Vegetarian Karena Mimpi?

Juli 23, 2018

Baca Juga

Saya sedang tekun melahap buku sebulan terakhir. Ciee. Tercatat, ada sampai empat buku yang tamat. Bisa dibilang, itu rekor buat saya yang tak pernah mencapai target baca dalam kurun tiga tahun terakhir. Malah, dari tahun ke tahun, saya harus menurunkan target baca di Goodreads setiap tahunnya. Untuk tahun ini, saya cukup beruntung sudah mencapai setengah target yang-sudah-diturunkan itu.

Ada empat judul buku yang menjadi teman waktu senggang saya; Fiesta (Ernest Hemmingway), Vegetarian (Han Kang), Resign (Almira Bastari), dan Catatan Juang (Fiersa Besari). Akan tetapi, sebagaimana yang sudah-sudah, saya hanya akan membahas buku yang cukup recommended

Vegetarian dan tiga lainnya. (Imam Rahmanto)

Buku yang cukup membetot perhatian saya; Vegetarian. Tak salah jika beberapa orang teman (yang mengerti sastra-bukan-sekadar-menye-menye-Tere-Liye) sempat merekomendasikannya. Buku ini cukup fenomenal karena memenangkan penghargaan internasional Man Booker tahun 2016. Sekelaspenghargaan internasional begitu, tentu bukan hal mudah. Jangankan kelas internasional. Buku yang masih merupakan penghargaan nasional, semisal Literary Khatulistiwa, selalu berhasil membuat saya berdeak kagum.

Mulanya, saya menyangka Han Kang hanya menumpahkan kisah percintaan sebagaimana model sampulnya yang mencolok karena didominasi bunga mawar merah. Sampul ini untuk edisi terjemahan Indonesia. Dan lagi, kalau sudah berhubungan dengan Korea, saya biasa mengasosiasikannya dengan berbagai kisah cinta drama seperti pasaran filmnya, kan? 

Ternyata, hasilnya sangat berbanding terbalik dengan hipotesis alakadarnya itu. Sangat bertolak belakang. Siapa pun yang membaca buku ini takkan menjumpai hal-hal "menye" serupa drama korea. Tak ada kata atau kisah percintaan yang romantis. Bahkan, hubungan suami dan istri dalam cerita Han Kang ini tidak digambarkan biasa-biasa saja. Malah terkesan to the point. Satu-satunya yang agak mendekati romantis (cenderung vulgar) hanya di bagian (atau adegan) melukis tubuh.

Barangkali, novel ini bergenre thriller. Auranya agak dark karena diselimuti beberapa misteri yang tak terselesaikan. Misteri kenapa Kim Young Hye menjadi vegetarian secara mendadak hanya karena mimpi? Mimpi perempuan biasa-biasa itu juga digambarkan begitu misterius tanpa penjelasan hingga cerita usai. Ya, setiap kali ia mendapatkan pertanyaan kenapa menjadi vegetarian, ia hanya menjawab "karena mimpi".

Tak satu pun dari keluarganya, baik suami maupun orang tuanya, yang bisa mencegah kebiasaan dan sikap antipatinya terhadap daging. Kehidupan rumah tangga Young Hye juga berantakan setelah obsesinya menjadi vegetarian. Dtinggalkan suaminya hingga keluarganya. Satu-satunya yang masih setia merawatnya saat orang-orang menganggapnya "tak waras" adalah perempuannya Kim In Hye.

Sikap ganjil Young Hye juga berimbas pada kehidupan di sekitarnya. Hidup kakaknya juga berubah semenjak ia berubah menjadi vegetarian. Tak ada yang benar-benar berakhir bahagia, kecuali bagi Young Hye yang hidup dalam dunia dan pikirannya sendiri. 

Saya selalu terkesan dengan para penulis yang mampu memutar-mutar sudut pandang. Seperti teknologi yang terus berkembang, gaya penceritaan dalam sebuah novel pun selalu dinamis. Salah satunya dalam novel ini yang membagi cerita dalam tiga bagian besar; suami Young Hye, kakak ipar Young Hye, dan kakak perempuan Young Hye. Uniknya, rentang penceritaan ketiganya berkisar dua tahun.

"Sekarang aku bukan binatang lagi, Kak." Ia mengawasi kamar pasien kosong sebelum berbicara, layaknya sedang memberitahukan rahasia penting. "Aku tidak perlu makan nasi. Aku bisa hidup. Asal ada cahaya matahari." [Hal. 186]

Buku-buku yang keren tak selalu berakhir dengan akhir bahagia. Barangkali, cukup dengan memainkan rasa penasaran bagi para pembacanya.



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments