Menjadi Tua (?)

Januari 03, 2018

Baca Juga

"Imaaaaaaaaammmm,"

Seruan panjang itu agak menyadarkan saya di waktu pagi. Kebiasaan saya masih sulit lepas untuk bergelung di dalam kamar. Suaranya bergema lewat notifikasi chat Whatsapp. Sontak saja, langsung mengambil alih separuh kesadaran saya setelah melihat namanya sekilas di layar gawai: Bunda.

"Maumiki dilambung sama Ekky ka..." 

Rentetan chat berikutnya menyebutkan salah seorang kawan SMA yang bakal mengakhiri masa lajangnya. Bulan depan, ia akan menjalani prosesi lamaran di Sinjai. Kata Bunda, calon pasangannya juga baru saja lulus dari kuliahnya.

Akh, ternyata waktu berlalu begitu cepatnya...

Saya seolah merasa sudah lebih tua. Beberapa hari-bulan-tahun belakangan, ada banyak kabar teman-teman seangkatan yang sudah menikah. Mereka resmi melepas masa lajangnya. Senyum-senyum bahagia terpancar dari mereka yang mengenakan pakaian adat atau kebaya di hadapan kamera. Sementara teman-teman lain juga berlomba-lomba memposting momen itu di dunia maya.

Undangan juga tersebar dimana-mana. Padahal, semasa kecil saya tak pernah menggubris undangan yang tiba di depan pintu atau di tangan bapak dan mamak. Saya sama sekali tak pernah berpikir ada di posisi yang mengirimkan undangan itu. Saya lebih senang makan belepotan di depan televisi yang memutar kartun Doraemon, Ninja Hattori, hingga Wiro Sableng.

Anak-anak yang bermain tanpa memikirkan apa-apa. (Imam Rahmanto)

Membaca nama teman-teman yang tertera di undangan seolah menusuk-nusuk kesadaran usia yang semakin menua. Apalagi jika nama yang tertulis itu pernah mampir dalam seulas kenangan manis kehidupan kita. Bukan lagi kesadaran yang tertusuk-tusuk. Melainkan ulu hati yang tercerabut dan bikin tersenyum kecut.

Mendengar kabar seorang sahabat laki-laki, yang akan menikah itu, semakin mengunci perasaan saya bahwa kami memang semakin menua. Nyatanya, usia nyaris 27 tahun memang tergolong dalam "kelabilan" pemikiran tentang menikah.

Sebenarnya, saya sangat girang menyambut kabar gembira tersebut. Hal itu membuktikan bahwa siapa saja bisa move on dari romansa masa lalunya. Dalam sebuah tulisan, saya pernah bercerita tentang kawan saya itu, yang ditinggal menikah mantannya di masa SMA

Cepat atau lambat, kami tak bisa menyangkal bakal tiba pada momen tersebut. Tanpa perlu dihujani pertanyaan-pertanyaan "kapan" yang kerap membuat gerah. Beruntung, chat dadakan Bunda malah tak menyelipkan pertanyaan serupa. Ia hanya memberitahu kabar bahagia itu, sekaligus mendata nama saya yang akan dimasukkan dalam daftar undangan anak dari sahabat baiknya itu. Kebetulan, ibu sahabat saya itu juga pernah menjadi guru kami di masa sekolah. 

Hanya saja, pikiran-pikiran kami yang belum menikah tetap akan tersandera oleh keinginan yang sama. Menikah, bisa jadi semacam pencapaian final bagi sebagian orang. Sebagiannya lagi menganggap butuh waktu berpikir lebih matang untuk menggabungkan dua kehidupan, yang latar belakangnya tentu berbeda.

Membayangkannya saja, sudah banyak pertanyaan yang bermunculan dalam kepala. Seperti apa kehidupan saya berkeluarga kelak? Apakah istri saya juga suka dengan buku-buku, yang akan getol dikoleksi suaminya? Apakah istri saya akan melarang kebiasaan menyeruput kafein? Apakah istri saya juga tak keberatan diajak berkeliling kemana saja, tanpa tersandera adat dan kebiasaan? Apakah istri saya akan lebih sering tertawa dibanding sekadar senyum manut? Apakah istri saya berasal dari kampung kelahiran, kampung halaman, atau justru bukan dari keduanya? 

Seandainya boleh, saya masih ingin merasakan masa kanak-kanak hingga proses remaja. Waktu seolah berjalan masih lama dan kami tidak perlu melakukan segala halnya sendiri. Sementara ketika beranjak dewasa, peran semakin berubah. Dari yang tak berpikir apa-apa, jadi memikirkan banyak pertimbangan. Dari yang dilindungi, berubah menjadi yang melindungi. Dari yang dinafkahi, beralih jadi yang menafkahi.

Saya sadar, kelak, kehidupan semacam itu bukanlah sebuah pilihan. Itu memang menjadi kepastian dalam alur kehidupan. Siapa yang bisa memilih untuk tidak menjadi dewasa, tua, atau mati? Seperti kematian, jodoh pun demikian. Takkan pernah datang tanpa dijemput dan dihampiri. Hanya orang-orang pasrah (dan berbual) yang menganggap jodoh itu bisa ditunggu. Yah, benar-benar pasrah.

Waktu menggerus usia, diminta atau tidak, ia berjalan terus, konstan...

Berpikir hal-hal semacam ini semakin menunjukkan usia yang-tidak-muda-lagi. Saya sebenarnya menolak untuk menjadi tua. Kalau ada pilihan untuk hidup muda beberapa tahun lagi, saya tentu akan memilihnya dengan senang hati. Tapi, toh, manusia tak semudah itu membuat pilihan-pilihan yang hanya bisa terjadi dalam film-film fantasi. Kita tidak bisa mencoba hidup abadi seperti Lord Voldemort atau Logan. *Sekuat-kuatnya Logan (Wolverine), dia harus menerima bahwa dirinya juga semakin menua. 

"Jadi, janganmi Bunda bikinkan undangannya?" lanjut Bunda dalam beberapa baris percakapan.

"Tidak usah, Bunda. Kalau bukan dia yang undang kandak kesana ka," canda saya.

Bagaimana pun, saya akan sulit mengabaikan momen bahagianya... 



--Imam Rahmanto-- 

You Might Also Like

0 comments