Hijau Bakau

Juli 29, 2018

Baca Juga


Siapkan ranselmu. (Imam Rahmanto)

"Kayaknya, kamu akan tertarik kabar ini," ungkap salah seorang teman dari media lain, suatu malam. 

Pertemuan kami di kedai kopi, hingga larut, berujung pada perjalanan satu jam dari kota Watampone ke arah selatan. Ia tahu betul kabar yang akan menjadi "makanan" bagi pembaca kami. Saya melunasinya. Bukan sekadar karena tawarannya yang menarik. Melainkan, saya terlampau suntuk jika hanya berputar-putar di tengah kota, yang lebih banyak menunggui lampu merah.

Perjalanan saya di daerah ini masih sebatas kamar kosan - liputan lapangan. Kalau sedang didera rasa malas, jaraknya malah semakin ringkas dan singkat. Saya hanya duduk-duduk menghabiskan waktu dengan menyeruput kopi-susu di kedai kopi langganan. Sudah lama, cappuccino tergantikan dengan olahan kopi-susu (kental manis) yang sederhana. Bahkan, di kosan, saya juga hanya meracik kopi-susu (dari viet-drip atau moka-pot). 

Saya rindu memandangi tempat-tempat yang lebih hijau daripada sekadar bangunan-bangunan mewah dengan orang-orangnya yang bersetelan jas dan pantofel. Rasanya, lebih menyenangkan memungut senyum-senyum warga yang mengenakan sandal jepit diantara rimbun sawah atau pepohonan. Bahkan, perbincangan dengan mereka sangat jauh dari kepentingan-kepentingan tak berujung. 

Kabar yang disampaikan teman saya pun berbuah liputan yang memang sangat dinanti-nanti kantor. Sudah berapa purnama ya saya tidak merangkai naskah feature? 

Saya dengan senang hati melintasi empat kecamatan untuk sampai disana. Bayangan hijau perkampungan memang selalu jadi magnet buat saya. Malah, karena usulan tambahan, kami juga berlabuh di salah satu wisata hijau di kabupaten tetangga; Hutan Mangrove Tongke-tongke. Jaraknya hanya tersisa sekira 20 menit berkendara roda dua. Yah, itulah tujuan sebenarnya!

Hutan Mangrove Tongke-tongke, Sinjai. (Imam Rahmanto)

Saya pertama kalinya menginjak hutan mangrove yang sempat mengangkat nama Kabupaten Sinjai itu. Tak ada salahnya berkunjung kesana. Saya menjadikannya refreshing dari kekecewaan karena tak menjumpai narasumber kami. Iya, kami sampai harus menunggui dua jam tanpa hasil di depan rumahnya. Alhasil, saya terpaksa kembali menyambangi rumahnya itu, keesokan harinya, seorang diri. 

"Setidaknya, mengobati kekecewaan. Nikmati saja, pasti lama itu," ucap teman, yang juga membawa-bawa mirrorless-nya, memang karena berniat hunting.

Jarak Hutan Mangrove dari pusat ibukota Kabupaten Sinjai sebenarnya tak begitu jauh. Hanya sekira 15 menit untuk menjangkau pesisir pantai itu. Sayangnya, waktu kami labih banyak dihabiskan menunggui teman "penunjuk jalan" sekaligus model dalam beberapa frame. Apalagi, sudah seharusnya keindahan alam disandingkan dengan keindahan Tuhan yang lainnya. Duh.

Untuk beberapa alasan, hutan bakau di pesisir timur itu memang cukup Instagram-able. Saya menjumpai pengunjung yang berasal dari berbagai kalangan, tua hingga muda, berjalan-jalan di sepanjang jembatan selasar kayunya. Bahkan, pengunjung pun bisa mengelilingi hutan mangrove itu dengan mengayuh sepeda. Tentu saja, kamera tak bisa lepas dari tangan.

Seandainya setiap selasar dilengkapi dengan lampu-lampu senja, barangkali suasananya akan terasa lebih romantic. Jalur-jalurnya masih dihias seadanya. Termasuk papan-papan imbauan yang masih terasa formal. Isinya kalah kreatif (atau lucu) dari beberapa tempat wisata yang pernah saya kunjungi. 

Satu-satunya yang agak berbeda dari pemandangan selasar hutan mangrove itu yakni gantungan warna-warninya. Kalau lebih diperhatikan, itu terbuat dari sampah kemasan gelas plastik air mineral. Butuh lebih banyak hiasan semacam itu biar lebih instagram-able bagi anak-anak muda kekinian.

Sayang sekali, saya dalam keadaan mood yang tak baik saat menapaki setiap papan kayu selasarnya. Kekecewaan tidak-mendapatkan-bahan-liputan-hari-ini membuat saya hanya melemparkan pandangan seadanya di sekitar hutan bakau itu. Kilasan jepret kamera saya juga tak begitu maksimal mengabadikan pemandangan hijaunya. Bahkan, iming-iming model manis dari teman saya tak begitu manjur. Padahal, setelah saya pikir-pikir kembali, tempat itu memang cukup bagus menjadi lokasi "belajar" motret atau sekalian pre-wedding. Ya sudah, kapan-kapan saya akan meng-eksplore lebih banyak.

JELAJAH - MANGROVE SINJAI
(Note: Klik/ geser untuk foto-foto selanjutnya)

***

Bukannya saya sudah lama menginginkan perjalanan semacam ini ya? Mengisi hardisk saya dengan lebih banyak pemandangan dari satu tempat ke tempat lain. Bukan sekadar membebaninya dengan seremoni-seremoni belaka. 

Hal yang paling menyulitkan bagi saya adalah mencari partner in crime. Tidak semua orang punya waktu dan kemauan diajak berkeliling tanpa arah dan lokasi yang jelas. Suasana kota mungkin terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Dan lagi, kesibukan pekerjaan sudah terlalu padat menyita prioritas tersebut. Satu lagi; saya sama sekali buta dengan bahasa lokal daerah ini.

Sama seperti momen gerhana bulan kemarin, saya terpaksa hanya bisa memandanginya dari halaman kosan. Kalau di kabupaten sebelumnya, saya sudah akan mengepak ransel dan memancang tenda di salah satu bukit. Tentunya bersama teman-teman yang juga akan bersama-sama menyeruput kopi arabika.

"Diantara wartawan (media yang sama) yang pernah bertugas disini, kayaknya baru kau yang suka jokka (jalan-jalan). Trus, barusannya juga tidak terlalu peduli dengan deadline," kata seorang rekan. Saya hanya membalasnya tertawa.

Saya selalu menekankan pada diri sendiri, penempatan di daerah tidak serta-merta harus membuat saya "gila kerja". Saya harus menyadari kemampuan dan kebutuhan dari kantor. Dibanding menyusahkan diri, saya lebih senang menjelajah tempat-tempat baru. Mempelajari hal-hal baru. Berkenalan dengan orang baru adalah bonus tak terperi. Di kabupaten sebelumnya, saya mengenal banyak orang keren yang mengajari tentang hidup dan perjalanannya.

Salah satu pegangan saya, kamera, juga semata-mata karena kesenangan menjelajah itu. Saya sama sekali tak menyiapkan DSLR untuk kepentingan liputan. Sejatinya, saya hanya ingin belajar membekukan momen; lewat tulisan atau gambar. Hobi yang hakiki.

Hidup selalu menyebalkan kalau dihabiskan dengan keluhan "tak-kemana-mana". Sebelum usia senja menghampiri, ya mari memandangi lebih banyak hijau pepohonan dan biru laut dari sudut langit yang berbeda.

Anak-anak dan dunianya. (Imam Rahmanto)



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments