Menyemai Rindu

November 28, 2018

Baca Juga

Menjumpai pagi. (Foto by Irwan)

Dalam kepala saya, selalu muncul potongan adegan bayang-bayang pohon, hijau pegunungan, tanjakan melelahkan, kabut tipis, hingga tubuh-tubuh yang bergelung di atas matras karena tenaga yang terkuras. Itu seumpama memilin potongan film yang pernah saya alami sendiri. Karena dibumbui rindu, adegan-adegan itu terus berputar dan seolah ingin kembali diwujudkan secara deja vu.

Rindu yang tertanam itu tak pernah benar-benar tuntas diwujudkan. Beberapa waktu, saya hanya bisa membincangkannya dengan kawan dan mengatur porsi rencana untuk diwujudkan. Sayangnya, kami benar-benar tak punya waktu (atau malah diperbudak pekerjaan?) untuk sekadar mengangkat kaki ke alam bebas. Padahal, usia penempatan "dinas" saya di tanah bugis sudah lebih dari enam purnama.

"Ayo deh, kita kesana sore ini. Besok kan libur," ajak teman setelah kami mengobrol dengan segelas kopi di tengah terik siang.

Dan akhirnya, deja vu mewujud dalam bentuk yang paling tak terencana...

Bagi saya, tak ada kata libur dalam kamus pekerjaan di kantor. Meski begitu, penempatan "dinas" yang jauh dari kantor pusat memberikan kesempatan yang berlebih dalam mengatur kapan-saya-ingin-meliburkan-diri. Kalau sudah soal kesempatan menyandang carrier, dan bermalam di bawah tenda, saya tak ingin menyia-nyiakannya.

"Memangnya tahu jalan kesana?" tanya saya lagi. Pertanyaan yang menjadi sumber molornya segala rencana petualangan, jauh hari.

"Kalau soal itu gampang. Saya punya teman yang bisa diajak kesana. Biar berangkat malam, kita takkan kesasar," sambutnya optimis. Akh, kenapa bilangnya baru sekarang?

Yah, rencana dadakan itulah yang mengantarkan kami ke puncak Coppo Cempa di belahan pegunungan Kabupaten Bone. Hanya berbekal dua tenda, kami mencoba mewujudkan apa yang telah terencana cukup lama. Lagipula, saya punya segala perlengkapan yanv dibutuhkan untuk menghabiskan waktu semalam suntuk di puncak bukit itu. Tersisa, melengkapi ransum (makanan) yang mengandalkan segala yang instan; mi instan dan kopi saset.

Kami sendiri tak habis pikir, hanya untuk mengunjungi puncak sejauh 30 menitan dari pusat kota itu, butuh waktu hingga berbulan-bulan lamanya. *tepok jidat

Ah, itu cuma pencitraan. (Imam Rahmanto)
***

Saya mengepak ransel (carrier) seadanya. Saya menyangka, kami hanya akan berangkat bertiga + dua teman baru sebagai penunjuk jalan. Seorang teman lagi, tampak sibuk dan tak begitu tertarik dengan hal-hal berbau perjalanan-yang-jauh-nan-melelahkan. Pada kenyataannya, ia memutuskan ikut dengan kami dalam perjalanan yang diawali dengan lolongan azan magrib. Awalnya, saya curiga, teman yang satu itu hanya ingin melampiaskan kegalauannya karena baru saja ditinggal sang kekasih. Kelak, kami ternyata punya kaki yang sama untuk mencapai puncak lainnya.

Saya tak pernah sungkan mengajak teman untuk melakukan perjalanan semacam itu. Terlalu banyak tempat indah yang terlewatkan jika hanya sekadar dinikmati dari layar gadget atau caption-caption keren akun Instagram. Cuma bikin greget sendiri. Terlebih lagi, saya sudah membekali diri dengan perlengkapan outdoor yang "tinggal-packing".

Carrier? Ceklis. Tenda? Ceklis. Kompor portabel? Ceklis. Nesting? Ceklis. Matras? Ceklis. Sleeping Bag? Ceklis. Penerangan? Ceklis. Sepatu trekking? Ceklis. Hammock? Ceklis. 

Cuma satu hal yang saya sesali; tak ada aroma arabika dalam menghabiskan malam-malam kami. Ini akhir bulan dan... saya harus mengurut dada. 

"Kamu ini anak pecinta alam ya?"

Tak jarang, pertanyaan semacam itu muncul diantara teman-teman yang baru mengenal saya. Maklum, alat outdoor itu terlalu banyak hanya untuk dimiliki orang biasa seperti saya. Bukan pendaki dan tak pernah terjun dalam komunitas-komunitasnya.

Sesungguhnya saya bukanlah salah satu bagian dari pecinta alam sebagaimana kebanyakan. Meskipun, saya harus mengakui, saya terlahir sebagai "anak gunung". Kehidupan di Enrekang tak pernah absen dari lekuk-lekuk gunung yang menjulang. Pun, saya lahir dari atmosfer yang bisa membuat gigi bergemeletuk. Besar diantara orang-orang yang bersarung dan berselimutkan tebal, hampir setiap malam. Jalan kaki adalah hal biasa.

