Gadai
Oktober 30, 2018Baca Juga
Kopi saya masih belum tersentuh. Uapnya mengepul-ngepul, menggoda selera. Saya juga lebih suka memandangi kremanya (bukan busa) di atas permukaan. Itu menandakan, kopi itu baru saja "diperas" memakai Rokpresso - sebagaimana kata pemilik kafe.
Berkali-kali saya menyeduh kopi, tak pernah bisa mendapatkan "busa" setebal itu. Baik mokapot maupun Viet-drip, selalu menyisakan krema yang sangat sedikit. Tak sampai 10 detik, krema akan hilang, berganti pekat dan aroma kopi. Padahal, saya sejak dulu mengidamkan kopi yang menampilkan krema di atas permukaannya.
"Kalau tidak punya Rokpresso, bisa pakai Aeropress," ungkap sang pemilik kafe. Sudah lama sekali sejak saya berbincang akrab dengannya.
Diantara waktu senggang itu, orang-orang bergantian melintas dan berhenti dari balik punggung. Hampir setiap hari, saya mendapati keramaian semacam itu. Orang-orang antre di depan kantor Pegadaian. Persis letaknya yang hanya dibatasi sekat dinding dengan kafe langganan. Sementara saya selalu memilih duduk di bagian teras kafe, yang bersisian langsung dengan jalan beraspal. Selain pemandangan lebih lapang, udara di depan teras jauh lebih sejuk.
Motor-motor juga kerap diparkir di depannya. Kalau tak cukup, motor lain diparkir di seberang jalan. Posisi itu jauh lebih sejuk, karena tepat berada di bawah pohon mangga yang rindang. Kalau masih tak muat, kendaraan roda dua atau empat bisa mengambil tempat sepanjang jalan. Jalan beraspal di depan kafe tak pernah cukup sesak dan padat. Kendaraan hanya melintas sesekali. Alurnya juga hanya percabangan jalan poros. Dulu, kata pemilik kafe, area "segitiga" di sekitar sini merupakan pasar sentral lama. Jelas sekali, karena masih ada sisa-sisa pasar malam di sepanjang jalan poros kota.
"Sudah tutup ya, Pak? Atau lagi istirahat? Kapan bukanya ya?" beberapa kali saya mendengar pertanyaan serupa, yang ditujukan kepada satpam. Orang-orang bergantian menyambangi pegadaian yang hanya seukuran satu ruko itu.
Saya tak begitu paham urusan orang-orang di pegadaian. Hanya saja, satu hal yang biasa menjadi pelayanan dari instansi BUMN itu adalah soal: pinjaman dana. Syaratnya hanya menggadaikan barang-barang tertentu yang diterima oleh pegadaian.
Saya tak begitu paham urusan orang-orang di pegadaian. Hanya saja, satu hal yang biasa menjadi pelayanan dari instansi BUMN itu adalah soal: pinjaman dana. Syaratnya hanya menggadaikan barang-barang tertentu yang diterima oleh pegadaian.
Kadang kala, saya bersyukur masih bisa duduk-duduk di kafe dan hanya mengamati lalu-lalang mereka. Pikiran saya mengelana jauh dan bergumam, "Saya masih berkecukupan."
Sesusah-susahnya mencari nafkah, sungguh, saya tak pernah ingin berhadapan dengan opsi paling buntut semacam itu. Menggadaikan barang kesayangan. Ditaksir harganya. Dapat uang untuk menambal kebutuhan. Gajian bulan berikutnya bisa dipakai untuk menebus barang itu kembali.
Tidak.
Saya menganggap, kesulitan (keuangan) saya sejauh ini masih bisa diselesaikan dengan cara-cara non-pegadaian. Saya masih punya kesempatan untuk bernapas lega. Meskipun saban bulan dibebani kebutuhan kuliah adik, saya masih bisa "menutupi"nya lewat perhitungan yang lain.
"Jumlahnya semester segini? Ada nggak? Kalau nggak ada, tidak usah dipaksa. Bapak dan ibu juga pasti ngerti. Nanti saya coba bilang sama mereka," kata adik, yang biasanya akan membuat saya mengurut kepala.
"Ada lah. Tenang saja," jawab saya singkat, yang langsung mengalihkan pikiran kepada: cara-cara menghasilkan-uang-dalam-waktu-singkat-tanpa-ngepet.
Sejujurnya, penghasilan saya setiap bulan masih terbilang cukup dan memuaskan. Namun, penghasilan tanpa tabungan itu akan langsung ludes jika dihadapkan dengan akumulasi yang lebih besar dengan kebutuhan kuliah. Seolah-olah, dana dalam rekening hanya mampir untuk menyapa. Selebihnya hanya menyisakan angan-angan pahit - sepahit kopi robusta - dengan memperbanyak stok Indomi dan air putih.
Saya harus rela "menguatkan" diri jika berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan adik saya. Disamping tak ingin membebani orang tua, saya ingin membuktikan hal-hal tertentu. Maka tak perlu heran, jika tiba masanya kebutuhan "mendesak" itu merangsek dalam pesan-pesan WA, saya harus selalu mengiyakan dan berlagak sebagai "orang kaya". Meskipun ujung-ujungnya, saya harus memutar otak agar setidaknya masih bisa makan sekali-sehari. ha ha ha.
Nah, jika memutar peran dan kenangan, hal yang sama terjadi pada kehidupan masa kecil kita. Dulu, orang tua selalu menyanggupi kebutuhan atau permintaan kita, tanpa pernah menunjukkan rasa susahnya. Kita santai saja menganggap segala "pemberian" itu semata-mata karena pekerjaan yang dilakoni orang tua. Padahal, kalau kita ingin memutar bayangan lebih jauh, bisa saja "pemberian" itu berasal dari pinjaman atau bantuan lain yang diupayakan lewat belas kasihan orang lain. Sedari dulu, susah orang tua selalu tersamarkan oleh senyumannya...
Sepayahnya saya, beruntung belum pernah membuka pintu pegadaian. Pernah, saya nyaris menggadaikan salah satu barang kesayangan. Saya sudah kepikiran dan sempat mengecek di internet terkait nilai gadainya. Namun urung kala melihat taksiran harganya. Kenyataan yang lebih pahit kembali menampar kesadaran saya.
Sesusah-susahnya mencari nafkah, sungguh, saya tak pernah ingin berhadapan dengan opsi paling buntut semacam itu. Menggadaikan barang kesayangan. Ditaksir harganya. Dapat uang untuk menambal kebutuhan. Gajian bulan berikutnya bisa dipakai untuk menebus barang itu kembali.
Tidak.
Saya menganggap, kesulitan (keuangan) saya sejauh ini masih bisa diselesaikan dengan cara-cara non-pegadaian. Saya masih punya kesempatan untuk bernapas lega. Meskipun saban bulan dibebani kebutuhan kuliah adik, saya masih bisa "menutupi"nya lewat perhitungan yang lain.
"Jumlahnya semester segini? Ada nggak? Kalau nggak ada, tidak usah dipaksa. Bapak dan ibu juga pasti ngerti. Nanti saya coba bilang sama mereka," kata adik, yang biasanya akan membuat saya mengurut kepala.
"Ada lah. Tenang saja," jawab saya singkat, yang langsung mengalihkan pikiran kepada: cara-cara menghasilkan-uang-dalam-waktu-singkat-tanpa-ngepet.
Sejujurnya, penghasilan saya setiap bulan masih terbilang cukup dan memuaskan. Namun, penghasilan tanpa tabungan itu akan langsung ludes jika dihadapkan dengan akumulasi yang lebih besar dengan kebutuhan kuliah. Seolah-olah, dana dalam rekening hanya mampir untuk menyapa. Selebihnya hanya menyisakan angan-angan pahit - sepahit kopi robusta - dengan memperbanyak stok Indomi dan air putih.
Saya harus rela "menguatkan" diri jika berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan adik saya. Disamping tak ingin membebani orang tua, saya ingin membuktikan hal-hal tertentu. Maka tak perlu heran, jika tiba masanya kebutuhan "mendesak" itu merangsek dalam pesan-pesan WA, saya harus selalu mengiyakan dan berlagak sebagai "orang kaya". Meskipun ujung-ujungnya, saya harus memutar otak agar setidaknya masih bisa makan sekali-sehari. ha ha ha.
Nah, jika memutar peran dan kenangan, hal yang sama terjadi pada kehidupan masa kecil kita. Dulu, orang tua selalu menyanggupi kebutuhan atau permintaan kita, tanpa pernah menunjukkan rasa susahnya. Kita santai saja menganggap segala "pemberian" itu semata-mata karena pekerjaan yang dilakoni orang tua. Padahal, kalau kita ingin memutar bayangan lebih jauh, bisa saja "pemberian" itu berasal dari pinjaman atau bantuan lain yang diupayakan lewat belas kasihan orang lain. Sedari dulu, susah orang tua selalu tersamarkan oleh senyumannya...
Sepayahnya saya, beruntung belum pernah membuka pintu pegadaian. Pernah, saya nyaris menggadaikan salah satu barang kesayangan. Saya sudah kepikiran dan sempat mengecek di internet terkait nilai gadainya. Namun urung kala melihat taksiran harganya. Kenyataan yang lebih pahit kembali menampar kesadaran saya.
Saya masih lebih mengandalkan teman, khususnya mereka yang berada dalam pekerjaan sama. Kami tak pernah sungkan untuk berbagi nasib sial. Saling meledek. Atau mengeluh satu sama lain. Selebihnya, Tuhan juga bekerja dengan cara-cara yang tak terduga. Kadang kala, bantuan-Nya datang di saat saya benar-benar pasrah dan hampir menyerah.
"Kenapa tidak mau saya bantu saja sih?" tanya seorang perempuan - yang menambatkan separuh hatinya.
Saya akan memikirkan ribuan kali untuk meminta bantuan dari perempuan, apalagi orang kesayangan. Sebagaimana belajar menjadi "orang tua" lewat adik saya, saya juga mesti belajar menjadi pria bertanggung jawab. Entahlah, sebagian lainnya lagi karena bersentuhan dengan harga diri seorang pria.
"Kenapa tidak mau saya bantu saja sih?" tanya seorang perempuan - yang menambatkan separuh hatinya.
Saya akan memikirkan ribuan kali untuk meminta bantuan dari perempuan, apalagi orang kesayangan. Sebagaimana belajar menjadi "orang tua" lewat adik saya, saya juga mesti belajar menjadi pria bertanggung jawab. Entahlah, sebagian lainnya lagi karena bersentuhan dengan harga diri seorang pria.
Bagi saya, menggadaikan barang harus menjadi opsi paling terakhir. Ada anekdot yang beredar, "Kalau kamu belum pernah menggadaikan barang, kamu belum merasakan susahnya hidup." Sejauh ini, saya beruntung masih bisa sesumbar. Tak perlu berharap menjadi orang susah. Yang dibutuhkan saat ini, belajar menjadi orang cukup. Kelak, ketika saya sudah benar-benar menggadaikan barang, itu artinya saya sudah benar-benar terpuruk... []
Salah satu cara berhemat dari "jajan" kafe. Beruntung, saya dikelilingi orang-orang baik yang masih rela mengirimkan Arabika Kalosi (Enrekang) dan Gayo (Aceh). (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments