Menyimak New York
Maret 17, 2017Baca Juga
Orang-orang selalu berjajar rapi di sepanjang koridor pesawat. Saat pintu kabin terbuka dan pramugari menyambut dengan gingsul dan lesung pipinya, para penumpang justru berlalu tanpa mengatakan apa-apa. Padahal, bukannya senyuman selalu bisa menenteramkan hati?
Mereka ternyata masa bodoh dengan senyuman. Sudah terlalu banyak senyuman hari ini. Tak peduli nafsu atau palsu hanya karena memenuhi kewajiban profesi. Barangkali sebagian penumpang juga sudah khatam dengan senyum "marketing" di atas pesawat, sebagaimana mereka - pramugari - juga paham untuk selalu tersenyum tanpa mengharap balasan.
Kami, para penumpang, lebih memilih memandangi sobekan tiket yang sudah tersisa setengahnya. Memelototi angka yang akan menentukan di kursi mana pandangan mata bisa menyapu jendela. Sialnya, entah bagaimana, saya selalu kebagian kursi tengah. Hanya berjarak satu kursi dari jendela pesawat. Sebagai penumpang yang baik, saya hanya bisa duduk manis diantara dua penumpang kiri-kanan saya.
Satu-satunya yang bisa melegakan perjalanan saya hanya buku bacaan di pangkuan. Selang beberapa menit lalu, saya terlupa menyampirkannya di genggaman. Saat hendak lepas landas, baru terasa ada yang kurang.
Saya terpaksa harus menggumamkan permisi kepada penumpang di sebelah. Padahal, wanita itu sudah duduk nyaman dengan seat belt menekan pahanya. Buku saya terselip dalam saku ransel yang sudah berdesakan dalam bagasi. Sebenarnya, tak butuh waktu lama juga untuk meraih buku itu. Buku yang siap menyita waktu perjalanan saya.
The Architecture Of Love.
Saya kini punya kebiasaan baru setiap bepergian lewat pesawat. Jauh atau dekat, novel adalah hal wajib untuk dibawa serta. Satu atau dua judul sebenarnya sudah cukup untuk ditamatkan selama jam-jam mengarungi gumpalan awan di langit. Guncangan di atas kabin pesawat selalu bersahabat dengan perut dan kepala. Tidak pernah se-memusingkan saat membaca di atas kendaraan darat. Saya bahkan bisa hanyut jika sudah berhadapan dengan buku di atas pesawat.
Baru-baru ini, novel karya Ika Natassa menjadi teman perjalanan pulang-pergi antara Makassar dan Surabaya. Butuh dua kali penerbangan untuk bisa menamatkan novel setebal 301 halaman ini.
Saya juga sebenarnya sempat menghabiskan beberapa lembar novel ini di Bandara Juanda Surabaya. Saya mesti menginap di lobi bandara hampir delapan jam karena menyusul penerbangan pagi.
Sebagai pengalih waktu, saya cukup menikmati plot twist yang dibangun sang penulis, Ika Natassa. Meski ceritanya agak klise lantaran mengutamakan kisah asmara. Alurnya terbilang sederhana karena hanya mengutarakan "pertemuan tak sengaja - berkenalan - saling tertarik - jatih cinta". Hanya saja, dikemas dengan background berbeda karena berada di New York. Bagian satu ini yang sesungguhnya membuat saya menggebu-gebu ingin menamatkannya.
Meskipun pada kenyataannya, penggambaran New York pun masih belum maksimal di kepala saya. Ekspektasi saya terlalu berlebihan. Mungkin karena Ika condong mendeskripsikan novel-novelnya bernuansa sosialita. Perjalanan di New York pun tak jauh-jauh dengan kebiasaan hidup para "orang kaya". Tak jauh berbeda dengan gaya berceritanya di novel lain.
River dan Raia, yang sama-sama kehilangan cintanya, memilih untuk menyepi ke kota ternama sejagad. River Jusuf, si arsitek, dipertemukan dengan Raia Risjad, seorang penulis yang butuh inspirasi. Pada akhirnya, pembaca bisa menebak sendiri bagaimana penutup kisahnya.
Jika mendengar nama "Risjad", pembaca setia Ika Natassa tentu bakal tergelitik.
Nama itu agak erat dengan keluarga Risjad di novel lain karya Ika Natassa. Ada Aldebaran Risjad, yang lebih akrab disapa Ale, dan lebih akrab pula diperbincangkan di novel Critical Eleven. Sementara Harris Risjad, kalau tak salah di novel Antologi Rasa, juga ikut menjadi figuran diantara kisah Raia dan River.
Kenyataannya, tokoh-tokoh utama yang pernah jadi pusat cerita di novel lain itu memang jadi figuran di novel yang berbeda. Saya baru menyadari, hal semacam itu memang menjadi ciri khas Ika, membuat benang merah cerita antar tokoh yang berasal dari "dimensi" novel berbeda. Nampaknya, novel keluarga Risjad bisa menjadi satu bundelan suatu hari nanti.
The Architecture of Love juga cukup istimewa karena dibuat berdasarkan rating dan poling yang disebar di media sosial seperti Twitter. Seingat saya, beberapa tahun lalu, saya memang pernah mendapati kicauan penulis yang bernuansa fiksi. Kicauan yang tak lebih 140 karakter itu menyematkan nama Raia dan River. Ika berani bereksperimen dengan sambungan-sambungan tweet yang bercerita tentang Raia dan River. Alhasil, semuanya dirangkum penerbit dengan beberapa tambahan sehingga beranak-pinak sebagai buku.
Buku ini termasuk "anak" bungsu dari penulis. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin membaca, sebaiknya memulainya dari "anak-anak" sulung. Bukan apanya sih. Meski tak dibuat sebagai novel berseri, namun kisah-kisah keluarga Risjad sebelumnya bisa jadi referensi dan pencerahan.
Selain itu, buku ini masih belum direkomendasikan bagi pembaca yang tertatih-tatih menerjemahkan bahasa Inggris.
Mereka ternyata masa bodoh dengan senyuman. Sudah terlalu banyak senyuman hari ini. Tak peduli nafsu atau palsu hanya karena memenuhi kewajiban profesi. Barangkali sebagian penumpang juga sudah khatam dengan senyum "marketing" di atas pesawat, sebagaimana mereka - pramugari - juga paham untuk selalu tersenyum tanpa mengharap balasan.
Kami, para penumpang, lebih memilih memandangi sobekan tiket yang sudah tersisa setengahnya. Memelototi angka yang akan menentukan di kursi mana pandangan mata bisa menyapu jendela. Sialnya, entah bagaimana, saya selalu kebagian kursi tengah. Hanya berjarak satu kursi dari jendela pesawat. Sebagai penumpang yang baik, saya hanya bisa duduk manis diantara dua penumpang kiri-kanan saya.
Satu-satunya yang bisa melegakan perjalanan saya hanya buku bacaan di pangkuan. Selang beberapa menit lalu, saya terlupa menyampirkannya di genggaman. Saat hendak lepas landas, baru terasa ada yang kurang.
Saya terpaksa harus menggumamkan permisi kepada penumpang di sebelah. Padahal, wanita itu sudah duduk nyaman dengan seat belt menekan pahanya. Buku saya terselip dalam saku ransel yang sudah berdesakan dalam bagasi. Sebenarnya, tak butuh waktu lama juga untuk meraih buku itu. Buku yang siap menyita waktu perjalanan saya.
The Architecture Of Love.
***
The Architecture of Love by Ika Natassa. (Imam Rahmanto) |
Saya kini punya kebiasaan baru setiap bepergian lewat pesawat. Jauh atau dekat, novel adalah hal wajib untuk dibawa serta. Satu atau dua judul sebenarnya sudah cukup untuk ditamatkan selama jam-jam mengarungi gumpalan awan di langit. Guncangan di atas kabin pesawat selalu bersahabat dengan perut dan kepala. Tidak pernah se-memusingkan saat membaca di atas kendaraan darat. Saya bahkan bisa hanyut jika sudah berhadapan dengan buku di atas pesawat.
"Kita selalu tahu kapan yang pertama, tapi kita tidak pernah tahu kapan yang terakhir untuk semua hal dalam hidup ini, sampai kita sendiri menghembuskan napas terakhir," --hal.101
Baru-baru ini, novel karya Ika Natassa menjadi teman perjalanan pulang-pergi antara Makassar dan Surabaya. Butuh dua kali penerbangan untuk bisa menamatkan novel setebal 301 halaman ini.
Saya juga sebenarnya sempat menghabiskan beberapa lembar novel ini di Bandara Juanda Surabaya. Saya mesti menginap di lobi bandara hampir delapan jam karena menyusul penerbangan pagi.
Sebagai pengalih waktu, saya cukup menikmati plot twist yang dibangun sang penulis, Ika Natassa. Meski ceritanya agak klise lantaran mengutamakan kisah asmara. Alurnya terbilang sederhana karena hanya mengutarakan "pertemuan tak sengaja - berkenalan - saling tertarik - jatih cinta". Hanya saja, dikemas dengan background berbeda karena berada di New York. Bagian satu ini yang sesungguhnya membuat saya menggebu-gebu ingin menamatkannya.
"Jatuh cinta adalah satu-satunya yang rela dilakukan orang berkali-kali meski harus selalu berkawan dengan patah hati," --hal.279
Meskipun pada kenyataannya, penggambaran New York pun masih belum maksimal di kepala saya. Ekspektasi saya terlalu berlebihan. Mungkin karena Ika condong mendeskripsikan novel-novelnya bernuansa sosialita. Perjalanan di New York pun tak jauh-jauh dengan kebiasaan hidup para "orang kaya". Tak jauh berbeda dengan gaya berceritanya di novel lain.
River dan Raia, yang sama-sama kehilangan cintanya, memilih untuk menyepi ke kota ternama sejagad. River Jusuf, si arsitek, dipertemukan dengan Raia Risjad, seorang penulis yang butuh inspirasi. Pada akhirnya, pembaca bisa menebak sendiri bagaimana penutup kisahnya.
Jika mendengar nama "Risjad", pembaca setia Ika Natassa tentu bakal tergelitik.
Nama itu agak erat dengan keluarga Risjad di novel lain karya Ika Natassa. Ada Aldebaran Risjad, yang lebih akrab disapa Ale, dan lebih akrab pula diperbincangkan di novel Critical Eleven. Sementara Harris Risjad, kalau tak salah di novel Antologi Rasa, juga ikut menjadi figuran diantara kisah Raia dan River.
Kenyataannya, tokoh-tokoh utama yang pernah jadi pusat cerita di novel lain itu memang jadi figuran di novel yang berbeda. Saya baru menyadari, hal semacam itu memang menjadi ciri khas Ika, membuat benang merah cerita antar tokoh yang berasal dari "dimensi" novel berbeda. Nampaknya, novel keluarga Risjad bisa menjadi satu bundelan suatu hari nanti.
The Architecture of Love juga cukup istimewa karena dibuat berdasarkan rating dan poling yang disebar di media sosial seperti Twitter. Seingat saya, beberapa tahun lalu, saya memang pernah mendapati kicauan penulis yang bernuansa fiksi. Kicauan yang tak lebih 140 karakter itu menyematkan nama Raia dan River. Ika berani bereksperimen dengan sambungan-sambungan tweet yang bercerita tentang Raia dan River. Alhasil, semuanya dirangkum penerbit dengan beberapa tambahan sehingga beranak-pinak sebagai buku.
Buku ini termasuk "anak" bungsu dari penulis. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin membaca, sebaiknya memulainya dari "anak-anak" sulung. Bukan apanya sih. Meski tak dibuat sebagai novel berseri, namun kisah-kisah keluarga Risjad sebelumnya bisa jadi referensi dan pencerahan.
Selain itu, buku ini masih belum direkomendasikan bagi pembaca yang tertatih-tatih menerjemahkan bahasa Inggris.
"Patah hati tidak akan pernah lebih gampang walau sudah dialami berkali-kali. Ya. Tidak akan pernah jadi berkurang sakitnya. Patah hati itu tidak seperti makan sashimi, yang awal-awalnya kita merasa tidak enak, aneh, tapi kalau dicoba terus pasti suka. Patah hati itu seperti makan ikan bau yang sudah busuk berhari-hari." --hal.225
--Imam Rahmanto--
2 comments
Di sepertiga malam, sedang memikirkan banyak hal, tapi kenapa saya "nyasar" ke rumah ini? *hehehe
BalasHapusBetapa mengetahui ada seseorang yang konsisten tahu tempat pulangnya, agak menampar juga ya... Bahkan untuk sekadar pulang menuliskan hal-hal sederhana semisal menulis ulasan buku. :))
Tertamparnya sakit, ndak? Hahaha... betapa mengetahui ada orang-orang yang masih peduli bertamu ke rumah saya, agak menyenangkan juga ya.... :)
Hapus