Priceless

Mei 21, 2019

Baca Juga

"Serius, Pak?"

"Makasih banyak, Pak. Semoga rezekinya tambah banyak, Pak. Amin."

Bibir saya melengkung sempurna, membayangkan bagaimana pesan itu ditulis. Mata saya dibuat berkaca-kaca.

Beberapa hari lalu, saya mencoba #WahyooChallenge. Awalnya, hasil tantangan sederhana berkaitan ojek online (ojol) itu membanjiri linimasa twitter saya. Reply dan retweet-nya begitu menyenangkan. Sungguh adem melihat orang lain berlomba-lomba berbuat kebaikan. Saling membantu dengan cara sederhana. Membaca beberapa screenshot saja sudah bisa membuat mata saya sembap. (Scroll dan search saja di twitter dengan hashtag itu)

Saya menjajalnya. Dua, tiga kali. Hasilnya, hormon endorfin saya bekerja dengan baik. Seolah megucur tiba-tiba. Pikiran saya juga lebih tenang. Dua potong kutipan di atas juga berasal dari chat dengan driver ojol.

Saya pikir, bukan maksud semacam memamerkan kebaikan. Setiap orang (saya dan lainnya) hanya ingin menunjukkan bahwa berbuat baik bisa sesederhana itu. Barangkali, mesti dibumbui dengak sedikit "tantangan", barulah orang akan berbondong-bondong berbuat baik. Tak ada yang salah dengan menunjukkan bahwa: saya bisa, kenapa kamu tidak?

Memang, banyak orang menganggap pamer kebaikan semacam itu justru mengurangi esensi berbuat baik itu sendiri. Padahal, berbuat baik memang seharusnya "dipamerkan" dan dibiasakan. Esensi meneladani adalah melihat dan meniru. Tanpa ada yang bisa dilihat, bagaimana cara meniru?

Anak-anak zaman sekarang meniru apa yang dilihatnya melalui perangkat gadget. Informasi menyebar lebih cepat dibanding peluru. Oleh karena itu, konsep "meneladani" pun sudah berubah. Jauh lebih mudah meneladani gaya para Youtuber ketimbang perilaku di dunia nyata.

Di samping itu, adalah lebih baik menyebarkan contoh kebaikan ketimbang menyebarkan hoaks atau kebohongan. Niat berasal dari kedalaman hati manusia. Siapalah kita yang sering menerka-nerka niat orang lain sembari nyinyir dan berburuk sangka. Mending berbaik sangka dan ikut "tak mau kalah" berbuat baik.

Selamat berpuasa Ramadan. (Imam Rahmanto)

Konsep "kebahagiaan-yang-menular" bisa dilihat dari beberapa konten Youtube milik Anji. Saya hampir tak pernah melewatkan bagaimana low profile-nya Anji terhadap para penggemarnya. Sidak pengamen dan music private show (mencontoh konsep Ed Sheeran) paling sering saya tonton.

Saya menyukainya karena menunjukkan konten-konten yang mendulang kebahagiaan orang lain. Pun, saya menyukai aura positif dari komentar-komentar di bawah video itu. Tak pernah gagal bikin terharu.

Lantas, apa yang didapat Anji dari sana, sementara ia masih punya label sebagai musisi dan publik figur?? Buru adsense kah? Cari tambahan gaji kah? Promosi lagu?

Bagi saya, jawabannya sederhana.

Anji hanya ingin memicu senyum sumringah para penggemarnya. Dibumbui dengan mimik yang tak pernah terduga. Hal semacam itu malah tak pernah bisa dinilai dengan uang. Priceless. Sebenar-benarnya membahagiakan orang lain.

Anji mengejar "kebahagiaan" orang lain untuk bisa memupuk kebahagiaannya sendiri.

Saya dan penonton lainnya ikut tergugah dengan variasi keterkejutan itu. Hasilnya selalu positif. Kebahagiaan sejati memang selalu memantik dan menular satu sama lain. Karena hati terdalam kita selalu tahu seperti apa hakikat kebahagiaan itu.

Nah, memicu endorfin memang hanya perlu cara-cara sederhana. Setiap orang memilikinya. Sisanya, bagaimana memintanya keluar tanpa perlu dipaksa. Bisa dimulai dengan menanyakan pada diri sendiri; apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain?

Dari menelusuri senyum orang lain, membangkitkan kebahagiaannya, kita bisa memanen kebahagiaan sendiri. Sungguh, dari sana, tercipta ketenangan batin. Selebihnya, kita bisa memupuk rasa syukur yang jauh lebih paripurna.

Saya teringat dengan nasihat orang-orang "kecil" yang selalu menyempatkan berbuat baik. Mereka begitu paham bagaimana konsep bersyukur yang sejati.

"Saya memberi bukan karena punya uang banyak. Melainkan karena saya tahu bagaimana rasanya saat tidak punya."

"Memberilah bukan karena berlebih. Tetapi memberilah agar berlebih."


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments