Melenyapkan Kesibukan
Juni 13, 2018Baca Juga
"Mau ki mudik?" tanya seorang petugas SPBU yang sedang mengisi Pertamax di tangki motor saya.
"Ya begitulah," jawab saya sekenanya. Aneh, saya baru mendapati petugas SPBU yang cukup "kepo" berkomunikasi di luar sapaan - dimulai dari nol ya, Pak.
"Mudik kemana?" lanjutnya lagi. Mungkin karena telanjur penasaran dengan tas gunung saya yang cukup besar.
"Mm...ke Makassar,"
"Dekat ji pale. Kukira tommi jauh..." ucapnya sambil tertawa.
"Kan disana nanti baru naik pesawat," timpal saya kemudian, tak ingin membuatnya kecewa.
"Wah...terbang kemana?" pertanyaan perempuan memang selalu bercabang.
Satu jam berikutnya, saya sudah tiba di Makassar. Malam sudah menyergap. Lampu-lampu jalan menunjukkan bagaimana metropolitannya kota ini. Baru dua tahun lalu tak menghirup udara disini, rasanya sudah banyak hal yang berubah. Kata teman, kemacetan juga semakin membabi buta.
Saya berbuka puasa dalam perjalanan ke kota ini. Ala kadarnya. Hanya mencomot tiga batang cokelat dan sebotol air mineral dari minimarket Tacipi. Kalau pun boleh, saya sebenarnya ingin melewatkan saja waktu berbuka puasa itu. Perut saya sudah terlalu kebal dengan rasa lapar. Tak heran, tubuh saya tak pernah melar-melar. Mungkin kebanyakan konsumsi kopi.
Mudik sudah menjadi ritual tahunan bagi saya. Semenjak bapak dan ibu menetap di Lamongan, saya harus sering-sering melintasi penerbangan ke sana. Tak peduli harga tiket melambung dalam suasana libur dan cuti bersama. Saya terlatih mengakalinya dengan pemesanan sebulan sebelumnya.
Perjalanan yang cukup panjang, karena saya harus menapak beberapa kabupaten untuk sampai di kota ini. Tahap pertama, jarak empat jam ke Makassar. Tahap kedua, penerbangan dengan pesawat. Tahap selanjutnya, Lamongan yang berjarak dua jam dari kota Surabaya.
Sebenarnya, saya cukup menyukai perjalanan-perjalanan semacam ini. Ada bagian-bagian yang membuat saya punya waktu merenung lebih lama. Di saat menunggui pesawat, menikmati penerbangan, atau di dalam bus antar kota yang membawa saya pada kampung halaman. Momen-momen itu pula yang memperkenalkan saya pada berbagai jenis manusia yang akan memeluk kenangan di kampung halamannya.
"Kamu sebenarnya orang apa sih?" pertanyaan rutin dari teman-teman saya.
Sudah dua dasawarsa saya ikut terbata-bata menyebutkan jawabannya. Lahir dari dua orang tua berdarah asli Jawa, tidak serta-merta mengubah dialek saya sama dengan mereka. Orang-orang yang baru mengenal saya takkan pernah tahu jika saya murni keturunan dari sana. Cara berbicara saya sama sekali tak "medhok". Lha wong, lahir dan besarnya saya lebih karib dengan tanah Enrekang, kabupaten yang berjarak tujuh jam perjalanan dari kota Makassar.
Kepulangan saya ke kampung halaman sekaligus menjadi cara belajar terbaik mengenal keluarga. Seumur hidup, saya sangat kekurangan referensi soal keluarga. Siapa saudara-saudara bapak, saudara ibu, orang tua mereka, atau sepupu-sepupu yang kadang saya salah menyangka bahwa mereka adalah paman atau bibi. Betapa asingnya saya.
Adik saya, yang sudah menghabiskan dua tahun di kampung halaman, tentu hafal lebih banyak sepupu dan kerabat. Tak menutup kemungkinan, ia pun sudah lebih fasih berbahasa Jawa dibanding kakaknya. Padahal, dulunya ia hanya paham tanpa bisa melafalkannya. Jika berkomunikasi dengan nenek, seumpama mencampurkan air dan minyak. Tak pernah ketemu - yang satunya berbahasa Indonesia, satunya lagi berbahasa Jawa.
Saya juga berharap, kepulangan ini jadi "refresh" untuk pikiran-pikiran pekerjaan. Sebulan belakangan, saya tampaknya kurang produktif. Bertemu dengan keluarga dan melihat sesuatu secara sederhana mungkin bisa membalikkan segalanya.
