Tangis Rindu Masa Lalu

Juni 17, 2018

Baca Juga


Air matanya tak tertahankan. Tak tahu sebabnya, perasaan itu hanya ingin mendesak dan membanjiri pipi. Matanya basah dan semakin sesak. Membuat orang-orang di sekitarnya sedikit khawatir.

"Kamu tah kenapa menangis gitu?" tanya iparnya.

Ia hanya menjawabnya dengan tersenyum tanpa tahu harus mengutarakan apa. Toh, ia sendiri tak mengerti kenapa pipinya bisa basah. Hatinya seolah remuk. Sejauh kenangannya, ia hanya menangis saat hendak berpisah dengan sang ayah. Lantaran tak pernah bisa bertemu untuk selama-lamanya.

Dalam kepalanya dipilah-pilah segala keperluan yang mungkin terlupa. Apa yang belum ditunaikannya di rumah keluarga, yang juga menjadi lumbung kenangan masa kecilnya. Rumah yang kini ditinggali keluarga-keluarga kakak perempuannya. Ramai oleh jeritan anak kecil yang sudah jadi cucunya sendiri. Akan tetapi, tak ada yang luput ditunaikannya.

"Tumbenan kamu menangis, padahal sudah dari dulu kebiasaan mau merantau jauh gak pernah menangis. Tidak malu dilihat sama dua anakmu?" ucap iparnya lagi.

Ia menyadari ucapan kerabatnya barusan. Kedatangannya kali ini memang tak sebatas melepas rindu. Keponakannya baru usai melangsungkan pernikahan. Meski sederhana, ia memutuskan hadir diantara saudara-saudaranya. Setidaknya, membagikan kabar untuk mereka yang sudah lama tak bertatap muka dengannya. Rantauan lelaki itu memang jauh ke tanah Sulawesi.

Perpisahan kali ini (setelah menetap sehari-semalam untuk membantu acara pernikahan) tentu tak seharusnya jadi se-menyesakkan ini. Suasana berbahagia keponakannya di pelaminan sudah seharusnya menyumbangkan lebih banyak senyuman. Pertemuan-pertemuan dengan kawan masa kecil juga setidaknya bisa mengubur perasaan apa pun yang mendorong air matanya keluar. Sayangnya, ia tak kunjung menemukan jawaban untuk pertanyaan sederhana semacam itu.

Kelak, ia baru menyadari, momen kumpul-kumpul bersama itu menjadi momen terakhir kali ia menjejak tanah kelahirannya. Tanah kelahiran, dimana sang ayah pernah membesarkannya, juga tempat sang ayah beristirahat dengan tenang menanti kunjungan doa-doanya.

***

Keluarga. (Imam Rahmanto)

Lelaki malang itu adalah Bapak. Kejadian, yang seingat saya, hanya berselang lima tahun dari hari ini. Kami sekeluarga menjadi saksi momen berbahagia sepupu saya itu, yang mengucap janji pernikahan, dan kini telah dikaruniai seorang anak.

"Mungkin itu jadi firasat, kalau Pa'e tidak akan kesana lagi dalam waktu yang sangat lama. Rasanya nangis begitu saja, seperti orang sesenggukan," ucap Bapak, dalam obrolan menyambut lelap.

Ia masih terbaring di tempat tidurnya. Menerawang jauh masa lalu yang bisa ditampung kepala. Penyakitnya memang masih tak mau beranjak. Kondisi itu yang membuatnya tak bisa kemana-mana. Paling jauh, hanya bisa berkursi roda sebentar ke teras rumah. Selepas satu jam, badannya pegal dan harus kembali berbaring sebagaimana biasanya.

Bagi bapak, firasat itu bukan sebuah kebetulan. Entah bagaimana caranya, semesta mengabarkan masa depan melalui perasaan yang sesak itu. Pun, semesta berkomplot membenarkan bahwa tangisan itu punya makna: perpisahan lama atau bahkan selama-lamanya.

Kenyataannya, Bapak memang belum bisa bepergian jauh dengan kondisi paraplegia-nya hingga kini. Perjalanan paling jauh, seingat saya, perpindahan dari tanah rantauannya di Sulawesi (yang juga menjadi tanah kelahiran saya) menuju Jawa dengan kondisi badan yang harus diangkat atau digendong. Beruntung, pelayanan salah satu maskapai cukup ramah untuk penumpang yang berpenyakit seperti Bapak.

Pun musim lebaran, Bapak hanya bisa berjumpa dengan sanak famili di rumah mertua. Merekalah yang berbondong-bondong mengunjungi Bapak. Menjenguk. Hingga sekadar menyampaikan kabar-kabar dari tanah kelahiran. Sisanya, menyampaikan salam sayang dan rindu dari dua kakak perempuannya yang sudah terlalu rapuh untuk bepergian dengan roda dua. Seandainya bisa, Bukde sangat ingin bertemu dan memeluk Bapak seerat-eratnya. Sebagai saudara bungsu, mungkin Bapak jadi salah satu anak adik kesayangan dari saudara perempuannya.

Cerita-cerita itu membuat saya ikut menjelajahi kedalaman perasaan Bapak. Penyesalan. Kekecewaan. Kesedihan. Kerinduan. Semua berpilin dan menyisakan kerut keriput di wajah Bapak. Barangkali, beban pikiran semacam itu yang juga berkontribusi terhadap jumlah uban di kepalanya.

Saya selalu suka mendengar kisah masa lalu dari Bapak. Ketimbang harus menekuri wejangan-wejangannya. Masa lalu selalu punya cara tersendiri membuat saya merenung lebih banyak. Kilasannya memang sudah terlalu lampau dan usang. Akan tetapi, saya terbiasa menjelajahi sebagian masa lalu Bapak dengan langsung menyambanginya.

Kita tidak akan pernah mengerti orang lain tanpa pernah mendalami perasaan atau latar belakang masa lalunya.

"You never really understand a person until you consider a things from his point of view - until you climb into his skin and walk around in it," [To Kill a Mockingbird]

Seperti setiap kunjungan kami (saya dan adik perempuan) ke rumah almarhum kakek. Keluarga besar Bapak masih bermukim di sana. Tak sedikit pun kasih sayang untuk Bapak memudar. Mereka justru tak sungkan mewariskannya kepada kami. Tanpa sekat dan perasaan menghakimi. Tak peduli jika dua anak dari saudara bungsunya itu berbahasa Jawa dengan sangat kaku dan kagok. Hal itulah yang membuat saya memasukkan mereka dalam daftar "wajib-dikunjungi" selama momen libur dari kesibukan (seperti Idulfitri kali ini).

"Kamu nginep saja di rumah ini ya?"

"Piye Bapakmu?"

"Lha kok, si Fandi mau ngintil sama kamu terus, Im. Biasanya lari kalau ada orang baru kenal,"

Rasa-rasanya, saya semakin sadar bahwa keluarga adalah tempat pulang paling sejati. Kehangatan-kehangatan yang mereka tawarkan saling terhubung dengan kasih sayang orang tua. Jarak dan waktu yang lebar tak pernah bisa menguburnya. Setidaknya, siapa pun anggota keluarga, seharusnya selalu sadar bahwa mereka berasal dari garis masa lalu yang sama.

Karena bagaimana pun kita sekarang, dibentuk dari masa lalu orang-orang terdekat kita, termasuk keluarga. []

Masih belum lengkap. (Imam Rahmanto)



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments