bukan isi kepala. Jika saya harus mengikuti isi kepala, tentu pertimbangan "mau kemana saya setelah ini" akan tercetus matang-matang. Kenyataannya, saya sama sekali tak memikirkan hal tersebut. Apa yang tergambar hanya bayang-bayang dan sketsa buram.

Seriously.

Saya hanya berusaha menjalani "apa yang terjadi sekarang". Sialnya, sifat orang seperti saya memang seperti itu; keras kepala. Saya tak peduli jika hal itu kelak akan menguntungkan atau justru mencelakai. Seperti dulu, ketika harus berseberangan dengan ayah saya.

Kenapa kita tidak bisa seperti anak kecil saja? Mereka yang hanya memikirkan "apa yang terjadi hari ini", tanpa memberatkan kepala dengan "apa yang akan terjadi hari esok". Mereka bisa tertawa-tawa ringan, tanpa perlu memikirkan alasan "pantaskah ditertawakan". Sementara kita, orang-orang yang beranjak dewasa, hanya mau tertawa dengan hal-hal yang menurut kita masuk akal atau logis.

"But the running boy is inside every man, no matter how old he gets," [Five People You Meet in Heaven, Mitch Albom]

Seorang teman berkata,

"Ya, karena kita 'butuh' agar bisa hidup besok. Kalau tidak bekerja, atau sekadar memikirkannya, bagaimana caranya bertahan hidup?"

Sejujurnya, saya pun tak tahu. Baiklah. Saya akan memikirkannya kemudian. Rejeki orang siapa yang tahu? Saya hanya ingin menuntaskan keinginan yang sudah lama terpendam dan bisa saja membusuk sewaktu-waktu. Kelak, saya yakin masih bisa mengejar ketertinggalan di passion ini. Who knows?

Ini masa jeda untuk menikmati waktu-waktu luang yang telah lama saya rindukan. Sembari memikirkan dan memilin rencana ke depannya. Saya tak bisa menafikan, masih ada adik dan keluarga yang harus menjadi prioritas. Meski begitu, percayakan pada semesta bagaimana ia bekerja.

"Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkan ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang?" [Filosofi Kopi, Dewi Lestari]

(Pinterest)

***

Beberapa hari ini, tak ada lagi runutan peristiwa. Tak ada ribut-ribut grup dengan mention nama reporter. Tak ada lagi rapat malam, selepas berkubang di lapangan. Tak ada lagi momok deadline. Tak ada panggilan narasumber. Tak ada lagi mampir sebentar di depan gerbang halaman gedung, sekadar menikmati siomay si abang yang suka main Mobile Legends. Untuk satu ini, saya rindu.

Keraguan itu sudah lepas. Tandas. Meski pertanyaan seragam terus saja landas. Saya terkadang jemu, hingga terpaksa menjawabnya dengan lebih tegas.

Saya lebih menantikan pesan-pesan atau panggilan bernada ajakan ngopi. Atau bisa juga dengan sesuatu yang lebih hits,

"Eh, itu ada film Joker. Katanya bagus. Nonton, yuk?"

Dan berlanjut di hadapan secangkir kopi atau kudapan lainnya. Dengan begitu, saya mungkin akan mempertimbangkan cerita-cerita mengalir apa adanya melalui mulut saya... []



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments