Berpulang Sunyi
Maret 03, 2017Baca Juga
Suasana tempat ini terasa senyap. Dua hari lalu, warung kopi (warkop) di pinggir pasar sentral ini baru saja direnovasi. Hanya atapnya saja yang diangkat lebih tinggi. Kata pemiliknya, biar kalau siang para pengunjung tak kepanasan.
Saya tak tahu siapa saja pengunjung yang dimaksudnya. Baru sebulan berada di Enrekang, saya jarang melihat ada banyak pengunjung yang menyesaki tempat ini. Maklum, saya dan warkop ini memang punya kesamaan: sama-sama masih baru.
Barangkali karena kesamaan itu saya lebih senang menghabiskan waktu sendirian diantara hiruk-pikuk jika hari pasar tiba. Warkop yang tak berjendela karena terbuka lebar layaknya teras rumah ini sudah menjadi langganan utama saya. Diantara beberapa tempat ngopi, saya cenderung lebih mengenal pemilik warkop ini.
Soal kopi-susu, warkop ini bukan rajanya. Saya hanya suka berinteraksi dengan pemiliknya sesekali. Mengobrol ngalor-ngidul soal Makassar (karena dia sudah tak asing lagi), tentang kopi (karena dia pernah tanpa sadar menjadi narasumber saya), tentang cuaca Enrekang (yang kadang hujan kadang panas), hingga segala kabar yang oantas dibagi.
"Ada kabar tentang apa lagi hari ini?" tanya pemilik warkop yang berperawakan kecil itu.
Tanpa perlu diminta, ia biasanya segera masuk dapur. Hanya berselang menit keluar dengan nampan berisi segelas kopi-susu.
"Hm...kabar apa ya? Masih belum ada judul. Malah saya seharusnya yang cari info," elak saya.
Bagaimana pun, saya tahu, kabar tentang kopi lebih menarik baginya. Sebagai lelaki yang karib dengan perdagangan dan olahan kopi, ia nyaris khatam. Pertama menyusun tulisan Kopi Kalosi pun saya mendapatkan banyak pantulan ide darinya. Meski bukan asli Enrekang, ia paham bagaimana cara mengaduk kopi dengan perasaan.
Kemarin, bapak menelepon. Yah, sekadar mengingatkan tentang adik sepupu saya yang bakal menikah. Jauh hari, dari gaya berbicaranya juga sudah meminta saya untuk pulang melepas rindu. Tak elok jika tak mengikuti resepsi pernikahan anak dari saudara kandung mamak, kata bapak. Apalagi, seluruh keluarga besar juga akan ikut tatap muka di acara spesial itu.
"Kapan kamu pulang? Jangan lupa belikan bapak...."
Saya mengiyakan saja permintaan itu. Padahal di kepala saya masih menggelayut beberapa agenda kesibukan yang bakal menyita minggu depan.
Saya pikir, bertugas di daerah yang jauh dari asap dan gedung pencakar langit bisa sedikit membuat napas lega. Waktu luang bertambah banyak sih namun tuntutan yang tak jauh berbeda. Saya tak peduli, tiga atau empat hari bisa saya curi saja.
Bapak dan mamak juga sudah kadung rindu dengan anak sulungnya. Dari caranya berbicara dan bercerita, saya tahu ia butuh teman untuk menumpahkan semuanya. Intensitasnya menelepon juga tak lepas dari asumsi barusan. Entah bagaimana, atmosfer kehidupan di Jawa membuat bapak lebih banyak memendam rindu untuk putra mbarepnya.
Yah, mari memakluminya. Sebagai anak yang pernah berkepala batu, saya memang menyisakan banyak gumpalan rindu itu. Sudah sewajarnya saya menyambangi keluarga disana. Asalkan bapak tak perlu menagih soal pendamping hidup. *Eh.
Dan... hari ini saya baru saja menyelesaikan buku Megamendung Kembar, karya Retni SB. Saya membacanya dua hari lalu. Bukan buku yang recommended, menurut saya. Tetapi cukup baik membuka wawasan baru bagi saya untuk urusan membatik. Istilah-istilah baru dari Cirebon.
Ah ya, ini cuma tulisan acak yang tak karuan, kan? Barangkali pengaruh terlalu banyak mengetik berita dalam rentang seminggu ini. Sudahlah, karena toh saya cuma ingin memeluk kehangatan di "rumah" sederhana ini. Tak pulang seminggu, rasanya langsung didera rindu.
Saya tak tahu siapa saja pengunjung yang dimaksudnya. Baru sebulan berada di Enrekang, saya jarang melihat ada banyak pengunjung yang menyesaki tempat ini. Maklum, saya dan warkop ini memang punya kesamaan: sama-sama masih baru.
Barangkali karena kesamaan itu saya lebih senang menghabiskan waktu sendirian diantara hiruk-pikuk jika hari pasar tiba. Warkop yang tak berjendela karena terbuka lebar layaknya teras rumah ini sudah menjadi langganan utama saya. Diantara beberapa tempat ngopi, saya cenderung lebih mengenal pemilik warkop ini.
Soal kopi-susu, warkop ini bukan rajanya. Saya hanya suka berinteraksi dengan pemiliknya sesekali. Mengobrol ngalor-ngidul soal Makassar (karena dia sudah tak asing lagi), tentang kopi (karena dia pernah tanpa sadar menjadi narasumber saya), tentang cuaca Enrekang (yang kadang hujan kadang panas), hingga segala kabar yang oantas dibagi.
"Ada kabar tentang apa lagi hari ini?" tanya pemilik warkop yang berperawakan kecil itu.
Tanpa perlu diminta, ia biasanya segera masuk dapur. Hanya berselang menit keluar dengan nampan berisi segelas kopi-susu.
"Hm...kabar apa ya? Masih belum ada judul. Malah saya seharusnya yang cari info," elak saya.
Bagaimana pun, saya tahu, kabar tentang kopi lebih menarik baginya. Sebagai lelaki yang karib dengan perdagangan dan olahan kopi, ia nyaris khatam. Pertama menyusun tulisan Kopi Kalosi pun saya mendapatkan banyak pantulan ide darinya. Meski bukan asli Enrekang, ia paham bagaimana cara mengaduk kopi dengan perasaan.
Kemarin, bapak menelepon. Yah, sekadar mengingatkan tentang adik sepupu saya yang bakal menikah. Jauh hari, dari gaya berbicaranya juga sudah meminta saya untuk pulang melepas rindu. Tak elok jika tak mengikuti resepsi pernikahan anak dari saudara kandung mamak, kata bapak. Apalagi, seluruh keluarga besar juga akan ikut tatap muka di acara spesial itu.
"Kapan kamu pulang? Jangan lupa belikan bapak...."
Saya mengiyakan saja permintaan itu. Padahal di kepala saya masih menggelayut beberapa agenda kesibukan yang bakal menyita minggu depan.
Saya pikir, bertugas di daerah yang jauh dari asap dan gedung pencakar langit bisa sedikit membuat napas lega. Waktu luang bertambah banyak sih namun tuntutan yang tak jauh berbeda. Saya tak peduli, tiga atau empat hari bisa saya curi saja.
Bapak dan mamak juga sudah kadung rindu dengan anak sulungnya. Dari caranya berbicara dan bercerita, saya tahu ia butuh teman untuk menumpahkan semuanya. Intensitasnya menelepon juga tak lepas dari asumsi barusan. Entah bagaimana, atmosfer kehidupan di Jawa membuat bapak lebih banyak memendam rindu untuk putra mbarepnya.
Yah, mari memakluminya. Sebagai anak yang pernah berkepala batu, saya memang menyisakan banyak gumpalan rindu itu. Sudah sewajarnya saya menyambangi keluarga disana. Asalkan bapak tak perlu menagih soal pendamping hidup. *Eh.
Dan... hari ini saya baru saja menyelesaikan buku Megamendung Kembar, karya Retni SB. Saya membacanya dua hari lalu. Bukan buku yang recommended, menurut saya. Tetapi cukup baik membuka wawasan baru bagi saya untuk urusan membatik. Istilah-istilah baru dari Cirebon.
Ah ya, ini cuma tulisan acak yang tak karuan, kan? Barangkali pengaruh terlalu banyak mengetik berita dalam rentang seminggu ini. Sudahlah, karena toh saya cuma ingin memeluk kehangatan di "rumah" sederhana ini. Tak pulang seminggu, rasanya langsung didera rindu.
(Foto: Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
0 comments