Menggambar Perjalanan

Maret 11, 2017

Baca Juga

Saya sangat suka menggambarkan segala hal. Seandainya bakat saya juga terbagi dalam kemampuan menorehkan garis di atas kertas dan kanvas, mungkin di dalam tas saya akan banyak berjejalan karya seni yang tak kalah kerennya dari Eichiro Oda. Atau kalau terlalu muluk-muluk, lebih mengimbangi Sweta Kartika saja.

Sayangnya, saya hanya paham menggambar coret-coretan doodle sederhana. Untuk yang lebih rumit, pasti saya butuh pemandu sebagai contoh. Itu pun hasilnya belum tentu memuaskan. Kata teman, kalau saya disiplin mengasah gambar-gambar itu, bisa semakin bagus.

Gambaran untuk saya lahir dalam bentuk tulisan. Yah, bagaimana menyelipkan gambar ke kepala setiap orang dari atas huruf yang sebagian besar orang justru tak punya minat melahapnya. Meski begitu, saya tetap menggambarkan segalanya lewat tulisan. Tak peduli jadi konsumsi publik atau hanya akan tersimpan dalam ranah pribadi.

Kesenangan itu pula yang meniupkan napas dalam setiap perjalanan saya. Betapa yang menyenangi petualangan, selalu punya bahan untuk dijadikan kenangan.


"Hebatlah dia, bisa kemana-mana sesuka hatinya,"

Ucapan semacam itu kerap saya dengar dari hasil menguping cerita perjalanan-perjalanan orang lain. Beberapa teman juga sempat mengutarakan hal yang serupa.

Orang-orang yang dilabelinya "hebat" itu adalah mereka yang mampu memuaskan nafsu perjalanannya ke semua tempat. Domestik hingga mancanegara. Bahkan semakin menyenangkan jika tak perlu merogoh kocek lebih dalam. Asalkan bisa menginjakkan kaki ke impian para pelancong atau wisatawan baru.

Tetapi, saya hanya bisa menggeleng dalam hati. Bagi saya, setiap perjalanan takkan berakhir hanya sebagai ajang onani atau memuaskan diri sendiri. Seharusnya, setiap traveller atau backpaker bisa mencontoh Agustinus Wibowo, yang punya "gambaran" manis setiap inci perjalanannya. Ia tidak hanya memperkaya pengalaman pribadi, menuntaskan nafsu, hingga mengadu gengsi. Perjalanannya justru menjadi ihwal semua orang ingin berlaku hal yang sama. Petualangannya membuat Agustinus belajar, dan membelajarkan dengan bercerita.

Bukankah perjalanan semacam itu lebih menyenangkan? Ketimbang sekadar jalan-jalan untuk menjejali space kamera dengan bukti foto diri.

Banyak hal yang saya nikmati dari beberapa perjalanan. Paling utama, mencicipi hal-hal baru. Tak peduli jika hal itu bakal menyurutkan langkah dan membuat saya mengkeret. Tanpa dicoba, siapa yang pernah tahu. Tak pantas lagi rasanya jika lelaki seumuran saya masih menjadi orang-orang yang pemalu dan tak mampu memimpin diri sendiri.

Banyak hal baru yang mampir di setiap perjalanan saya. Dan itu teramat melegakan. Mulai dari menjajal berbagai penerbangan berbeda. Berbaur dengan (masih) bahasa ibu. Mencari jalan pulang lewat sarana transportasi umum meski harus sambung-menyambung. Menjejak terminal sebagai tempat langka. Hingga mengandalkan peta modern agar tak salah arah dalam menentukan detail perjalanan. Pun, saat menuliskan ini, saya sedang menginap di lobi Bandara Juanda demi menanti penerbangan pagi.

Hangatnya perjalanan selalu menelusup di sela jemari. Entah bagaimana, saya selalu merindukan petualangan dan perjalanan semacam ini. Ada ruang privasi untuk berkontemplasi. Sebagian ruangnya bisa untuk mengamati hal-hal yang sangat berbeda dari "kotak kehidupan" sendiri. Kelak, kita bisa sadar bahwa: dunia tak sesempit yang kita lihat sehari-hari.

Tentu saja, segalanya harus berakhir dengan "gambar". Setidakya, contoh paling kecil telah saya susun seperti paragraf-paragraf di atas.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments