Masih Disini...

Juli 18, 2018

Baca Juga


"Aku sayang, karena kamu menulis," lirih seseorang dari ujung telepon. 

Saya benar-benar lupa hakikat menulis. Sebagaimana lupa untuk pulang ke rumah ini.

Saya baru saja dalam keadaan terjaga. Membuka-buka media sosial dan berlabuh di Instagram. Geser kesana kemari. Hingga jari-jari saya terhenti pada sebuah akun yang memposting lagu-lagu masa silam, era 2000-an. Musik nostalgia, yang langsung memutar masa remaja saya lewat rongga telinga. Sebagian postingan berupa video klip malah baru saya lihat sekarang.   

Tetiba saya rindu. Kenangan tentang segalanya menyeruak tanpa permisi. Padahal, dalam koleksi lagu di laptop, saya sudah menyiapkan donlotan youtube yang merangkum lagu-lagu masa SMA. Beberapa kali, saya juga memutarnya untuk mengusir sepi atau menemani pekerjaan. Mungkin, ada beberapa lagu yang tidak terdaftar dalam playlist itu yang memaksa saya kembali membuka soundcloud dan mencari-cari lagu lainya.

Maka melantunlah semua lagu yang pernnah populer di masanya. Ia mengantarka saya untuk pulang ke rumah ini, menulis...

Bukan karena tak ada waktu, yang membuat saya tak lagi menulis. Mungkin, sebagian orang juga (beralasan) seperti itu. Sedikitnya, saya mulai memahami bagaimana jalur kehidupan setiap orang; bahwa kita tak lagi menulis semata-mata karena tak tahu bagian mana lagi dari kehiidupan yang pantas diceritakan kepada orang lain. 

Tengoklah zaman beberapa tahun usia lebih muda dari sekarang. Saya, senang menceritakan apa pun. Saya tak peduli apakah tulisan saya akan dibaca atau sekadar menjadi bahan candaan. Saya menulis hanya karena ingin mengekspresikan pikiran dan perasaan. Pun, curhat. Malah, cerita-cerita semacam itu yang lebih luwes untuk diketikkan. Sesekali bisa mengundang tawa.

Segalanya berubah ketika beranjak dewasa. Barangkali, kita tak lagi menjadi apa adanya diri sendiri. Kehidupan lebih condong tentang bagaimana menjaga "kehormatan" atau "kewibawaan". Bagi zaman beberapa tahun lalu, orang-orang menyebutnya jaga imej a.k.a jaim. Tampaknya, sebagian diri merasakan hal semacam itu.

Kita tak lagi ingin menunjukkan sisi "anak kecil" dalam diri kita. Tak ada lagi "ceplas-ceplos" dalam bercerita. Seolah-olah, pikiran harus digodok 1000 kali sebelum ditumpahkan untuk orang lain. Jadinya, banyak hal yang disembunyikan untuk diri sendiri. 

Berkaca juga di media sosial. Coba tengok status-status beberapa tahun silam. Kondisi "ceplas-ceplos" kita akan sangat berbeda, karena sadar atau tidak, hal itu dipengaruhi oleh usia dan pergaulan. Orang-orang boleh menolak usia mereka yang semakin menua. Akan tetapi, satu hal yang tak bisa mereka tolak dari usia yang semakin menua itu; kedewasaan. Hal itu pula yang mengubur "anak kecil" yang selalu meminta perkataannya didiengarkan.

Tampaknya, usia memang semakin membuat orang semakin menjaga jarak. Pembawaan dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak serius. Seolah-olah, memang sudah bukan waktunya lagi untuk main-main. Bahkan sekadar menumpahkan keresahan seperti ini?

Tidak. Saya masih ada disini, kembali pulang untuk sesuatu yang sudah lama hilang. Back on track.

*Note: masih dengan mendengarkan lagu-lagu era 2000-an, hinggaa terlelap....

Pemandagan dari atas sebuah bukit di Kabupaten Enrekang.  


--Imam Rahmanto-- 

You Might Also Like

1 comments

  1. Sama juga mas, saya juga masih sering denger lagu-lagu tahun 2000-an. Kalau diputer jadi keingat masa anak-anak dulu yang nakalnya kebangetan, suka mnegkpresikan sesuatu dengan berlebihan. Tapi itulah masa yang paling diinget, kalau sekarang mungkin akan berbeda ceritanya tapi kita tetap masih bisa menjadi diri sendiri kok. Jangan takut.

    BalasHapus