Laut yang Merdeka

Agustus 28, 2018

Baca Juga


Berlabuh di Tangkulara. (Imam Rahmanto)

Di kabupaten Bone, saya lebih banyak bersisian dengan laut. Beberapa perjalanan saya berujung dengan sentuhan-sentuhan di bibir pantai. Padahal, saya mendambakan perjalanan "muncak" yang telah lama tersisolir dalam kepala. Bahkan, salah satu titik tertinggi di kabupaten ini, Bahong Langi, masih setia tercatat dalam waiting-list saya.

Seperti baru-baru ini, perjalanan melintas laut. Saya menyaksikan teman-teman (wartawan) begitu antusias membagikan perihal pra-perjalanan itu di story, timeline, hingga barangkali terbawa mimpi. Sebagai pendatang baru, saya hanya melihat-lihatnya saja. Saya sempat menganggap perjalanan ke pulau (pasang-surut) di tengah laut itu merupakan bagian dari sebuah project, yang memang punya timnya sendiri-sendiri. Jadinya, saya tidak begitu terbawa euforia untuk tiba-tiba bertanya, "Saya boleh ikut, ndak?" Lagipula, jantung saya akan lebih berdegup kencang kalau sudah berhadapan dengan ajakan-ajakan muncak.

Meski begitu, toh, ajakan itu pun mampir melalui panggilan telepon...

***

Hening masih menyergap seisi kompleks kosan. Tak biasanya saya terbangun di pagi buta seperti ini. Kalau bukan karena ajakan teman-teman (dan keinginan menyingkir dari urusan liputan), barangkali saya masih bergelung dengan sarung. Suara merdu dari ujung telepon terlalu candu untuk ditinggalkan. Yah, saya punya kebiasaan baru; suara seseorang menjadi yang terakhir saya dengarkan sebelum tidur dan menjadi yang pertama mampir di telinga saya, pagi harinya. Betapa rindu adalah candu bagi hubungan (absurd) jarak jauh seperti itu.

"Kumpul dimana?" saya mengirimkan pesan itu sebelum mencoba bangkit dari tempat tidur. Mata saya masih terasa lengket dan tak ingin berpisah dari mimpinya. 

Hanya berselang beberapa menit, saya mendapatkan balasannya. Seperti biasa, teman-teman saya berkumpul di sebuah kafe yang saban hari menjadi basecamp para wartawan. Meski kafe belum buka, belasan orang sudah berkumpul dengan peralatan masing-masing. Sebagian adalah orang-orang yang sudah cukup familiar bagi saya (sesama wartawan). Sisanya lagi adalah mereka yang ikut diajak untuk meramaikan acara pengibaran bendera merah putih 73 meter itu.

Bagi saya, perjalanan melintas laut sebenarnya akan cukup membosankan. Pemandangan hanya seputar birunya langit dan laut, yang dipisahkan batas cakrawala. Tak banyak hal-hal menarik untuk direkam lensa kamera. Saya selalu terkesan mengabadikan momen melalui mata lensa. Ditambah lagi, potensi kulit mengalami percepatan "penghitaman" bakal semakin tinggi. Hidung saya sudah sering dibuat pecah-pecah jika berjemur terlalu lama di bawah panas matahari. 

Dan saya masih nekat hanya memakai setelan kaos dan celana jins??? Terkutuklah jiwa yang ingin menghitamkan kulit setengah lengannya! Sementara yang lain malah lengkap dengan kaca mata hitam, pakaian lengan panjang, sepatu, hingga swim-suit untuk menyelam. 

"Sisanya menunggu di pelabuhan. Ada juga warga yang akan ikut," jelas teman saya.

Project ini memang merupakan pelengkap program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Teman-teman wartawan berinisiatif menyelipkan program pengibaran bendera, yang nampaknya bekerja sama dengan Dinas Pariwisata. Semakin banyak peserta, Pulau Tangkulara mungkin bisa semakin dikenal sebagai destinasi wisata. Kalau ada unsur-unsur lain dalam pelaksanaan project ini, saya hanya mengedikkan bahu. Tak tahu. Keikutsertaan saya murni untuk liburan. Pun agar kamera saya juga tidak berkarat di kamar. Ujian bagi tripod baru lah...

Hanya berjarak sejam, seorang teman menjemput dengan mobilnya. Saya dan dua orang teman lainnya menumpang di belakang (bersama barang-barang bagasi) karena muatannya yang terbatas. 

Di atas kapal menuju tujuan. (Imam Rahmanto)

Aroma garam diterbangkan angin yang menampar-nampar wajah. Kulit-kulit lengan saya sudah mulai merasakan jahatnya sang mentari. Birunya langit memantul cerah dari atas sana. Alamat cuaca sangat bersahabat untuk pelayaran ke tengah laut. Perahu-perahu bermesin sudah bersandar di dermaga dan siap menyeberangkan kami, yang jumlahnya mencapai 100-an orang. Banyak-banyak begini takkan pernah bisa menikmati bagaimana esensi berlibur.

Orang-orang berkumpul di depan pelabuhan. Ini pertama kalinya saya berada di ujung dermaga dari pelabuhan Bajoe ini. Kemarin-kemarin hanya sempat mampir di ruang kantornya saja, yang berada di dermaga sebelah.

Mulanya, saya nyaris berangkat dengan menumpang perahu karet. Seorang teman menawarkan. Lagipula, saya selalu punya antusiasme agak berlebihan denga hal-hal anti-mainstream. Kalau orang-orang lebih memilih "aman" lewat perahu bertenagakan motor yang besar itu, saya ingin memacu adrenalin. Yah, meskipun tahu sendiri, saya sama sekali tak pandai berenang.

Sayangnya, rencana itu batal. "Ombak sedang tinggi. Jadi, semuanya naik kapal saja," kata teman yang sibuk memandu keberlangsungan acara bertema Agustusan itu. Ia juga termasuk wartawan (tivi) senior yang sudah berkiprah sebagai kontributor media nasional.

Di atas perahu, saya hanya bisa bersantai menghitung tiap detik yang terlewat. Di sekeliling hanya ada laut lepas. Sesekali disela iring-iringan perahu yang juga mengarah ke tujuan yang sama. Saya hanya sebentar menyempatkan diri memotret lajunya. Saking bergoyangnya perahu, berdiri pun tak bisa stabil. Memang benar, ombak sedang tinggi. Permukaannya pun bisa sampai setinggi batas lambung kapal. Sementara itu, belum sebulan kami para wartawan dikagetkan dengan kapal tenggelam di perairan ini.

Sebenarnya, perjalanan ke gosong pasir* Tangkulara itu tak sampai menghabiskan waktu 10 menit. Sayangnya, kapal-kapal kami sempat kehilangan arah. Jalurnya melebar agak jauh. Mungkin pengaruh ombak yang menggulung-gulung.

Oiya, Tangkulara yang disebut-sebut sebagai pulau itu merupakan suatu gosong pasir. Karena Tangkulara hanya sebidang tumpukan pasir yang berada di tengah laut. Jika pasang tiba, Tangkulara akan tenggelam dan tak terlihat lagi permukaannya. Orang-orang baru bisa bermain di atasnya kala sedang surut. Katanya, waktu-waktu surutnya berada di rentang pagi hingga tengah hari. 

Mereka yang baru tiba. (Imam Rahmanto)

Kapal-kapal kami juga berlabuh agak jauh dari bibir pantainya. Permukaan yang dangkal tentu agak menyulitkan kapal buang sauh. Tak heran, ada kapal yang membawa perahu kecil di belakangnya. Itu memang disiapkan untuk berlabuh di daratan Tangkulara. Perahu-perahu karet (Basarnas) yang ikut bersama rombongan kami juga sangat berguna untuk "menyicil" para penumpang untuk turun dari atas kapal.

Luas daratan Tangkulara hanya sepelemparan batu. Semua tepian bisa terlihat dari berbagai sudut pandang. Lari-lari berkeliling takkan habis sampai dua menit. Yah, karena areanya yang cukup sempit di tengah laut lepas, makanya menjadi momen yang pas untuk membentangkan bendera sepanjang 73 meter. Pengambilan gambar utama pun melalui dengung-dengung drone. Coba dipandang dari atas. Tampilan Tangkulara cukup ciamik lah. Bisa dipertimbangkan buat wisata-wisata kilat ala pantai pasir putih.

Sayangnya, waktu untuk bersantai di pulau kecil itu tak lama. Daratan itu diperkirakan bakal tenggelam menjelang senja. Orang-orang yang ikut bersama rombongan memanfaatkan waktu sebisanya untuk berfoto.

Saya malah tak punya cukup waktu untuk merekam beberapa momen atau pemandangan landscape dari tengah laut itu. Belum semenit, saya selalu disela oleh permintaan teman-teman untuk difoto sebagai kenang-kenangan. Padahal, saya agak risih kalau diminta sebagai "tukang foto". Ujung-ujungnya akan berakhir dengan tagihan-transfer-file.

Hal semacam itu memang menjadi lumrah ketika bepergian dengan banyak orang. Berlibur, bagi saya, lebih asik dengan jumlah orang yang terbatas. Kita tidak akan dicekoki dengan berbagai permintaan foto yang instagram-able (yang tentunya akan terasa kurang sopan untuk menolaknya). Kita bebas mengeksplor momen yang diinginkan. Belajar memanfaatkan berbagai fitur, yang hingga kini juga masih terasa belum bersahabat bagi saya. Learning by doing, sih...

Membentangkan bendera. (Imam Rahmanto)

***

Perjalanan itu belum usai. Rombongan masih akan melanjutkan project-nya ke Tanjung Pallete, yang menjadi lokasi bersih-bersih pantai. Hanya saja, saya lebih memilih pulang duluan. Saya juga sudah pernah jalan-jalan ke daerah itu. Wajah sudah telanjur pekat oleh udara laut. Kulit sudah mulai menghitam. Mata saya juga agak pedis karena belum cukup tidur semalaman. Dan alasan paling afdol; saya belum ngopi.

Oleh karena itu, saya hanya beres-beres sebentar di kosan. Menyandang ransel berisi laptop. Semua file kamera sudah dipindahkan. Sisa menyambungkannya ke jaringan internet di kafe langganan, sembari menyesap kopi. Iya, kafe langganan saya begitu teduh dengan suasana yang agak ramai. Lokasi yang tak bersisian langsung dengan jalan poros membuatnya cukup lengang untuk sekadar menikmati waktu luang. Sekali waktu, bersantailah kemari.

Saya baru saja merampungkan beberapa bahan berita dan memilah-milah foto ketika beberapa pesan, dengan nada yang sama, bergantian masuk melalui Whatsapp dan sambungan telepon.

"Kirimkan foto-foto yang tadi dong."

Tuh, kaan!


Saya dan beberapa wartawan. (Imam Rahmanto)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

4 comments

  1. Ah, sentuhan-sentuhan di bibir pantai pade'. Kukirai sentuhan-sentuhan-sentuhan di bibirnya 😗

    BalasHapus