Anak-anak dan Kucing

Agustus 14, 2018

Baca Juga

Anak kucing kesasar. (Imam Rahmanto)

Seekor kucing mendadak jadi pusat perhatian anak-anak kecil di indekos.

"Kakak, kakak! Ada anak kucing kudapat," ucap dua anak kecil hampir bersamaan menyambut saya.

Saban hari, kompleks indekos saya memang selalu riuh dengan anak-anak yang ingin bermain. Ada tiga anak kecil dari dua tetangga yang berbeda. Semuanya masih berumur balita. Biar begitu, tingkahnya terkadang sudah membuat pening kepala. Percayalah, di balik lucunya anak-anak, tersimpan keganasan yang tak berbalas. 

Barangkali, saya terlalu terbuka dengan anak-anak. Dua anak perempuan bersaudara adalah yang paling dekat dengan saya. Seolah-olah, saya sudah menjelma jadi babysitter-nya. Mereka juga tak pernah sungkan nyelonong masuk dalam kamar saya. Biasanya, dari mulut mereka akan berlompatan kalimat magis,

"Kak, krupuk.... krupuk," sambil melihat-lihat tempat penyimpanan stok cemilan saya. 

"Kak, masak mi. Masakkan mi," kalau semisal stok cemilan habis, berpindah dengan berbagai jenis mi instan. Mereka suka menonton aksi saya memasakkan mi pakai kompor portabel. 

Saya suka saja berinteraksi dengan mereka. Kata dukun beranak orang, anak-anak bisa membuat kita lebih awet muda. Tidak mesti lewat fisik, melainkan lewat perasaaan berbahagia bersama mereka. Sayangnya, kondisi itu harus sebanding dengan tingkah mereka yang suka mengobrak-abrik kamar saya. Wajar, karena mereka masih belum paham bahwasanya "kebersihan adalah sebagian dari iman (bukan imam)." 

Kucing itu juga menjadi salah satu kesibukan baru mereka. Setidaknya, ada teman bermain. Pun, acara "bongkar-bongkar" kamar saya bisa sedikit teralihkan. 

"Dapat dari mana?" tanya saya.

"Tadi, Caca dapat dari jauh... jauh disana," ucap anak perempuan yang paling muda.

"Di bagian mana?" saya memastikan lagi. 

"Jauh disana," jawabnya lagi, terbata-bata.

Seperti biasa, ia takkan bisa menjelaskan banyak hal pada lantaran masih cadel. Berbeda dengan kakaknya, yang lebih tua setahun. 

Kami menamainya Sore. Alasannya, karena kucing itu mereka temukan di waktu sore. 

"Kak, kak, mau cari rumahnya," ucap anak-anak itu, sambil berkeliling mencarikan kardus bekas. Mereka juga menyisir seisi kamar saya.

Mereka mendapatkan kardus bekas di gudang indekos. Seisi kardus dibongkar dan berserakan di depan kamar saya. Niat mereka untuk membuatkan rumah buat Sore bisa dimaklumi. Sayangnya, niat itu masih sebatas permainan anak kecil. Kardusnya malah tak terpakai sampai sekarang.

Sore sempat bermalam di dalam kamar saya. Ibu kedua anak itu tak mengizinkan kucing berada di dalam kamar mereka. Seperti biasa, orang-orang dewasa punya ketakutan berlebihan dengan bulu kucing. Saya malah membiarkannya mengambil alih sarung yang biasanya menjadi selimut. Sesekali ia akan mendekat di sebelah kaki saya. Bergelung dan menempelkan badannya. Tampaknya, anak kucing ini memang butuh kehangatan yang belum sempat dihabiskan dengan ibunya.

Kucing itu mengingatkan saya bagaimana anak-anak belajar lebih peduli. Bisa dibilang, Sore jadi sarana bertanggung jawab bagi mereka. Setidaknya, mereka mulai bertanya-tanya apa makanan untuk Sore. Mereka mencarikan segala makanan yang pas, mulai dari nasi hingga cemilan berupa snack. Meski saya sendiri juga tidak begitu mengerti apa makanan kucing yang masih kecil seperti itu. Ikan sarden yang saya sodorkan sama sekali tak menarik minatnya. Sore lebih lahap menghabisi dua capung yang beterbangan dalam kamar saya.

Ternyata, pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Saya baru selesai googling jenis makanan untuk anak kucing, saat Sore tak lagi berada di sekitar indekos. Sepulang dari rutinitas hari ini, ia menghilang. Anak-anak memberitahu, ibu mereka membuangnya entah dimana. 

"Dibuang sama mamaku. Katanya kotor, bussu," ujar anak-anak, yang selalu menyambut saya turun dari motor.

Kasihan. Semoga anak Sore bisa menemukan jalan pulang ke rumah ini lagi. []


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments