Agama dan Sains, yang Tak Pernah Akur

November 22, 2018

Baca Juga


"Sekarang kita berdiri di puncak sejarah yang ganjil," lanjut Edmond, "ketika dunia terasa terjungkir balik dan tak satu pun seperti bayangan kita. Tapi, ketidakpastian selalu menjadi pencetus perubahan besar; transformasi selalu diawali dengan pergolakan dan ketakutan. Aku mengimbau kalian untuk percaya terhadap kapasitas kreativitas dan cinta karena dua hal ini, ketika digabungkan, memiliki kekuatan untuk menerangi" (hal. 460)

Syukurlah, saya bisa menamatkan satu buku keren lagi. Ini menjadi buku ke-17 dalam kurun waktu setahun saya menargetkan 20 bacaan. Dan, saya harus rela dan ikhlas memberika lima bintang untuk nilai buku yang juga baru rilis tahun ini; Origin.

Ini bukunya! (Imam Rahmanto)

Buku karya peulis kenamaan, Dan Brown, ini melanjutkan pengalaman saya dalam mencicipi karya-karya populernya. Sebenarnya, ini buku ketujuh dari serial tokoh utamanya, Robert Langdon. Saya berkali-kali mendapati judul dan berbagai ulasannya yang tak mengecewakan. Akan tetapi, kesempatan perdana "membaca" petualangan Robert Langdon berasal dari film Da Vinci Code. Karena, novelnya belum sempat saya baca.

Secara otomatis, serial paling bungsu ini justru menjadi novel pertama yang saya nikmati. Tak peduli lembarannya yang bisa membuat orang berpikir dua kali untuk menamatkan; 507 halaman + ukuran huruf yang lebih kecil dibanding novel-novel pada umumnya. Kalau menilik terbitan aslinya, malah sampai 638 halaman. Saya harus mengacungi jempol terhadap minat baca orang-orang luar negeri.

Meski begitu, saya justru terjatuh dalam kedalaman buku ini. Saya tak perlu berpikir dua kali untuk bisa cepat-cepat menyusuri misteri-misteri Robert Langdon terhadap konsep Ketuhanan dan sains yang ditawarkannya. Memang, sejauh yang saya ketahui, buku-buku Dan Brown banyak menyajikan kisah-kisah keagamaan dalam perspektif sejarah, budaya, hingga sains. Butuh waktu hingga lima hari untuk bisa merangkum semuanya dalam kepala. 

Yah, kisahnya tentang Tuhan dari berbagai agama yang dihadapkan dengan sains. 

Pertanyaan dasarnya; Dari mana asal manusia? Dan akan kemana kah manusia?

Barangkali, saya tidak menyarankan buku ini untuk orang-orang yang sangat fanatik terhadap ajaran agama tertentu. Bagaimana tidak, pandangan-pandangan beberapa tokoh di dalamnya berbicara banyak hal terkait agama dan Tuhannya. Konsep-konsep itu dipaparkan dan disejajarkan untuk menghadapi serbuan para penganut ateis (tak beragama) dengan sains. Meski begitu, tak berpusat pada satu agama saja. Kisahnya menghimpun satu garis lurus melalui alur yang dikendalikan dari Kerajaan Spanyol. 

Sang tokoh utama, Robert Langdon harus menyusuri misteri-misteri dari sang ilmuwan sekaligus sahabatnya, Edmond Kirsch yang terbunuh di tengah-tengah presentasinya menjawab pertanyaan mendasar itu. Ia mengklaim telah menemukan jawaban dari kedua pertanyaan seumur hidup manusia itu. Dan jawabannya, bukan saja akan mengguncang fondasi keimanan atau kepercayaan umat manusia, melainkan bakal meruntuhkannya sekaligus.

Saya menyukai hampir keseluruhan buku ini. Betapa saya merindukan kisah-kisah yang didominasi tentang sejarah dan budaya. Bagi saya, novel selalu mengajarkan sesuatu tanpa perlu menggurui. Maka seperti itulah cerita bekerja dan menarik perhatian bagi pembacanya.

Semua tempat yang digambarkan begitu mendetail. Tempat-tempat itu benar adanya dalam kehidupan nyata. Saya hanya perlu mengetikkan nama-nama tempat itu (yang biasanya dicetak miring dalam buku) di pencarian Google untuk membuktikan keaslian lokasinya. Kenyataannya, semua adalah tempat-tempat bersejarah dan berseni di seputaran negara Spanyol, khususnya Barcelona. Mulai dari museum Bilbao Guggenheim, hingga gereja Sagrada Familia. 

"Walaupun bagian luarnya ganjil, kejutan Sagrada Familia yang sesungguhnya hanya bisa dilihat setelah melangkah masuk melintasi ambang pintunya. Begitu berada dalam ruang suci utama, pengunjung selalu berdiri ternganga ketika mata mereka merayapi kolom-kolom batang pohon yang miring dan meliuk ke atas hingga enam puluh meter menuju serangkaian kubah melayang seperti kanopi kristal pada dahan-dahan pohon. Penciptaan "hutan berkolom" itu, kata Gaudi, adalah untuk mendorong benak agar kembali memikirkan para pencari spiritual kuno yang menganggap hutan sebagai katedral Tuhan," (hal. 331)

Gereja Sagrada Familia, Barcelona. (Sumber: dotravel.com

Tak hanya tempat asli, Origin juga menawarkan sejarah dan ilmu pengetahuan yang sesuai fakta. Pengetahuan yang menjadi landasan cerita ini juga bisa dicari lewat kolom pencarian Google. Seandainya saya ingin benar-benar mendalami kisah ini, saya bakal mengetikkan setiap sejarah da tempat yang menjadi latar belakang cerita. Salah satunya, seperti yang dikatakan dalam novel ini terkait Kristen Katolik yang juga terpecah dalam dua kubu. Jadi, bukan hanya Islam saja yang terpecah-pecah dalam beberapa kubu dan kepercayaan.

Ah ya, seni-seni mengagumkan juga banyak berkeliaran dalam kisah perburuan Robert Langdon. Kalau dibayangkan, betapa mendalamnya pemahaman orang-orang di Spanyol tentang seni. Saya banyak menjumpai nama-nama seniman yang biasanya hanya "masuk-telinga-kiri-keluar-telinga-kanan" dalam pelajaran sekolah. Lewat novel ini, saya jadi semakin tergiur untuk menyusuri sejarah kota Barcelona. Terkutuklah wahai Pasporku yang masih kosong-melompong!

Meski begitu, alur cerita dalam sebuah novel selalu menjadi pemikat utama. Latar belakang penceritaan hanya menjadi bumbu-bumbu untuk lebih menghidupkan jalan ceritanya. Untungnya, Dan Brown memang terlalu kreatif untuk membangun konflik misteri penemuan Edmond Kirsch dengan para pemuka agama. Penemuannya itu menyamai "kekuatan" Copernicus dalam menggeser pandangan bahwa bumi itu adalah pusat alam semesta. Pertanyaan fundamental eksistensi manusia; Dari mana kita berasal? dan ke mana kita setelah ini?

Sayangnya, jawaban untuk pertanyaan kedua masih mengganjal bagi saya. Sebagaimana yang kita ketahui, agama-agama memberikan opsi pada pilihan "kehidupan selanjutnya" untuk para penganutnya. Kita mengenalnya dengan berbagai sebutan, semisal akhirat, nirwana, reinkarnasi, dan semacamnya. Saya menyangka, pertanyaan akan kemana kah kita bakal memberikan jawaban seputar misteri tersebut. Sayangnya, Edmond memaparkan hal lain msekipun masih berkaitan dengan dunia nyata di kehidupan sebenarnya.

Terlepas dari itu, buku ini benar-benar bahan bacaan yang sangat menarik bagi orang-orang yang sangat gemar berdiskusi tentang agama dan Tuhan. Barangkali, setelah membaca novel ini, orang-orang akan berpikir ulang tentang pemahamannya terkait agama, meskipun sejatinya novel ini hanya karya fiksi dengan menyertakan berbagai fakta dan pengetahuan. []

"Apakah cukup mendiami semesta yang hukumnya secara spontan menciptakan kehidupan? Atau apakah kau lebih memilih ... Tuhan? Dia terdiam sejenak, terlihat malu. "Maaf setelah semua yang kita lewati malam ini, aku tahu ini pertanyaan yang janggal."
"Yah"," Langdon tertawa, "kupikir jawabanku harus menanti hingga aku cukup tidur. Tapi tidak, itu tidak janggal. Orang-orang selalu bertanya apakah aku percaya Tuhan?"
"Dan apa jawabanmu?"
"Aku menjawab sejujurnya," ujarnya. "Kuberi tahu mereka bahwa bagiku, pertanyaan tentang Tuhan bergantung pada pemahaman akan perbedaan antara kode-kode dan pola-pola."
Ambra menoleh ke arahnya. "Aku tidak yakin akan memahaminya."
"Kode-kode dan pola-pola itu jauh berbeda satu dan lainnya," ujar Langdon. "Dan banyak orang yang mencampuradukkan keduanya. Dalam bidang yang kugeluti, amatlah penting memahami perbedaan dasar keduanya."
"Yaitu?"
    (hal. 485)



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments