Kopi dan Tenda (2-end)

April 25, 2019

Baca Juga


Puncak Tinambung, Bissoloro, Gowa. (Imam Rahmanto)

Tak butuh waktu lama untuk memasang dua tenda yang kami bawa. Makanan juga sudah siap sedia. Tersisa membongkar beberapa perlengkapan yang sebagian besar menyesaki ransel saya.

"Wah lumayan lengkap juga peralatannya ya?" tanya teman.

Ingatan saya tetiba terlempar ke tahun-tahun ketika bertugas di daerah. Dua tahun silam, saya baru berkenalan dengan banyak hal tentang outdoor. Berbagai perlengkapan atau gear semacak ini juga terinspirasi dari perjalanan mendaki Latimojong. Kelak, saya masih menyimpan keinginan mendaki puncak-puncak lainnya.

Untuk alasan itulah, saya mencari tempat-tempat hijau untuk dipasangi tenda. Kota Makassar terlalu padat dengan kesibukan. Menjauh sebentar, setidaknya bisa mengantarkan saya pada tempat-tempat baru yang lebih hijau. Bisa jadi, puncak Bawakaraeng atau Bulusaraung menjadi sasaran berikutnya. Anggap saja ini sebagai pemanasan. Ayolah, tenda saya juga bisa lumutan kalau tak pernah dipakai.

Saya juga bukan orang yang sangat paham tentang keterampilan survive di alam terbuka. Hanya belajar sedikit demi sedikit dari camping dadakan seperti ini. Tujuan utamanya memang untuk menikmati suasana.

Semisal, makan di antara rimbun pepohonan punya nuansa yang berbeda. Kami tak perlu pusing dengan piring-piring yang tak dicuci pakai sunlight. Atau, gelas-gelas yang bergantian diguyur air panas. Air minum, yang kadang kala dijatuhi serpihan jerami, juga tetap masuk lewat kerongkongan. Bahkan, merebus mi instan sudah menjadi "kemewahan" di tengah alam terbuka.

Akh, satu lagi. Menyesap kopi arabika juga jauh lebih nikmat. Teman saya sampai teracuni virus "anti-anti kopi saset" setelah menyesap kopi racikan saya. Katanya, dia baru tahu menyesap kopi asli (bukan sasetan) bisa senikmat ini.

"Pahit. Eh, tetapi tidak. Ada manis-manis dan asamnya gitu," ujarnya selang sesapan pertamanya.

Ya gimana ya. Hidup juga seperti itu. Harus ada pahit untuk bisa merasakan nikmat.

Hangatnya kopi terasa selepas hujan. (Imam Rahmanto)

***

Pagi datang lebih cepat dari biasanya. Saya hanya berbekal sleeping bag di luar tenda. Tidur masih terasa nyaman lebih nyaman. Entah bagaimana ceritanya, mata bisa terpejam. Saya hanya ingat, terakhir kali menatap bintang dan menitinya dari sketsa galaksi.

Ya, saya memutuskan berburu bintang, malam harinya. Sudah lama rasanya tak mendongakkan kepala dengan kamera di tangan. Stargaze. Kebetulan pula, langit sedang cerah. Meski sesekali awan melintas dan menutupi jalur antariksa.

Dulu, saya sangat senang dengan pengalaman berburu langit malam dan milky way. Seorang teman kerap membuat iri dengan foto-foto jepretannya. Saya memang merangkum banyak pelajaran memotret darinya. Kami sering bepergian ke suatu tempat, meski baru, hanya demi mengabadikan momen.

"Di sana, lebih keren lagi. Kita bisa lihat lampu-lampu kota Makassar," tunjuk teman saya.

Ia menunjukkan lokasi yang berada di pinggir area camping. Ada bangku-bangku kecil yang mengelilingi pohon besar. Di lokasi ini memang tak diperbolehkan menggelar tenda. Padahal, areanya cukup bagus. Dari jauh, kerlap-kerlip lampu kota terlihat cukup mungil dan berdempetan. Sayangnya, mata saya semakin rabun untuk menikmati keindahan dari jauh semacam ini. 


Kota dari jauh. (Imam Rahmanto/ self timer)

"Jalan-jalan" saya tak begitu lama karena waktu bergulir hampir subuh. Teman-teman saya juga sudah lebih dulu masuk tenda. Saya memanfaatkan sisa waktu itu tidur di luar tenda. "Tidur beralaskan rumput, beratapkan langit" selalu jadi dambaan saya.

Beruntungnya, hujan baru turun selepas saya bangun dan hendak menjerang air panas. Baru saja menyeduh kopi ketika rintik kecilnya membasahi permukaan atap tenda. Saya awalnya menyangka, rintik halus itu hanya kabut pagi hari.

"Hujan, hujan. Ini bukan kabut," ucap saya, yang langsung disambut grasak-grusuk teman dari dalam tenda.

Tak ada yang menyangka, cerah malam berbuah hujan di pagi hari. Kami langsung disibukkan dengan mengamankan barang-barang dapur dan perlengkapan lain yang ada di luar tenda.

Sejak awal, kami sebenarnya juga sudah mewanti-wanti cuaca semacam itu. Oleh karenanya, kami membekali diri dengan flysheet. Kain "kedap air" yang awalnya kami jadikan alas duduk pun akhirnya dipakai untuk fungsi yang sebenarnya; menahan hujan. Tenda satunya tak tahan dengan guyuran hujan yang cukup deras.

Kami terpaksa bertahan dalam tenda, menikmati pagi yang kejam. Ya bagaimana tidak, niatnya mau foto-foto malah berteduh di bawah tenda. Belum lagi, tendanya perlahan melewatkan beberapa tempias hujan.

***

Kami pulang setelah menikmati pemandangan di sekitar lokasi itu. Hujan juga mereda. Saya baru sepenuhnya menyadari, wisata Bissoloro itu sebenarnya sebuah area perkebunan kampung yang diubah menjadi beberapa spot agar instagramable. Lokasi-lokasi begitu sudah sering saya temui di pedalaman kampung.

Background area itu juga dibatasi oleh gunung dan ladang jagung yang "biasa-biasa" saja. Jika dibandingkan sebuah tempat di Kabupaten Enrekang, yang menawarkan landscape Gunung Nona, masih kalah eksotik. Memang susah ya kalau bawaan orang kampung. Pembandingnya sudah sangat banyak. Hahaha

Terlepas dari itu, saya tetap membawa pulang perasaan bahagia. Menanggalkan banyak tekanan. Sinyal komunikasi yang redup sempat menghalangi pesan-pesan masuk di handphone. Kami mesti menunggu beberapa jam di jalan pulang untuk notifikasi yang membanjiri gawai.

"Salah satu kenikmatan bepergian di tempat-tempat begini, ya karena kita bisa hidup sebenar-benarnya hidup. Tidak ada medsos. Tidak ada notifikasi. Tidak ada pekerjaan,"

Nyatanya, tempat itu memang tidak begitu istimewa. Saya cenderung menikmati suasananya saja. Alam terbuka. Cahaya redup dari bintang di angkasa. Udara segar. Angin dingin. Cerita-cerita hangat bersama teman. Yah, di bawah guyuran hujan pun, kami bisa lebih banyak bertukar bercerita. Bukankah kehangatan obrolan sepertinitu yang sudah langka karena dibatasi pengaruh gadget? Esensi sebuah pertemuan dan pertemanan~

Dan lagi, kenikmatan itu semakin bertambah. Dalam perjalana pulang, kami mampir di salah satu warung sederhana Pallubasa di pinggir jalan.

"Tidak usah bayar. Biar saya yang eksekusi," ujar teman, yang juga senior di LPM Profesi itu.

Nah, kan! Nikmat mana lagi yang kamu dustakan? []

Kapan lagi bisa menangkap momen begini? (Imam Rahmanto)

Note: Cerita di atas tak termasuk kamera yang sempat ketinggalan di warung dan foto-fotonya yang terhapus setengahnya. Haha


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments