Asap-asap Kopi
Februari 22, 2017Baca Juga
Awan putih yang berarak pelan membatasi pandangan hijaunya gunung di seberang sana. Gunung yang kukuh seakan malu-malu ketahuan bangun pagi. Perlahan, selimutnya yang terbuat dari gumpalan embun tersingkap oleh silaunya sang mentari.
Kokok ayam dan kicau burung seolah jadi melodi yang menyemarakkan semesta pagi. Saya tak tahu lagi harus mengiringinya dengan musik genre apa. Diantara bentangan kabel listrik, dua-tiga burung gereja hinggap demi memberikan sambutannya untuk saya. Sebisanya, saya hanya ingin duduk, menyeruput cokelat panas (pengganti cappuccino), dan menikmati setiap detik momentum pagi ini.
Pagi...
Betapa saya telah lama melupakan pagi. Barangkali, ini menjadi pangkal pertama saya bisa membaui aromanya kembali. Padahal sudah sebulan saya bertugas di daerah ini. Ia selalu terlewat apa adanya. Sungguh terkutuklah orang yang tak menikmati nuansa pagi di daerah yang menyajikan bentang alam begitu indahnya.
Saya dibuat bersemangat dengan banyak hal di kepala.
Yah, meski harus dibuat dongkol pula dengan naskah berita yang dicetak hanya secuil pagi ini. Padahal, bahannya dikumpulkan dengan mengikuti rombongan bupati dalam acara panen raya ke wilayah-wilayah pegunungan, kemarin. Foto juga tak luput dari puluhan jepretan.
Selalu saja, rasa bahagia bakal tumpang tindih dengan rasa-rasa yang tak diharapkan. Tergantung dari sisi mana kita bisa memulai senyum. Dan, saya mesti memutuskannya dari sisi yang lebih membahagiakan. Memulai tawa dari seluruh kekonyolan bersama teman-teman wartawan di atas kendaraan.
Sejujurnya, teman-teman sesama pekerja media disini sebagian besar berjiwa oportunistis. Barangkali karena faktor usia dan keluarga, orientasinya cukup berbeda dengan saya yang masih terbilang muda. Terlepas dari itu, saya tetap banyak menimba ilmu dari kekonyolan-kekonyolan mereka. Itu masih lebih baik ketimbang orang yang hanya bermodal copy-paste untuk menjadi seorang jurnalis. Untuk yang satu ini, saya terkadang muak dibuatnya.
Kata bapak, berteman itu tak ada batasan. Prinsip dasar jurnalisme juga seperti demikian. Bahkan, ada anekdot yang lekat dengan kepala kami: kemarin berteman dengan pejabat, besok berteman dengan penjahat, lusa berteman dengan pejabat yang penjahat.
Hakikatnya, tak ada sekat yang perlu membatasi jika soal memperbanyak pengalaman. Pun, dari anak kecil, kita juga masih harus banyak-banyak belajar cara tersenyum tanpa alasan dan tulus memaafkan.
Sedikit demi sedikit, saya mulai menjumpai beberapa teman yang melegakan. Ternyata, orang-orang kreatif nan tangguh tidak hanya tersebar di kota-kota besar. Untuk ukuran pegunungan sekelas Enrekang, tak luput dari orang-orang yang ingin mendedikasikan pikirannya untuk kemajuan daerahnya.
Naim dengan semangat penggagas gerakan sosialnya, Ohe dengan semangat penelusuran wisata dan budayanya, dan Rahim lewat semangat budidaya kopinya. Untuk nama yang terakhir, saya bertemu di kafe miliknya. Hanya berjarak 5-10 meter dari jalan poros Enrekang. Seorang teman SMA yang kini bekerja sebagai ajudan pribadi bupati mengajak nongkrong disana.
"Saya cuma pemberdaya kopi pasca panen," tuturnya merendah di tengah-tengah percakapan kami. Pun, saya telah memperkenalkan diri.
Di balik kesederhanaan itu, jangan coba-coba bertanya soal kopi padanya. Berpuluh-puluh metode akan dijabarkannya sampai habis. Tak segan, setiap pelanggan yang menyambangi kafe sederhananya akan ditawari dengan aneka usulan. Sesekali, ia akan menjawab tanpa perlu ditanya perihal kopi. Karena itu, saya sebenarnya lebih tertarik menamai kafenya ini dengan "Filosofi Kopi". Apalagi, dari kafe ini saya baru kembali merasakan rasa cappuccino yang benar-benar dirindukan.
Bercakap-cakap dengan mereka, para penggerak itu, seolah ada ide segar yang selalu meluncur dari benak saya. Ada banyak hal baru setiap kali usai bercengkerama dengan mereka. Kelak, cerita-cerita yang mengalir diantara mulut kami mungkin jadi pemicu untuk petualangan-petualangan berikutnya.
Saya bertemu dengan ketiganya dalam suasana yang nyaris serupa, diantara asap-asap kopi. Bercengkerama sembari menandaskan segelas kopi. Pertama, di kafe bantaran sungai, Macca Cafe. Kedua, menyesap kopi susu dari atas teras lantai kedua rumahnya. Sementara yang terakhir di kafe ini, Mountain Cafe.
Ada dialog khas film lokal Makassar yang lekat di ingatan. Katanya, kopi boleh pahit, hidupmu jangan. Saya baru melihat paketnya dalam beberapa hari terakhir di tanah kopi ini. Diantara pahitnya yang mendera hidup, semangat untuk tetap berkarya tak pernah meredup. Mereka justru berusaha membesarkan daerahnya lewat keahlian dan pemberdayaan masing-masing.
Naim dengan semangat mengubah lingkungannya, Ohe dengan jejak petualangannya mengabadikan bentang alam, dan Rahim yang mencintai kopi seperti istrinya sendiri. Saya selalu menjumpa mata yang selalu berbinar. Seperti kopi, warnanya hitam dan sederhana, tetapi diburu sebagai minuman strata tinggi.
Saya lebih senang menyebut mereka sebagai "Peretas" layaknya serial novel Supernova. Diantara ribuan penduduk daerah yang terkungkung dengan segala keterbatasan, mereka sadar untuk terus berkembang. Bahwa kemampuan manusia tidak hanya sebatas yang mampu dijabarkan pikirannya. Segalanya bergantung pada semangat untuk bermanfaat bagi orang lain.
"Hei, Imam. Kau ternyata disini juga?" sapa seorang lelaki yang baru saja tiba. Senyumnya mengembang sembari menjabat tangan saya.
"Wah, adaki juga, Kak? Berarti jodohki?," sapa saya sambil tertawa. Dialah Ohe, salah satu Peretas yang lain. Saya tak menyangka bakal bertemu dengannya di tempat ini.
Ia segera mengeluarkan smartphone miliknya. Memutar salah satu video, yang berisi dokumentasi perayaan ulang tahun Kabupaten Enrekang, baru-baru ini. Timnya memang disewa pemkab untuk mengabadikan momen tahunan tersebut. Kebetulan, wajah saya termasuk salah satu tokoh di dalamnya.
"Tidak rindu dengan Makassar?" seorang teman baru saja bertanya lewat pesan, chat singkatnya.
"Tidak terlalu. Ternyata lebih banyak hal yang berdatangan, yang menyenangkan, yang mulai menghapus alasan saya untuk pergi dari sini..." pesan yang hanya saya simpan sendiri dalam kepala.
"Rindu sih. Tapi, belum ada kesempatan ke Makassar. Pekerjaan masih belum mengizinkan saya untuk melarikan diri kesana," tulis saya.
Delivered. Sent. Read.
Kokok ayam dan kicau burung seolah jadi melodi yang menyemarakkan semesta pagi. Saya tak tahu lagi harus mengiringinya dengan musik genre apa. Diantara bentangan kabel listrik, dua-tiga burung gereja hinggap demi memberikan sambutannya untuk saya. Sebisanya, saya hanya ingin duduk, menyeruput cokelat panas (pengganti cappuccino), dan menikmati setiap detik momentum pagi ini.
Pagi...
Betapa saya telah lama melupakan pagi. Barangkali, ini menjadi pangkal pertama saya bisa membaui aromanya kembali. Padahal sudah sebulan saya bertugas di daerah ini. Ia selalu terlewat apa adanya. Sungguh terkutuklah orang yang tak menikmati nuansa pagi di daerah yang menyajikan bentang alam begitu indahnya.
Saya dibuat bersemangat dengan banyak hal di kepala.
Yah, meski harus dibuat dongkol pula dengan naskah berita yang dicetak hanya secuil pagi ini. Padahal, bahannya dikumpulkan dengan mengikuti rombongan bupati dalam acara panen raya ke wilayah-wilayah pegunungan, kemarin. Foto juga tak luput dari puluhan jepretan.
Selalu saja, rasa bahagia bakal tumpang tindih dengan rasa-rasa yang tak diharapkan. Tergantung dari sisi mana kita bisa memulai senyum. Dan, saya mesti memutuskannya dari sisi yang lebih membahagiakan. Memulai tawa dari seluruh kekonyolan bersama teman-teman wartawan di atas kendaraan.
Sejujurnya, teman-teman sesama pekerja media disini sebagian besar berjiwa oportunistis. Barangkali karena faktor usia dan keluarga, orientasinya cukup berbeda dengan saya yang masih terbilang muda. Terlepas dari itu, saya tetap banyak menimba ilmu dari kekonyolan-kekonyolan mereka. Itu masih lebih baik ketimbang orang yang hanya bermodal copy-paste untuk menjadi seorang jurnalis. Untuk yang satu ini, saya terkadang muak dibuatnya.
Kata bapak, berteman itu tak ada batasan. Prinsip dasar jurnalisme juga seperti demikian. Bahkan, ada anekdot yang lekat dengan kepala kami: kemarin berteman dengan pejabat, besok berteman dengan penjahat, lusa berteman dengan pejabat yang penjahat.
Hakikatnya, tak ada sekat yang perlu membatasi jika soal memperbanyak pengalaman. Pun, dari anak kecil, kita juga masih harus banyak-banyak belajar cara tersenyum tanpa alasan dan tulus memaafkan.
Sering-seringlah main kemari. (Imam Rahmanto) |
Sedikit demi sedikit, saya mulai menjumpai beberapa teman yang melegakan. Ternyata, orang-orang kreatif nan tangguh tidak hanya tersebar di kota-kota besar. Untuk ukuran pegunungan sekelas Enrekang, tak luput dari orang-orang yang ingin mendedikasikan pikirannya untuk kemajuan daerahnya.
Naim dengan semangat penggagas gerakan sosialnya, Ohe dengan semangat penelusuran wisata dan budayanya, dan Rahim lewat semangat budidaya kopinya. Untuk nama yang terakhir, saya bertemu di kafe miliknya. Hanya berjarak 5-10 meter dari jalan poros Enrekang. Seorang teman SMA yang kini bekerja sebagai ajudan pribadi bupati mengajak nongkrong disana.
"Saya cuma pemberdaya kopi pasca panen," tuturnya merendah di tengah-tengah percakapan kami. Pun, saya telah memperkenalkan diri.
Di balik kesederhanaan itu, jangan coba-coba bertanya soal kopi padanya. Berpuluh-puluh metode akan dijabarkannya sampai habis. Tak segan, setiap pelanggan yang menyambangi kafe sederhananya akan ditawari dengan aneka usulan. Sesekali, ia akan menjawab tanpa perlu ditanya perihal kopi. Karena itu, saya sebenarnya lebih tertarik menamai kafenya ini dengan "Filosofi Kopi". Apalagi, dari kafe ini saya baru kembali merasakan rasa cappuccino yang benar-benar dirindukan.
Bercakap-cakap dengan mereka, para penggerak itu, seolah ada ide segar yang selalu meluncur dari benak saya. Ada banyak hal baru setiap kali usai bercengkerama dengan mereka. Kelak, cerita-cerita yang mengalir diantara mulut kami mungkin jadi pemicu untuk petualangan-petualangan berikutnya.
Saya bertemu dengan ketiganya dalam suasana yang nyaris serupa, diantara asap-asap kopi. Bercengkerama sembari menandaskan segelas kopi. Pertama, di kafe bantaran sungai, Macca Cafe. Kedua, menyesap kopi susu dari atas teras lantai kedua rumahnya. Sementara yang terakhir di kafe ini, Mountain Cafe.
Ada dialog khas film lokal Makassar yang lekat di ingatan. Katanya, kopi boleh pahit, hidupmu jangan. Saya baru melihat paketnya dalam beberapa hari terakhir di tanah kopi ini. Diantara pahitnya yang mendera hidup, semangat untuk tetap berkarya tak pernah meredup. Mereka justru berusaha membesarkan daerahnya lewat keahlian dan pemberdayaan masing-masing.
Naim dengan semangat mengubah lingkungannya, Ohe dengan jejak petualangannya mengabadikan bentang alam, dan Rahim yang mencintai kopi seperti istrinya sendiri. Saya selalu menjumpa mata yang selalu berbinar. Seperti kopi, warnanya hitam dan sederhana, tetapi diburu sebagai minuman strata tinggi.
Saya lebih senang menyebut mereka sebagai "Peretas" layaknya serial novel Supernova. Diantara ribuan penduduk daerah yang terkungkung dengan segala keterbatasan, mereka sadar untuk terus berkembang. Bahwa kemampuan manusia tidak hanya sebatas yang mampu dijabarkan pikirannya. Segalanya bergantung pada semangat untuk bermanfaat bagi orang lain.
"Niat menggerakkan pikiran," --Intelegensi Embun Pagi
"Hei, Imam. Kau ternyata disini juga?" sapa seorang lelaki yang baru saja tiba. Senyumnya mengembang sembari menjabat tangan saya.
"Wah, adaki juga, Kak? Berarti jodohki?," sapa saya sambil tertawa. Dialah Ohe, salah satu Peretas yang lain. Saya tak menyangka bakal bertemu dengannya di tempat ini.
Ia segera mengeluarkan smartphone miliknya. Memutar salah satu video, yang berisi dokumentasi perayaan ulang tahun Kabupaten Enrekang, baru-baru ini. Timnya memang disewa pemkab untuk mengabadikan momen tahunan tersebut. Kebetulan, wajah saya termasuk salah satu tokoh di dalamnya.
Jangan dipercaya! Ini cuma pencitraan! (Foto by Whaiz) |
***
"Tidak rindu dengan Makassar?" seorang teman baru saja bertanya lewat pesan, chat singkatnya.
"Tidak terlalu. Ternyata lebih banyak hal yang berdatangan, yang menyenangkan, yang mulai menghapus alasan saya untuk pergi dari sini..." pesan yang hanya saya simpan sendiri dalam kepala.
"Rindu sih. Tapi, belum ada kesempatan ke Makassar. Pekerjaan masih belum mengizinkan saya untuk melarikan diri kesana," tulis saya.
Delivered. Sent. Read.
--Imam Rahmanto--
0 comments