Dari Laut, Kami Mendengarkan
Januari 19, 2018Baca Juga
"Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali..."
Saya sedang memutuskan melanjutkan hal-hal tertunda. Duduk sendiri di pojok kafe, mengamati hujan yang mengurai perlahan. Tak deras. Hanya rinai. Beberapa hari terakhir, instensitasnya sudah mulai berkurang. Tak cukup sebulan, barangkali hujan sudah akan mengucapkan "selamat tinggal" buat kami.
Sebuah buku tergeletak manis di pinggir notebook. Kebiasaan saya, menyelipkan satu buku (novel) kemana pun bepergian. Tak peduli jika ujung-ujungnya buku itu tak tersentuh mata sama sekali. Toh, ketika bosan, saya bisa membuka-bukanya, barang menamatkan 30-40 halamannya.
Sayangnya, saya tak sedang ingin membahas buku yang belum saya tamatkan itu. Sebaliknya, ada buku karya Leila S Chudori yang menjadi pembuka awal tahun kali ini. Laut Bercerita, yang baru rilis beberapa bulan lalu.
Saya sudah lama mengamati perkembangan rilis buku itu di timeline twitter. Tentu saja, saya tak boleh lupa, memasukkan buku itu sebagai salah satu daftar belanja buku sewaktu-waktu. Saya belum pernah dikecewakan dengan buku-buku Leila yang lalu. Yah, meskipun baru sebatas Pulang saja yang pernah saya tamatkan. Dan itu menjadi buku keren yang mengupas sejarah-sejarah tentang masa lalu.
Pun demikian dengan Laut Bercerita. Bedanya, isinya kali ini berputar tentang perjuangan para aktivis dalam meruntuhkan kekuasaan orde baru. Tentang Biru Laut dan kawan-kawannya yang dipaksa berpindah-pindah demi keselamatannya. Tentang bagaimana terjadinya penculikan 13 aktivis 1998, yang tak pernah diketahui statusnya hingga kini.
"Mungkin mereka yang diculik dan tak kembali telah bertemu dengan para malaikat." [hal. 265]
Buku Laut Bercerita. (Imam Rahmanto) |
*Saya kemudian menyetel video klip dari SID, Sunset di Tanah Anarki. Mendengar lagu itu, selalu membuat saya merinding.
Saya mulai menyukai cerita-cerita yang berlatar sejarah. Itu mengubah sebagian pola pikir saya, yang sejak sekolah dijejali pengetahuan satu arah. Ketimbang membaca buku-buku asmara atau percintaan, biasanya saya akan lebih tertarik menyelami yang mengupas sejarah, secara ringan dan lugas. Buku-buku roman atau kisah asmara biasanya hanya sebatas hiburan.
Apalagi, kami yang merupakan generasi era 90, tentu hanya bisa mendengar kilasan-kilasan informasi terkait masa-masa kejatuhan Soeharto. Di zaman mahasiswa ramai-ramai menggeruduk gedung MPR, saya masih santai-santai melap ingus dan menghabiskan waktu minggu pagi menonton film kartun di depan tivi. Jarak kami, yang sangat jauh dari perkotaan, tentu sangat kekurangan informasi.
Bisa dibilang, sebagian besar buku Leila memang mengupas tentang sejarah. Buku ini pun tersusun dari beberapa riset atau penelusuran yang dikembangkan sendiri oleh penulis. Saya membaca beberapa referensi yang menjadi pedoman penulisan buku ini. Termasuk berita-berita atau kabar tentang penculikan 13 aktivis masa orba itu.
Laut, ceritanya, merupakan salah satu dari ke-13 aktivis yang hilang itu. Ia telah menjabat sebagai Sekjen Winatra kala orang-orangnya diburu pemerintah karena dianggap membahayakan. Winatra adalah salah satu organisasi kampus yang mendudukkan banyak mahasiswa dalam pertemuannya. Mereka membahas apa saja, mulai dari pemerintahan hingga karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang tidak disebarkan luas kala itu. Saya tidak begitu menyimak, apakah Winatra ini organisasi pers kampus atau semacam diskusi saja. Tetapi, sebagian anggotanya ada yang erat berkaitan dengan pers mahasiswa.
Bagaimana pun cara Winatra menyembunyikan kegiatannya dari mata pemerintah, mereka tetap terendus aparat. Demi sebuah informasi, aparat melakukan penyiksaan bagi aktivis yang tertangkap. Mulai dari penyiksaan ringan, hingga yang paling keji.
Kisah Laut tak hanya berjalan monoton. Ada Anjani, yang menjadi salah satu titik tolak kisah asmara di dalamnya. Adik Laut, Asmara, juga menjadi salah satu bagian sudut pandang bercerita dalam buku ini. Kita akan paham, bagaimana sebuah kisah dipaparkan dari mereka yang mengalami penyiksaan, hingga mereka (keluarga) yang ditinggalkan, tanpa tahu bagaimana nasibnya.
"Sudah lama aku hidup bersama suara, napas, dan air mata ini: penyangkalan. Penyangkalan adalah suatu cara untuk bertahan hidup. Menyangkal bahwa mereka diculik dan menyangkal kemungkinan besar bahwa mereka sudah dibunuh." [hal. 239]
Pergolakan batin itu yang ingin ditunjukkan Leila melalui tokoh Asmara. Adik perempuan satu-satunya Laut, yang berprofesi dokter itu, harus terseleubung imajinasi kedua orang tuanya karena kehilangan Laut. Saban hari, bapak dan ibunya tetap menunggu kepulangan Laut dengan menyediakan satu piring di meja makan. Padahal, sejatinya, ayah Laut dan Asmara merupakan jurnalis di masa orde baru. Ia pun tak berkutik tentang keberadaan anaknya.
"Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan." [hal. 256]
Katanya, beberapa orang yang membaca buku ini terbawa perasaan dengan menitikkan air mata. Meskipun saya tak mengalaminya, namun saya bisa paham bagaimana rasanya mereka yang ditinggalkan. Saya kemudian merasa tak ada apa-apanya dibanding para mahasiswa orde baru itu. Terlalu kecil. Zaman mahasiswa dulu, kami tak "sekeras" seperti itu. Apalagi sampai membantu langsung masyarakat yang hendak digusur tanahnya oleh pemerintah. Yang bisa dilakukan mahasiswa zaman sekarang hanya berkoar-koar dengan toa, menghalangi jalan, tanpa ada aksi nyata membantu masyarakat yang benar-benar butuh uluran tangan.
Buku ini sekaligus menjadi pembuka yang cukup manis bagi saya. Pemikiran-pemikiranya, kisah-kisahnya, hingga sejarah yag dituangkan di dalamnya. Pada dasarnya, kisah menghilangnya 13 aktivis (yang termasuk di dalamnya Wiji Thukul) adalah kejadian nyata. Meskipun kisah-kisah di dalam Luat Bercerita ini dibuat sebagai fiksi, yang merujuk pada berbagai kesaksian sejarah terkait kejadian itu.
Nama tokoh seperti Laut pun hanya fiksi, yang entah merujuk kepada siapa diantara 13 aktivis hilang tersebut. Jika didalami, barangkali kita akan menemukan kesamaan atau representasi siapa-siapa saja yang menjadi cerminan 13 aktivis dalam buku ini.
Membaca buku setebal 380 halaman ini, kita juga dihadapkan pada beberapa alur yang saling berseberangan waktu. Sesekali, saya harus mencocokkan waktu bercerita yang kadang kala melompat jauh ke depan, hingga melompat lagi ke belakang, atau tiba-tiba sampai ke tengah. Saya tak menemukan kesulitan saat mendalami kisah dari sudut pandang Asmara. Hanya saja, karena sudut pandang Laut juga berada dalam "kematian", maka alurnya sedikit terkesan kesana-kemari.
Terlepas dari itu, saya tetap suka dengan gaya berceritanya. Alur itu toh tidak mengganggu saya untuk kembali menyantap buku-buku lain dari Leila S Chudori.
***
Hujan sudah menyisakan aroma-aroma petrichor di pinggir jalan. Kafe ini berseberangan langsung dengan keramaian lalu-lalang kendaraan. Meski bukan jalan poros, dua-tiga motor tetap terlihat melintas dan menyisakan gerungannya.
Dan saya harus kembali dalam pekerjaan yang sebenarnya belum saya tuntaskan hari ini. Duduk sendirian di pojok kafe, bukan berarti saya hanya punya pekerjaan membuka-buka dunia maya. Deadline harian juga mesti disentuh. Sebelum kotak Sent di email terisi dengan barisan baru, saya masih akan memikirkan banyak materi lainnya.
Kebetulan saja, buku ini menjadi salah satu favorit yang sangat sayang untuk diabaikan. Beberapa orang kerap bertanya pada saya, "Buku apa yang bisa kamu rekoemndasikan?"
Saya perlu menjawabnya dengan membuka listing resensi di "rumah" ini. Ketika saya hanya menjatuhkan daftar bacaan itu dengan mencentang Read pada akun Goodreads, buku itu masih dalam taraf wajar seadanya dan cukup menghibur. Sebaliknya, saya akan pulang pada rumah ini untuk bersantai dan mengutarakan bahwa "Buku inilah yang pantas kamu baca!"
***
"Aku selalu menyangka itu memang karakteristik perempuan pada umumnya..."
"Mungkin," kata Mas Laut. "Tetapi kemampuanmu mengingat berbagai hal yang terjadi itu terkadang agak mengerikan," Mas Laut tersenyum, "karena itu akan menyulitkanmu untuk menghapus segala sesuatu yang tak nyaman atau menyakitkan."
"Peristiwa yang tak nyaman atau menyakitkan tidak perlu dihapus, tetapi harus diatasi," kataku membantah dgn sok gagah." [hal. 313]
"Aku mencintainya sepenuh hati. Kalau saja usiaku lebih panjang, dialah perempuan yang kuinginkan untuk bersama-sama membangun serangkaian huruf yang membentuk kata; kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi sebuah cerita kehidupan." [hal. 368]
--Imam Rahmanto--
0 comments