Memeluk Pilu

November 15, 2019

Baca Juga

Pagi dari lantai tiga. (Imam Rahmanto)

Oktober sudah berlalu. Hujan masih datang malu-malu. Cuaca juga tak beranjak kemana-mana, seperti lidah yang terasa kelu. Pada kenyataannya, November belum dibasuh hujan setiap hari.

Dalam ingatan saya, hujan akan tiba berturut-turut dalam rentang tiga hari. Setelahnya, ia akan pamit sebentar. Seperti mengumpulkan tenaga. Menciptakan jeda di antara peluh dan gerutu. Setelah itu, ia baru akan muncul kembali. Ya, seperti sore ini, sembari saya yang menikmati waktu menyeruput kopi susu.

Saya berusaha menikmati waktu-waktu bebas ini. Sedikitnya, masih mencari celah untuk memulai kembali pekerjaan yang telah mengalami jeda lebih dari sebulan. Beruntung, kehidupan pagi saya berangsur membaik. Tak ada lagi tidur kepagian. Saya juga mencoba untuk tak lagi melewatkan waktu subuh.

"Adakah orang-orang yang selama ini menopang kamu sehingga kamu bisa terus berjalan atau istilahnya support system atau lingkaran pertemanan yang menopang kamu sehingga kamu bisa tabah," (Pilu Membiru Experience)

Baru-baru ini, saya merasa ditampar oleh official music video Pilu Membiru dari kanal Youtube Kunto Aji. Sebulan terakhir, saya memang mengenal lagu-lagu Kunto Aji dari album Mantra Mantra. Paling suka, lagu berjudul Sulung, yang benar-benar menggambarkan status saya dalam keluarga.



Kunto menyajikan salah satu lagunya, Pilu Membiru, dalam visual yang berbeda. Tak ragu dengan menggandeng Najwa Shihab, Nadin Amizah, dan Iqbaal Ramadan dalam pembacaan narasinya. Musik dan liriknya menyentuh hingga ke relung jiwa. Saya tak bisa menyangkal, harus merelakan air mata merembes di tengah-tengah menyimak video Youtube itu.

"Kak, are you okay?"

Seorang teman sempat mengajukan pertanyaan itu saat menerima video tersebut dari pesan WhatsApp saya. Mungkin ia menyangka saya sedang berada dalam fase yang butuh support. Selayaknya siapa pun yang berhak mendapatkan pelukan. Seperti kata penyair di kota kami, Aan Mansyur, Sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?

Saya bukan orang dengan riwayat gangguan mental atau populer disebut mental illness. Kondisi saya memang sedang terombang-ambing, di antara jeda dan kebutuhan bekerja. Saya justru lebih terganggu oleh bayang-bayang wajah perempuan yang selalu dirindukan.

Meski begitu, hati saya tak bisa menolak efek dari video yang digarap Kunto Aji bersama timnya itu. Mata saya berkaca-kaca. Semakin berkaca-kaca ketika membaca lebih banyak komentar di bawahnya. Semakin berkaca-kaca lagi melihat mereka begitu kuat.

"Saya suka baca kisah-kisah yang mereka bagikan di kolom komentar. Dari sana, saya bisa mengambil makna tentang sebuah kekuatan. Bagaimana bisa bersyukur dengan keadaan yang ada saat ini," ungkap saya kepada teman lainnya yang juga telah menerima video itu.

"Lebih dari itu, mereka membuktikan bahwa apa yang segan mereka ceritakan kepada teman terdekat atau sahabat sekalipun, ternyata bisa dengan luwes mengalir lewat 'wadah' lagu yang dibuat sepenuh hati."

Lagu-lagu Kunto Aji itu dan cerita-cerita yang terhubung dengannya, membuat saya banyak belajar bagaimana berempati secara benar. Mereka yang sedang berada dalam titik terendah kehidupannya tidak hanya butuh dorongan. Tidak sekadar kata penyemangat, "Itu bukan apa-apa. Kamu pasti bisa!"

Kenyataannya, mereka juga butuh perasaan yang sama. It's ok not to be ok.

Saya sendiri beruntung masih memiliki orang-orang yang menjadi bagian dari support system, seperti yang dikatakan praktisi pemulihan batin Adji Santosoputro.

Keluarga, sejujurnya, tidak sepenuhnya menjadi bagian dari itu. Teman-teman lah yang justru autopilot menggantikan peran tersebut. Bukan dengan kata-kata dukungan atau motivasi. Atau menunjukkan simpati. Hanya sekadar bertemu atau nongkrong dengan segala olok-oloknya membuat saya jauh lebih baik.

Selain itu, punya orang tua kedua yang mensubstitusi peran orang tua kandung saya. Perempuan paruh baya yang kerap dipanggil Bunda itu sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari hidup saya. Segala cerita dan curhat akan lumer di depannya.

"Mau makan apa, nak? Atau mau bikin sendiri?" pertanyaan yang akan selalu keluar dari mulutnya, di tengah-tengah kesibukan menyiapkan sarapan untuk keluarganya.

Saya senang menginap barang semalam atau dua malam di rumahnya. Percakapan kami lebih santai di meja makan dapur. Tak peduli soal kuliah, pekerjaan, hingga kehidupan asmara. Beberapa malam lalu, Bunda hadir dalam mimpi saya. Apakah ini isyarat bahwa saya sedang rindu dan butuh waktu temu?

Saya juga masih punya "support" yang lain. Bukan orang pada umumnya. Mereka yang mati, tetapi menghidupkan.

Mendengarkan musik secara random. Membaca buku. Menyeruput kopi pahit manual brew. Menyesap cappuccino. Melakukan perjalanan dan camp. Sambat di Twitter. Atau sekadar tulisan tak tentu arah lewat blog ini.

Karena saya juga percaya, menulis itu selalu menyembuhkan. Writing is healing.

Terlepas dari itu, kita memang butuh memeluk satu sama lain. Saling menguatkan. Hingga tiba pada kesadaran terdalam bahwa kita tidak berjalan sendiri.

"Hidup begitu berharga. Aku tak memiliki seorang pun yang bisa membujukku keluar dari keputusasaan dan itu sebuah kesalahan. Kau perlu memiliki orang di dekatmu. Kau perlu memberi mereka jalan masuk ke hatimu." [Mitch Albom, For One More Day]



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments