Melupa atau Terlupa
Desember 09, 2018Baca Juga
Lembayung terakhir di Bone. (Imam Rahmanto) |
Saya juga sendirian. Warkop ini tak lekang oleh ingatan saya diantara udara dan debu perkotaan. Meski pemiliknya, baru-baru ini, menjadi tim sukses gubernur, saya tak ambil pusing. Tempat ini selalu menjadi tempat berlabuh dan menyepi paling baik kala berada di kota Makassar. Apalagi, tampilannya kini lebih "ngafe".
Keberadaan saya di kota Makassar sekaligus menutup perjalanan saya menasbihkan tugas sebagai pewarta di daerah. Saya tak lagi naik-turun gunung di daerah terpencil. Tak lagi berurusan dengan para bupati dan jajarannya. Tak pula sepi-sepi sendiri.
Belum genap seminggu saya menyesapi udara kota. Diantara deru-deru kendaraan di jalan, bayangan akan suasana perkampungan terus membumbung tinggi. Saya tak bisa melepaskan segala ingatan tentang kesunyian daerah. Memang, ada sepi-sepi sendiri kala bertugas di daerah, namun rutinitasnya tak mencekik logika.
"Wah, orang kampung! Kapan kamu datang?" teman-teman sesama wartawan di lapangan menyapa dalam nada yang sama.
Saya masih mengenali beberapa orang yang aktif di desk yang sama. Sebagaimana dua tahun silam, saya kembali terjun dalam tugas-tugas keolahragaan. Tak terkecuali bersentuhan dengan dunia bola atau PSM, secara khusus.
Sejujurnya, saya masih lebih merindukan suasana di kampung. Bagi saya, kota terlalu gampang menguapkan ingatan. Mungkin, gara-gara panasnya. Segalanya berjalan begitu cepat. Seolah-olah tak ada jeda untuk berjumpa. Orang-orang seperti diburu waktu yang menjelma dalam perhitungan ekonomi. Kita bertemu, namun gampang melupa. Ah, lebih gampang lagi: terlupakan.
Kehidupan di daerah menawarkan hal paling natural. Pertemuan yang lebih kekal. Ingatan yang lebih indah. Waktu yang berjalan lebih lambat, sebagaimana relativitas terbentuk. Orang-orang tak pernah terlalu sibuk untuk aktivitas yang lain. Segalanya tak melulu soal pekerjaan dan kesibukan.
"When do you think people die? When they are shot through the heart by the bullet of a pistol? No. When they are ravaged by an incurable disease? No. When they drink a soup made from a poisonous mushroom!? No! It’s when... they are forgotten." (dr. Hiluluk, One Piece anime)
Dua hari terakhir saya disana berakhir cukup epik. Tetangga masak-masak, bilang sebagai perpisahan. Padahal, kami hanya memanfaatkan sesisir pisang mentah yang diberikan tetangga lain. Gara-gara pisang peppe, berlanjut ke acara bakar-bakar ikan.
"Tapi sudah tidak ada ikan jam segini (jelang tengah malam). Ayam saja dibakar, gimana?" usul seorang teman sesama wartawan, yang bertandang ke kosan. Beruntungnya, saran tetangga kosan, daging ayam itu berbuah makanan khas Pinrang, Palekko.
Pesta yang dianggap sebagai farewell party itu ternyata masih berlanjut hingga malam terakhir saya bersama mereka. Terakhir kalinya, saya mencicipi Baro'bo bersama teman-teman. Lagi-lagi, acara santap-santap itu tetap diwarnai dengan rental PlayStation 3. Yah, saya disatukan dengan beberapa teman yang juga aktif bermain PES 2013.
"Meracuni" anak tetangga dengan kebiasaan kami. (Imam Rahmanto) |
"Ah, kau Imam. Saya baru-baru jomlo sudah ditinggalkan pacar. Ditambah kau lagi yang pergi meninggalkanku," ucap teman wartawan, yang baru sebulan bersisian kamar dengan saya.
Memang, tak ada yang lebih sakit daripada menjadi yang ditinggalkan.
Barangkali, saya sudah dianggapnya sebagai seorang sahabat. Entah bagaimana caranya, kami bisa akrab dan berbagi hal-hal di luar pekerjaan. Barangkali, waktu yang kami habiskan bersama-sama di atas gunung menyusupkan kedekatan yang lebih karib. Benar juga, orang-orang bisa lebih dekat dan saling mengenali ketika menghabiskan waktu sama-sama di alam terbuka.
Sampai berjumpa lagi. (Self timer) |
Selamat datang di kota...
Sudah saatnya saya harus mengisi playlist lagu di gadget agar tak merasa bosan sepanjang kemacetan kota. Ah iya, butuh juga uang receh sebagai backup bagi kang-kang parkir yang bertebaran di segala sisi bangunan kota. []
--Imam Rahmanto--
0 comments