Pencapaian Berharga

Mei 10, 2019

Baca Juga


"Apa pencapaian tertinggi dari pekerjaan kakak?"

Saya ditodong seorang mahasiswa. Tak sendiri. Mahasiswa lainnya berkerumun mengelilingi kubikel tempat saya mengutak-atik kata di komputer. Beberapa diantaranya berbekal pulpen, buku catatan, atau sekadar memandangi kebingungan saya.

Malam itu, sejumlah mahasiswa memang sedang berkunjung ke redaksi. Setelah mendapat sambutan dari pimpinan, mereka berkeliling dari satu kubikel ke kubikel lain. Dari layouter hingga redaktur.

Saya membayangkan pertanyaan itu terbang, berputar-putar di kepala, mengepakkan sayapnya lebih rendah, dan mendarat ke bagian paling mudah dijangkau.

"Apa ya? Sepertinya belum ada," Saya mencoba berpikir keras.

"Mungkin tulisan kakak banyak dibaca orang atau jadi pembicaraan?" tembaknya lagi.

"Sepertinya begitu. Tetapi, saya tidak bisa mengukur. Sejauh ini, kalau sudah menulis, ya diterbitkan. Dicetak. Dibaca orang,"

"Kalau penghargaan atau award, saya belum pernah dapat," jelas saya.

Saya harus mengesampingkan fakta bahwa pernah beberapa kali didapuk sebagai best feature dalam nominasi nasional tulisan-tulisan segrup media kami. Bagi saya, penghargaan semacam itu tak bisa jadi indikator pencapaian sebenarnya dari dunia tulis-menulis ini. Saya memikirkan makna yang jauh lebih dalam ketimbang itu.

Untuk sementara, saya memang masih mencari bentuk yang tepat dari media saya. Sejujurnya, saya pun nyaris saja hengkang dari pekerjaan itu. Hendak mencari "rumah" lain yang lebih menghargai kapasitas pekerjanya.

Hingga suatu waktu, berselang dua hari saja, jawaban itu mendarat langsung di sebelah telinga saya...

Seorang ibu, usia lewat 50 tahun, menelepon di tengah-tengah waktu santai saya menyeruput kopi. Ia mendapatkan nomor saya dari rekan kantor. Tujuannya ingin disambungkan dengan keluarga Aldama - korban pembunuhan yang sempat menjadi bagian naskah berita saya hingga berseri-seri.

"Saya selalu baca beritanya di koran FA**R. Kalau baca ceritanya, saya tidak bisa tidak menangis. Hati saya teriris dan ikut prihatin. Apalagi, saya juga punya anak lelaki seperti mereka," ungkapnya dengan suara serak dan menahan tangis.

Ia benar-benar terpukul di ujung sana. Setiap kali menyebut nama Aldama, suaranya tertahan. Setiap kali mengingat kejadian yang (mungkin) sudah dibacanya, tangisnya seakan mau meledak.

Saya tak mungkin mengajak si ibu bercakap lebih lama. Saya sendiri tak sanggup mendengarnya menahan tangis dengan suara yang begitu serak.

Ia juga seorang penyintas kanker yang berdomisili di Makassar. Niatnya membantu keluarga Aldama. Entah dengan apa. Karena saya pun sungkan bertanya lebih jauh. Barangkali, seperti di film-film, si ibu adalah orang kaya yang ingin berbuat baik di sisa-siaa hidupnya. Who knows?

Bagi saya, keseriusan itu sudah menjadi poin paling penting. Ibu itu menjadi orang yang senantiasa menanti tulisan-tulisan saya di media bersangkutan.

Baginya, cerita (atau berita) tentang kejadian itu sangat memilukan. Menyentuh lubuk hatinya. Menggugah separuh perasaan.

"Entah kenapa saya selalu mau menangis kalau ingat ceritanya Aldama," katanya tertahan.

Hal tersebut membuat saya tersadar bahwa "ibu-ibu" itulah pencapaian tertinggi saya. Tulisan-tulisan yang dibaca dan menggugah kesadaran orang lain. Tulisan-tulisan yang di dalamnya bergerak ruh untuk menyampaikan perasaan tokohnya. Tulisan yang sebenar-benarnya ditulis tanpa tuntutan yang berlebihan.

Beberapa tahun silam, saya pernah merasakan hal serupa. Meski naskah berita itu tak pernah sampai naik cetak, kisahnya tetap sampai ke hadapan khalayak. Saya mengunggahnya di dunia maya dan sempat menjadi perhatian banyak orang. Yah, termasuk jadi bahan pembicaraan pimpinan-pimpinan di kantor. Celakanya, hingga berbuntut skorsing untuk saya. Ceritanya panjang.

Meski begitu, saya sama sekali tak pernah menyesalinya. Justru lega hati dengan perhatian yang diraup dari tulisan itu.

(Foto: Whaiz/ Enrekang)

Seharusnya, memang sudah waktunya kembali merapikan tujuan-tujuan saya. Banyak hal yang tak pernah bisa diukur dari materi. Apa yang saya tulis, bukan berarti bisa dihargai dengan uang yang sangat tinggi. Ada bagian-bagian yang tak perlu disambar dengan nilai uang.

Dengan menulis, saya bisa memperbaiki perasaan atau mengabadikan momen. Belajar lebih menghargai fase kehidupan. Bonusnya, kalau bisa melihat orang lain bahagia, senyum-senyum sendiri, hingga tergelak karenanya. Tiada nikmat lain yang lebih melegakan.

Dan juga ternyata, masih ada orang-orang di luar sana yang tak lelah berhenti menunggu cerita-cerita yang ditulis dengan sungguh-sungguh..... []



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

4 comments

  1. "Dan juga ternyata, masih ada orang-orang di luar sana yang tak lelah berhenti menunggu cerita-cerita yang ditulis dengan sungguh-sungguh..." Saya salah satunya. Haha

    Sepertinya semenjak pindah tugas di kota sudah jarang tulisannya singgah di rumah "Cappuccino".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mencoba kembali aktif seperti biasanya. Karena di kota, banyak godaan, mas. 😆

      Hapus
  2. Dan tulisan-tulisan atau pun cerita di sini slalu saja membuat saya singgah membaca:)

    BalasHapus