Saya baru akrab dengan carrier dan tenda dalam penugasan sebagai wartawan daerah, setahun silam. "Racun-racun" itu dialamatkan dalam keseharian saya bersama teman-teman di Enrekang. (Baca disini). Dan "racun" itu semakin terasa nikmat sepulang menaklukkan puncak Rante Mario.

Perjalanan menapaki puncak Coppo Cempa tentu tak bisa dibandingkan dengan "kurang ajarnya" medan Latimojong. Kami menembus malam dengan berbekalkan satu carrier. Sisanya, hanya memanggul daypack dan gulungan tas tenda yang dirental, beberapa jam sebelumnya. Tanpa alat penerangan yang cukup, tentu puncak perbukitan itu akan sulit diraih.

Akh, dada saya kembali bergemuruh. Alam seolah berkompromi untuk menyambut kedatangan kami. Purnama tak pernah redup menuntun perjalanan kami dalam gulita. Bau-bau petrichor dari tanah yang lembab juga menandakan hujan baru saja bertandang. Perjalanan kami memang akan terus menanjak, namun alam sudah terlihat amat bijak.

"Maka bersyukurlah, karena kegalauanmu akan segera sirna," celetuk kami kepada salah seorang teman.

Ia, yang barangkali dengan memikul beban carrier volume 50 liter, berharap bisa melepaskan beban asmaranya hingga ke puncak bukit.

Saya begitu menikmati perjalanan itu. Meski menghabiskan waktu 30 menit, kerinduan akan perjalanan "muncak" terobati begitu saja. Senyum-senyum yang melebar. Suara tawa yang diselingi celotehan asmara. Perbincangan-perbincangan polos tentang gunung. Udara dingin yang bercampur peluh. Semuanya, menyemai dalam satu langkah menggapai ujung perjalanan. Dan pula, heningnya malam sungguh romantis merangkul keakraban kami.

Bagi saya, untuk mengenal orang lain, kita harus memasang telinga dan menyusun kata lewat hening dan sunyi. Tak ada orang yang benar-benar ingin "jujur" di tengah keramaian yang membingungkan.

JELAJAH - COPPO CEMPA
Klik atau geser ke kanan untuk foto lainnya. (Imam Rahmanto)

Sebenarnya, puncak Coppo Cempa masih bisa dijangkau sinyal seluler. Tak tanggung-tanggung, masih bisa menyapa kabar lewat dunia maya. Meski begitu, kami tetap menghabiskan waktu dengan banyak obrolan ngalor-ngidul. Barangkali hal-hal se-sederhana itu justru mengukuhkan diri kami sebagai makhluk sosial.

Beruntung, kami juga tak sendirian dalam menikmati "kemah kilat" di puncak Coppo Cempa. Sebelumnya, satu tenda sudah berdiri di ujung pelataran tebing. Sekelompok mahasiswa dengan bekal satu tenda juga tiba belakangan. Mereka sudah hafal mati jalur itu, hingga berani menempuhnya nyaris tengah malam.

"Kenapa cuma satu tenda?"

"Kalau begini cuacanya, biar tidur di luar tenda juga tidak masalah. Biasanya malah tidak tidur," jawabnya.

Dan memang, saya tak pernah ingin melewatkan malam yang berganti pagi dari atas puncak bukit itu. Pemandangan lembah berjejer diselimuti kabut tipis sangat sayang untuk dilewatkan. Bahkan, sungguh sayang melewatkan hangatnya kopi untuk menghalau rasa dingin.

Beberapa camp sebelumnya, saya juga lebih senang mengabadikan momen lewat jepretan kamera. Karena saya juga masih amatir, jadi butuh lebih banyak belajar dari alam. Lah, kapan lagi saya bisa bermalam di alam terbuka tanpa perlu disesaki tuntutan pekerjaan? Sebenar-benarnya "melarikan diri" adalah dengan kembali ke pangkuan alam.


"Dia harus memuji Edmond, bukan karena menciptakan ilusi semenakjubkan ini, melainkan karena berhasil membujuk ratusan orang dewasa untuk melepas sepatu mewah mereka, berbaring di halaman, dan mendongak memandang langit.
Kami terbiasa melakukan ini semasa kecil, tetapi pada suatu titik, kami berhenti melakukannya." (Origin, hal. 93)


Dan pagi menjelang... (Imam Rahmanto)

Kapan terakhir kali kamu tertidur menatap langit, bukannya langit-langit? 

Kapan terakhir kali kamu tertidur memeluk udara dingin, bukannya dingin layar gadget?

Kapan terakhir kali kamu tunduk dan sujud menghadap Tuhan, tanpa terhalang tembok yang kukuh dan bersekat-sekat?

Dan kemarilah, menuai kerinduanmu... sebagai manusia. []



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments