Teman, Puisi, dan Inspirasi
Maret 23, 2017Baca Juga
"Koteng* hijau dan koteng putih, laaaama mi bersahabat.
Koteng,
Mereka pun berpisah...
Koteng hijau mulai berjalan ke belakang.
Koteng putih juga, di bawah, seakan mau pergi berjalan
Koteng hijau, sampe disini, naik disitu, sampemi disitue, tidak ada kabarnya kepada koteng putih
Naik lagi si koteng hijau sampai di atas, disitumi e.., sampai di atas, tidak ada lagi kabarnya.
Tidak na BBM mi juga...
....."
Suasana malam yang tenang dan hening langsung bergemuruh tawa. Kami justru terpingkal-pingkal dengan satu puisi itu. Teman kami, sesama jurnalis, tanpa malu berdiri di atas panggung membacakan "syair" polos di luar kepalanya. Pun, sebenarnya puisi jenaka itu ada di luar topik panggung malam itu. Kami seharusnya membacakan karya-karya peninggalan budayawan Enrekang, Udhin Palisuri.
Entah saya ingin menyebutnya puisi atau bukan. Paling tidak, kami harus menghargainya sebagai sebuah hiburan. Saya akui, penampilannya malam itu adalah yang paling segar (dan lama). *Lebih cocok disebut Stand Up Comedy Poetry. Apalagi, ia awalnya sempat menolak untuk naik membawakan sebait-dua bait puisi. Tetapi, hanya gara-gara terlecut "komporan" dari kami, dua orang temannya, lelaki beranak satu itu dengan percaya diri melenggang ke atas panggung.
"Penampilan penutup untuk malam ini, kita akan persilakan bagi tiga teman wartawan untuk ikut membacakan puisi," ujar pemandu mengawalinya, yang sebenarnya sudah cukup akrab pula dengan kami.
Dan meluncurlah sang Koteng sebagai pembuka bagi kami, yang ingin membangun hangatnya persahabatan malam itu...
Sudah tiga malam berturut-turut saya ikut meniti waktu di halaman depan perpustakaan Enrekang. Terkadang berhasil mengajak teman. Lebih sering sendirian tanpa teman. Akan tetapi, saya tetap menjumpai banyak wajah baru. Darinya, saya banyak berkenalan dengan anak-anak muda yang punya semangat untuk terus melangkah. Dari sana pula saya punya alasan untuk terus memperbanyak teman.
Ada Panggung Literasi yang berusaha dihidupkan anak-anak muda di Bumi Massenrempulu. Bagaimana cara mengajak masyarakat untuk berkumpul di perpustakaan hanyalah secuil dari tujuan hakikinya. Karena sejatinya, pertemuan dan obrolan yang mengundang inspirasi jauh lebih menggairahkan.
Kami bertemu di dunia nyata, duduk berhadapan tanpa sengaja, bertukar pandang, berbicara, mengundang tawa, berbagi pengalaman, hingga menarik seikat kesimpulan; akan selalu ada pertemanan yang jauh lebih romantis. Paling penting, tak ada kebohongan atau hoax yang sengaja dilebih-lebihkan seperti saat kami berkumpul di dunia maya.
Saya belajar untuk tak menilai orang dari penampilannya saja. Karena sejujurnya, saya mulai menjalin pertemanan dengan mereka yang barangkali lebih akrab jika disebut anak Punk atau Metal. Rambut gondrong seakan tak terurus. Sekujur badan penuh tatto. Paradoksnya, justru mereka yang punya semangat untuk bangkit dari kenyamanan di balik kebiasaan.
Entah bagaimana, saya, kok ya, merasa "tertampar". Orang-orang berpendidikan malah cenderung tak punya keberanian untuk mengubah apa-apa. Diam saja di di bagian paling nyamannya. Manut dengan perintah atasan. Takut dengan teguran atasan.
Pada kenyataannya, lingkungan pertemanan ternyata ikut mempengaruhi ritme perjalanan hidup. Denyut semangat saya memang ikut beresonansi dengan mereka-mereka yang punya tekad kuat untuk terus maju dan berkembang. Sangat berbeda jika saya hanya menghubungkan ikatan itu dengan teman-teman se-profesi di lingkungan ini. Karena pertemanan paling "jujur" justru terbangun dari mereka yang tak punya kaitan profesi apa-apa dengan saya. Timbal baliknya, hanya karena kami saling menghargai.
Sebagian dari kami, para jurnalis, terlalu berleha-leha dengan kenyamanan menggali berita. Pisau bermata dua dimanfaatkan untuk ikut melukai siapa pun yang berani berbuat kurang ajar pada kami. Bahkan, tak jarang, sebagian dari kami mengasahnya demi meraup keuntungan lebih besar. Saya tak suka hal demikian. Bukannya dengan pisau itu jauh lebih berguna dipakai untuk membuat masakan-masakan yang lezat dan tak terlupakan? Karya yang manis tak selalu bisa diolah dari cara yang bengis.
Maka berteman dengan siapa saja bisa menjadi wadah untuk mengasah salah satu bagian paling emosional itu. Tetaplah berjalan apa adanya. Sembari tetap memancangkan tekad agar terus dibaca semesta. Mengapa demikian? Semesta bekerja sebagai bagian dari aksi dan reaksi. Apa yang kita pikirkan pada semesta, begitu pula yang akan diberikan semesta pada kita.
Seperti pesan yang ingin disampaikan teman kami yang membacakan Koteng, bertemanlah dengan siapa saja. Tak peduli mereka pandai atau sama sekali berotak bebal.
Dari balik kesuksesan kelak, selalu ada diantara mereka yang akan menjadi penopang saat kita ingin terus berdiri. Kita, kan, tidak pernah tahu bagaimana Tuhan menyusun skenario-Nya. Terkadang, hal-hal yang tak pernah kita duga justru menjadi sesuatu yang paling manis dalam runut skenario itu.
Dua hari lalu, 21 Maret, adalah Hari Puisi Internasional. Saya baru bisa ikut membacakan satu puisi Udhin Palisuri satu malam sesudahnya. Menutup dua penampilan teman sebelumnya.
Sebenarnya, saya bukan termasuk pembaca buku-buku para penyair. Tak ada satu pun koleksi saya yang merupakan bundelan puisi para penyair. Saya hanya lebih suka menikmati lantunan syair dari mereka yang bersenyawa di atas panggung. Setidaknya, senyawa-senyawa itu pula yang meniupkan ruhnya ke dalam jiwa untuk terus bergerak. Baik atau buruk penampilan mereka malam itu, saya lebih senang menilai semangatnya untuk naik ke atas panggung. Bahagia tak selalu diukur dari jumlah tepuk tangan.
-----
*) Koteng = hewan sejenis siput atau keong.Tetapi tak punya kemampuan membacakan puisi.
Koteng,
Mereka pun berpisah...
Koteng hijau mulai berjalan ke belakang.
Koteng putih juga, di bawah, seakan mau pergi berjalan
Koteng hijau, sampe disini, naik disitu, sampemi disitue, tidak ada kabarnya kepada koteng putih
Naik lagi si koteng hijau sampai di atas, disitumi e.., sampai di atas, tidak ada lagi kabarnya.
Tidak na BBM mi juga...
....."
Suasana malam yang tenang dan hening langsung bergemuruh tawa. Kami justru terpingkal-pingkal dengan satu puisi itu. Teman kami, sesama jurnalis, tanpa malu berdiri di atas panggung membacakan "syair" polos di luar kepalanya. Pun, sebenarnya puisi jenaka itu ada di luar topik panggung malam itu. Kami seharusnya membacakan karya-karya peninggalan budayawan Enrekang, Udhin Palisuri.
Entah saya ingin menyebutnya puisi atau bukan. Paling tidak, kami harus menghargainya sebagai sebuah hiburan. Saya akui, penampilannya malam itu adalah yang paling segar (dan lama). *Lebih cocok disebut Stand Up Comedy Poetry. Apalagi, ia awalnya sempat menolak untuk naik membawakan sebait-dua bait puisi. Tetapi, hanya gara-gara terlecut "komporan" dari kami, dua orang temannya, lelaki beranak satu itu dengan percaya diri melenggang ke atas panggung.
"Penampilan penutup untuk malam ini, kita akan persilakan bagi tiga teman wartawan untuk ikut membacakan puisi," ujar pemandu mengawalinya, yang sebenarnya sudah cukup akrab pula dengan kami.
Dan meluncurlah sang Koteng sebagai pembuka bagi kami, yang ingin membangun hangatnya persahabatan malam itu...
Maaf Kak Aris, fotonya mesti dipamerkan dulu. (Imam Rahmanto) |
***
Sudah tiga malam berturut-turut saya ikut meniti waktu di halaman depan perpustakaan Enrekang. Terkadang berhasil mengajak teman. Lebih sering sendirian tanpa teman. Akan tetapi, saya tetap menjumpai banyak wajah baru. Darinya, saya banyak berkenalan dengan anak-anak muda yang punya semangat untuk terus melangkah. Dari sana pula saya punya alasan untuk terus memperbanyak teman.
Ada Panggung Literasi yang berusaha dihidupkan anak-anak muda di Bumi Massenrempulu. Bagaimana cara mengajak masyarakat untuk berkumpul di perpustakaan hanyalah secuil dari tujuan hakikinya. Karena sejatinya, pertemuan dan obrolan yang mengundang inspirasi jauh lebih menggairahkan.
Kami bertemu di dunia nyata, duduk berhadapan tanpa sengaja, bertukar pandang, berbicara, mengundang tawa, berbagi pengalaman, hingga menarik seikat kesimpulan; akan selalu ada pertemanan yang jauh lebih romantis. Paling penting, tak ada kebohongan atau hoax yang sengaja dilebih-lebihkan seperti saat kami berkumpul di dunia maya.
Saya belajar untuk tak menilai orang dari penampilannya saja. Karena sejujurnya, saya mulai menjalin pertemanan dengan mereka yang barangkali lebih akrab jika disebut anak Punk atau Metal. Rambut gondrong seakan tak terurus. Sekujur badan penuh tatto. Paradoksnya, justru mereka yang punya semangat untuk bangkit dari kenyamanan di balik kebiasaan.
Entah bagaimana, saya, kok ya, merasa "tertampar". Orang-orang berpendidikan malah cenderung tak punya keberanian untuk mengubah apa-apa. Diam saja di di bagian paling nyamannya. Manut dengan perintah atasan. Takut dengan teguran atasan.
Pada kenyataannya, lingkungan pertemanan ternyata ikut mempengaruhi ritme perjalanan hidup. Denyut semangat saya memang ikut beresonansi dengan mereka-mereka yang punya tekad kuat untuk terus maju dan berkembang. Sangat berbeda jika saya hanya menghubungkan ikatan itu dengan teman-teman se-profesi di lingkungan ini. Karena pertemanan paling "jujur" justru terbangun dari mereka yang tak punya kaitan profesi apa-apa dengan saya. Timbal baliknya, hanya karena kami saling menghargai.
Sebagian dari kami, para jurnalis, terlalu berleha-leha dengan kenyamanan menggali berita. Pisau bermata dua dimanfaatkan untuk ikut melukai siapa pun yang berani berbuat kurang ajar pada kami. Bahkan, tak jarang, sebagian dari kami mengasahnya demi meraup keuntungan lebih besar. Saya tak suka hal demikian. Bukannya dengan pisau itu jauh lebih berguna dipakai untuk membuat masakan-masakan yang lezat dan tak terlupakan? Karya yang manis tak selalu bisa diolah dari cara yang bengis.
Maka berteman dengan siapa saja bisa menjadi wadah untuk mengasah salah satu bagian paling emosional itu. Tetaplah berjalan apa adanya. Sembari tetap memancangkan tekad agar terus dibaca semesta. Mengapa demikian? Semesta bekerja sebagai bagian dari aksi dan reaksi. Apa yang kita pikirkan pada semesta, begitu pula yang akan diberikan semesta pada kita.
Seperti pesan yang ingin disampaikan teman kami yang membacakan Koteng, bertemanlah dengan siapa saja. Tak peduli mereka pandai atau sama sekali berotak bebal.
Dari balik kesuksesan kelak, selalu ada diantara mereka yang akan menjadi penopang saat kita ingin terus berdiri. Kita, kan, tidak pernah tahu bagaimana Tuhan menyusun skenario-Nya. Terkadang, hal-hal yang tak pernah kita duga justru menjadi sesuatu yang paling manis dalam runut skenario itu.
Bersantailah tanpa dibebani rasa bersalah. (Imam Rahmanto) |
***
Dua hari lalu, 21 Maret, adalah Hari Puisi Internasional. Saya baru bisa ikut membacakan satu puisi Udhin Palisuri satu malam sesudahnya. Menutup dua penampilan teman sebelumnya.
Sebenarnya, saya bukan termasuk pembaca buku-buku para penyair. Tak ada satu pun koleksi saya yang merupakan bundelan puisi para penyair. Saya hanya lebih suka menikmati lantunan syair dari mereka yang bersenyawa di atas panggung. Setidaknya, senyawa-senyawa itu pula yang meniupkan ruhnya ke dalam jiwa untuk terus bergerak. Baik atau buruk penampilan mereka malam itu, saya lebih senang menilai semangatnya untuk naik ke atas panggung. Bahagia tak selalu diukur dari jumlah tepuk tangan.
"Hanya untuk satu bacaan, kita terlalu banyak beralasan." Mulailah membaca apa saja yang kamu suka.
--Imam Rahmanto--
-----
*) Koteng = hewan sejenis siput atau keong.
2 comments
Direkam mas puisinya jnengan ... Di publish di sini, pgn tahu penampilannya ... 😀
BalasHapusAda kok rekamannya. Pake video malah. Cuma, tidak buat diposting disini. Haha...
Hapus