Meski melelahkan, saya selalu suka "mengamati" perjalanan-perjalanan seperti ini. Semoga, kita pulang dengan sebenar-benar semangat yang lebih baru. []
"Ya begitulah," jawab saya sekenanya. Aneh, saya baru mendapati petugas SPBU yang cukup "kepo" berkomunikasi di luar sapaan - dimulai dari nol ya, Pak.
"Mudik kemana?" lanjutnya lagi. Mungkin karena telanjur penasaran dengan tas gunung saya yang cukup besar.
"Mm...ke Makassar,"
"Dekat ji pale. Kukira tommi jauh..." ucapnya sambil tertawa.
"Kan disana nanti baru naik pesawat," timpal saya kemudian, tak ingin membuatnya kecewa.
"Wah...terbang kemana?" pertanyaan perempuan memang selalu bercabang.
***
Satu jam berikutnya, saya sudah tiba di Makassar. Malam sudah menyergap. Lampu-lampu jalan menunjukkan bagaimana metropolitannya kota ini. Baru dua tahun lalu tak menghirup udara disini, rasanya sudah banyak hal yang berubah. Kata teman, kemacetan juga semakin membabi buta.
Saya berbuka puasa dalam perjalanan ke kota ini. Ala kadarnya. Hanya mencomot tiga batang cokelat dan sebotol air mineral dari minimarket Tacipi. Kalau pun boleh, saya sebenarnya ingin melewatkan saja waktu berbuka puasa itu. Perut saya sudah terlalu kebal dengan rasa lapar. Tak heran, tubuh saya tak pernah melar-melar. Mungkin kebanyakan konsumsi kopi.
Mudik sudah menjadi ritual tahunan bagi saya. Semenjak bapak dan ibu menetap di Lamongan, saya harus sering-sering melintasi penerbangan ke sana. Tak peduli harga tiket melambung dalam suasana libur dan cuti bersama. Saya terlatih mengakalinya dengan pemesanan sebulan sebelumnya.
Perjalanan yang cukup panjang, karena saya harus menapak beberapa kabupaten untuk sampai di kota ini. Tahap pertama, jarak empat jam ke Makassar. Tahap kedua, penerbangan dengan pesawat. Tahap selanjutnya, Lamongan yang berjarak dua jam dari kota Surabaya.
Sebenarnya, saya cukup menyukai perjalanan-perjalanan semacam ini. Ada bagian-bagian yang membuat saya punya waktu merenung lebih lama. Di saat menunggui pesawat, menikmati penerbangan, atau di dalam bus antar kota yang membawa saya pada kampung halaman. Momen-momen itu pula yang memperkenalkan saya pada berbagai jenis manusia yang akan memeluk kenangan di kampung halamannya.
"Kamu sebenarnya orang apa sih?" pertanyaan rutin dari teman-teman saya.
Sudah dua dasawarsa saya ikut terbata-bata menyebutkan jawabannya. Lahir dari dua orang tua berdarah asli Jawa, tidak serta-merta mengubah dialek saya sama dengan mereka. Orang-orang yang baru mengenal saya takkan pernah tahu jika saya murni keturunan dari sana. Cara berbicara saya sama sekali tak "medhok". Lha wong, lahir dan besarnya saya lebih karib dengan tanah Enrekang, kabupaten yang berjarak tujuh jam perjalanan dari kota Makassar.
Kepulangan saya ke kampung halaman sekaligus menjadi cara belajar terbaik mengenal keluarga. Seumur hidup, saya sangat kekurangan referensi soal keluarga. Siapa saudara-saudara bapak, saudara ibu, orang tua mereka, atau sepupu-sepupu yang kadang saya salah menyangka bahwa mereka adalah paman atau bibi. Betapa asingnya saya.
Adik saya, yang sudah menghabiskan dua tahun di kampung halaman, tentu hafal lebih banyak sepupu dan kerabat. Tak menutup kemungkinan, ia pun sudah lebih fasih berbahasa Jawa dibanding kakaknya. Padahal, dulunya ia hanya paham tanpa bisa melafalkannya. Jika berkomunikasi dengan nenek, seumpama mencampurkan air dan minyak. Tak pernah ketemu - yang satunya berbahasa Indonesia, satunya lagi berbahasa Jawa.
Saya juga berharap, kepulangan ini jadi "refresh" untuk pikiran-pikiran pekerjaan. Sebulan belakangan, saya tampaknya kurang produktif. Bertemu dengan keluarga dan melihat sesuatu secara sederhana mungkin bisa membalikkan segalanya.
Meski melelahkan, saya selalu suka "mengamati" perjalanan-perjalanan seperti ini. Semoga, kita pulang dengan sebenar-benar semangat yang lebih baru. []
Selamat berjalan. (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments