Aroma Lawas
Januari 13, 2018Baca Juga
Saya terkadang menyukai beberapa hal yang masih sederhana. Sebagian besar merupakan hal-hal yang sering dijumpai di masa-masa dulu. Di masanya, beberapa hal hanya menjadi sesuatu yang melintas dan tak berarti. Akan tetapi, nilai"nya ternyata baru terasa di jaman modern seperti sekarang. Seperti kata pepatah, ada kalanya kita baru merasanya berharganya sesuatu ketika kita kehilangannya.
Banyak hal lawas yang justru semakin akrab dalam benak orang-orang. Sesuatu yang mainstream dan modern malah tak menjadi pilihan menarik untuk zaman modern sekarang. Paradoks, bukan?
Contoh saja film-film atau tayangan televisi. Banyak sutradara yang menggarap film yang sebenarnya merupakan keluaran masa lalu. Istilahnya remake. Bukan karena tak ada ide-ide segar. Mereka hanya ingin menyalurkan kerinduan dengan kenangan-kenangan masa silam. Apalagi, kami, generasi 90-an merupakan orang-orang yang sangat sulit terlepas dari kenangan bahagia masa kecil.
Awal tahun ini, saya juga mencoba kembali ke masa-masa lawas. Saya mencoba akrab dengan buku dan pena. Paling tidak, urusan agenda atau hal-hal yang butuh ingatan jangka panjang bisa dikunci dalam beberapa baris kertas. Karena kata orang, ingatan bakal lebih kuat jika dituliskan lewat tulisan tangan.
Tidak serta-merta saya meninggalkan smartphone canggih sih. Karena pada kenyataannya, saya masih terbiasa mencatat hasil wawancara dalam gesekan keyboard virtual. Momen-momen tertentu masih belum bisa lepas dari unsur kepraktisan sentuhan
"Ini semacam kertas daur ulang ya?" tanya seorang teman, ketika saya menyodorkan sobekan dari sebuah notebook mungil. Buku kecil itu kini menjadi teman saya dalam mencatatkan berbagai hal.
Saya juga sedang menguji seberapa apik atau epik goresan tangan yang dulu dielu-elukan guru. Kala masih berseragam merah putih, nilai tulisan indah saya tak pernah di bawah rata-rata. Kalau ada angka sempurna, barangkali ibu guru Bahasa Indonesia saya tak pernah ragu menghadiahinya. Untuk ukuran anak-anak seperti saya, tulisan tangan itu terbilang indah. Saingan saya cuma satu, yang juga merupakan sahabat bermain saya sejak kecil.
Selain itu, mata saya juga terlampau "minus" untuk berhadapan dengan layar dalam waktu yang lama. Terkadang, mata saya mulai terasa lelah dan pegal.
"Ya sudah harus pakai kaca mata dong," teman selalu menyarankan demikan.
Sayangnya, saya terlalu bebal untuk sekadar memakai kaca mata. Saya masih nyantai dengan keadaan seperti ini. Padahal, sebenarnya, saya mulai tak terbiasa mengenali wajah orang dari jarak 10-20 meter.
Banyak hal lawas yang justru semakin akrab dalam benak orang-orang. Sesuatu yang mainstream dan modern malah tak menjadi pilihan menarik untuk zaman modern sekarang. Paradoks, bukan?
Contoh saja film-film atau tayangan televisi. Banyak sutradara yang menggarap film yang sebenarnya merupakan keluaran masa lalu. Istilahnya remake. Bukan karena tak ada ide-ide segar. Mereka hanya ingin menyalurkan kerinduan dengan kenangan-kenangan masa silam. Apalagi, kami, generasi 90-an merupakan orang-orang yang sangat sulit terlepas dari kenangan bahagia masa kecil.
Awal tahun ini, saya juga mencoba kembali ke masa-masa lawas. Saya mencoba akrab dengan buku dan pena. Paling tidak, urusan agenda atau hal-hal yang butuh ingatan jangka panjang bisa dikunci dalam beberapa baris kertas. Karena kata orang, ingatan bakal lebih kuat jika dituliskan lewat tulisan tangan.
Tidak serta-merta saya meninggalkan smartphone canggih sih. Karena pada kenyataannya, saya masih terbiasa mencatat hasil wawancara dalam gesekan keyboard virtual. Momen-momen tertentu masih belum bisa lepas dari unsur kepraktisan sentuhan
"Ini semacam kertas daur ulang ya?" tanya seorang teman, ketika saya menyodorkan sobekan dari sebuah notebook mungil. Buku kecil itu kini menjadi teman saya dalam mencatatkan berbagai hal.
Datangnya jauh-jauh lintas negara. (Imam Rahmanto) |
Saya juga sedang menguji seberapa apik atau epik goresan tangan yang dulu dielu-elukan guru. Kala masih berseragam merah putih, nilai tulisan indah saya tak pernah di bawah rata-rata. Kalau ada angka sempurna, barangkali ibu guru Bahasa Indonesia saya tak pernah ragu menghadiahinya. Untuk ukuran anak-anak seperti saya, tulisan tangan itu terbilang indah. Saingan saya cuma satu, yang juga merupakan sahabat bermain saya sejak kecil.
Selain itu, mata saya juga terlampau "minus" untuk berhadapan dengan layar dalam waktu yang lama. Terkadang, mata saya mulai terasa lelah dan pegal.
"Ya sudah harus pakai kaca mata dong," teman selalu menyarankan demikan.
Sayangnya, saya terlalu bebal untuk sekadar memakai kaca mata. Saya masih nyantai dengan keadaan seperti ini. Padahal, sebenarnya, saya mulai tak terbiasa mengenali wajah orang dari jarak 10-20 meter.
Menulis di atas kertas mungkin bisa membantu. Entahlah. Sekali lagi, saya hanya mencoba membiasakan diri menulis. Merasai bagaimana pegalnya tangan menari-nari. Atau sekadar menikmati bagaimana pulpen habis sebelum waktunya.
Seperti menulis, apa pun wadahnya, selalu mengajarkan bagaimana bersikap tenang. Tidak terburu-buru dalam menghadapi sesuatu. Bahkan, tulisan tertentu bisa mengajarkan bagaimana menikmati hidup. "Rumah" ini pun menjadi muara dari perbincangan saya dengan diri sendiri. Sering-seringlah bertamu dalam ruang kepalamu sendiri.
Seperti menulis, apa pun wadahnya, selalu mengajarkan bagaimana bersikap tenang. Tidak terburu-buru dalam menghadapi sesuatu. Bahkan, tulisan tertentu bisa mengajarkan bagaimana menikmati hidup. "Rumah" ini pun menjadi muara dari perbincangan saya dengan diri sendiri. Sering-seringlah bertamu dalam ruang kepalamu sendiri.
--Imam Rahmanto--
0 comments