Cerita Pinus (1)

Oktober 02, 2019

Baca Juga

Jangkrik berbunyi tak begitu nyaring. Gonggongan anjing justru menjadi irama yang tak terbantahkan di tengah jejeran pinus-pinus kecil ini.

Meski begitu, orang-orang tetap mengobrol di depan temaram lampu tendanya. Berpasangan. Berderet. Melingkari api kecil. Atau sekadar bertumpu di atas batang pinus yang rebah. Ada yang ramai tergelak. Ada yang sayup-sayup menatap.

"Keluarga saya memang seperti itu. Sejak kecil saya..."

Cerita runtuh satu demi satu. Perlahan membanjiri ruang temaram yang hanya dipisahkan lampu berkekuatan baterai. Api kompor baru saja padam. Hanya menyisakan kepulan asap arabika. Hangat.

Kehangatan malam memang meresap secara tak kasat mata di jejeren pinus Lembanna. Udara dingin hanya beresonansi dengan tangan yang terlipat. Karena orang-orang di depan tendanya tetap ingin terjaga, sekadar bertukar cerita. Lewat kata. Berbalut makna.

Sungguh, obrolan di depan tenda yang dikepung gulita tak pernah mengecewakan.

Selalu, selalu men(y)enangkan.

Suasana begini paling nyaman menggemakan Banda Neira, Sampai Jadi Debu. 

***

Jejeran pinus di Lembanna. (Imam Rahmanto)

Saya akhirnya bisa kembali mencumbui udara-udara bebas jauh dari perkotaan. Tak ada asap tebal. Tak ada suara bebal. Tak ada tuntutan yang membuat kepala terlalu sebal.

Itu pun setelah rencana-rencana yang gagal menumpuk satu per satu. Saya selalu menggugurkan dua rencana setiap minggu. Kalau bukan karena saya, ya karena teman. Kalau bukan karena teman, ya karena temannya teman. Kalau bukan temannya teman, ya karena banyak hal yang selalu bisa menjadi alasan.

Benar kata orang. Semakin usia kita bertambah, tak banyak teman yang bisa diajak kesana-kemari. Kadang kala, teman sekadar rekan. Tak bisa dijadikan partner-in-crime untuk sesuatu yang bukan prioritas. Hidupnya, masing-masing, sudah punya prioritas sendiri. Kita tak pernah sama dengan orang lainnya.

Saya tak ingin lagi ada rencana yang gagal atau digagalkan. Bagaimana pun caranya, saya ingin menepi sejenak. Satu malam saja.

"Ayo deh. Biar kita cuma berdua saja, tidak masalah. Mau ja memang hunting. Sudah lama ndak kepake kameraku," saya berbalas pesan kepada seorang teman.

Saya memang sudah bertumpu padanya untuk lokasi-lokasi yang tak terpetakan dalam kepala saya. Dibanding saya, ia jauh lebih banyak memanggul ransel. Waktunya banyak dihabiskan dengan memenuhi ajakan temannya mencumbui alam.

Saya merasa terlambat saja mengingat dirinya, yang dulu pernah menjadi tetangga indekos. Seandainya saya lebih awal tahu, mungkin saya tak perlu menggagalkan rencana-rencana lainnya. Karena dengan satu ajakan, ia dengan gegas menyambut. Siap 86.

Semula, temannya ingin ikut dalam ajakan tersebut. Sayangnya, teman itu memilih berbelok ke lokasi camp lain; Danau Tanralili. Ini pula yang kelak harus saya datangi, sebelum benar-benar menjauh dari kota Makassar. Jadilah ia hanya seorang diri, menemani saya yang sendirian. Seorang teman saya, juga, terpaksa membatalkan rencananya berlabuh di antara dingin dan perbukitan itu. Ritmenya terlalu padat sebagai aktivis kampus.

Tanpa disangka, sepupunya yang malah bergabung dalam one night camp itu. Sepupu perempuannya itu memang tinggal serumah dengannya. Jadilah kami bertiga melanjutkan perjalanan dadakan yang mulur hingga lewat pukul 22.00 itu.

Perlengkapan pun dipersiapkan seadanya saja. Beruntung masih ada rental outdoor yang buka selepas magrib. Apalagi, butuh tambahan tenda untuk satu perempuan. Tak mungkin kami berjejalan dalam satu tenda yang hanya muat maksimal tiga orang.

"Kukira ndak jadi ki pergi. Karena sejak siang ndak ada kabar ta," kata teman lagi.

Ya...maaf. Pekerjaan saya terlampau menyita banyak waktu tanpa diduga.

Saya memang sempat memikirkan ulang rencana itu dari atas motor yang melaju. Musik indie mengalun pelan. Musik bersenandung di telinga adalah cara untuk melupakan kemacetan yang mengiringi jalan kota. Iramanya membentangkan alam di kepala saya. Langit penuh bintang. Pepohonan. Gemerisik angin. Nyala api. Sunyi yang sebenar-benarnya sunyi, menyentak separuh kesadaran saya.

Tanpa perlu berpikir lama-lama, saya memilih untuk "tak-ingin-lagi-gagal-camping". Beruntung, teman saya pun menyambutnya tanpa banyak pertimbangan.

Yah, terkadang, perjalanan dadakan memang lebih melegakan. Tak peduli konsekuensi yang mengadang di kemudian hari... []

Pagi yang masih dingin dengan menyambut tetamu. (Imam Rahmanto)


...bersambung


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments