Memandang Jalan

Februari 20, 2017

Baca Juga

Kamu tahu, apa yang membuatmu hidup? Sebuah perjalanan.

Saya nyaris belum menuangkan apa-apa dari perjalanan di Kabupaten Enrekang ini. Padahal, itu menjadi beban tersendiri bagi saya. Untuk ukuran orang-orang yang menyukai perjalanan, pengalaman tak sekadar untuk diteguk sendiri seperti menikmati secangkir cappuccino. Bagi saya, perjalanan selalu punya banyak hal yang bisa dipaparkan. Entah itu buat orang-orang, teman-teman, sahabat, hingga dongeng pengantar tidur bagi anak-cucu kelak.

Kalau sebagai pewarta, saya tentu sudah teramat karib dengan menulis berita. Jadinya, setiap aktivitas bisa berbuah berita. Hanya saja, saya tak pernah menuliskannya kembali disini.

"Rumah" ini bukan tempat untuk "menerbitkan ulang" tulisan yang sudah menjadi bagian dari media tempat saya bekerja. Lagi-lagi, "rumah" ini adalah tempat saya bercerita, menumpahkan segala macam perjalanan. Uneg-uneg. Kekonyolan. Bukan tempat mencari keuntungan, seperti yang selalu diharapkan orang-orang berpenghasilan di dunia maya. Kalau mau baca berita garapan saya, ya langganan surat kabar, dong. :p

Dari tempat ini, saya selalu bisa merasai makna pulang....

Langit baru saja usai menumpahkan isinya. Siang kemarin, saya baru saja pulang dari acara tahunan kabupaten. Hari lahirnya memang hanya berselisih sembilan hari dari kelahiran saya. Dirayakan tiap tahun. Didatangi Pak Gubernur. Sangat berbeda dengan ulang tahun manusia, yang terkadang hanya bisa memendam sepi dan sunyi sendiri. #ehh

Sebenarnya, acara semacam ini selalu nampak membosankan buat saya. Seremoni. Petinggi baca sambutan. Baca doa. Agenda simbolis (peresmian dan semacamnya lah). Semua berpadu jadi satu.

Tak tanggung-tanggung, saya harus bertugas ganda, sebagai penulis dan fotografer. Bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya terlalu normatif. Ini juga karena kantor punya kepentingan bisnis dengan acara tersebut. Saya pun harus menyisipkan waktu bertindak sebagai copywriter. Tidak lain, ya, untuk membuat naskah yang isinya hanya soal pencitraan.

Matahari juga sedang bengis-bengisnya memanggang ubun-ubun dari atas sana. Kejengkelan kian berlipat. Seandainya bukan karena mengumpulkan bahan, barangkali saya sudah beranjak dari tempat itu.

Saya lebih suka perjalanan yang benar-benar bepergian dan menikmati pemandangan baru. Termasuk di daerah Enrekang ini masih banyak tempat-tempat yang tergolong perawan.

Seperti pekan sebelumnya, saya menelusur jalan ke lokasi air terjun Mundan. Letaknya di Kecamatan Masalle. Berjarak dua jam perjalanan dari ibukota Kabupaten Enrekang.

Saya belum pernah menginjakkan kaki di daerah bernama Mundan itu. Dalam lobus ingatan, saya hanya tahu bahwa daerah itu merupakan kampung halaman salah seorang teman masa kecil. Akan tetapi, rasa penasaran (dan kebebasan) mendorong saya untuk menjajal daerah di ketinggian gunung itu.

Ini pose teman, setelah saya paksa. (Imam Rahmanto)

Meski pada akhirnya, saya kecewa tak menemukan air yang melimpah dari luncuran air terjun itu. Kata warga sekitar, hujan belum banyak turun di sekitar daerah tersebut. Masyarakat terpaksa memanfaatkan aliran air terjun untuk menyiram tanaman-tanamannya umyang didominasi jenis tomat.

Tetap saja, saya tak pernah menyesal harus menghabiskan hampir setengah hari perjalanan itu. Paling tidak, banyak pemandangan yang menyegarkan mata. Udaranya juga dingin dan selalu membuat saya lupa segala beban di kepala. Barangkali, kebahagiaan semacam itulah yang didapatkan masyarakat-masyarakat pegunungan.

"Kamu ndak menyesal kesini, temani saya?" tanya saya pada seorang teman. Kami harus bercucuran keringat karena menuruni lembah.

"Ndak. Sekalian juga jalan-jalan ke tempat yang belum pernah saya datangi," akunya.

Sejak dulu, teman saya yang satu ini tak pernah berubah. Kemana pun, ia bakal dengan senang hati menemani saya. Di sekolah, ia menjadi salah seorang teman setia. Ia tak pernah luput untuk mengulurkan tangannya ketika saya meminta. Kini, ia sudah bekerja sebagai honorer di kantor kecamatan.

Pada kenyataannya, hidup memang tak selalu soal hasil yang akan didapat di akhir perjalanan. Prosesnya juga sangat menyenangkan. Saya justru terhibur dalam proses pencarian kami ke tempat tujuan. Mencari jalan yang bercabang-cabang tanpa bantuan Google Map. Merutuk jalan yang rusak dan berbatu. Hingga dengan mulusnya berkomunikasi dengan warga setempat.

"Ternyata, kamu masih pintar bahas Duri ya?" tanya teman saya dalam bahasa yang dimaksud.

Ia sempat heran melihat saya yang tanpa sungkan bertanya jalan kepada setiap warga yang berpapasan dengan kami.

"Iyalah. Meskipun logatnya sudah hilang dan butuh penyesuaian di beberapa kosa kata. Hahaha...." jawab saya diplomatis.

Toh, saya juga heran masih bisa sedikit mengimbangi bahasa daerah mereka. Ada hiburan tersendiri saat menyambangi daerah-daerah yang dulu hanya ada dalam ingatan masa sekolah. Paling tidak, perjalanan semacam itu, saya punya referensi untuk itinerary perjalanan lainnya.

Saya sangat senang saat hari berikutnya dipertemukan dengan seorang fotografer lokal yang sering mengisi waktunya menelusur tempat-tempat wisata baru di Enrekang. Kami sudah punya beberapa agenda perjalanan (petualangan) untuk dihabiskan selama di daerah pegunungan ini.

Barangkali, esensi sebenarnya dari hidup memang agar kita terus berjalan. Tanpa perjalanan, hidup akan seperti di dalam kotak. Tahu, kan bagaimana kehidupan dalam kotak?? Tak pernah bisa melihat hal-hal baru.

Dan, akh, saya selalu teringat lagu Banda Neira, Berjalan Lebih Jauh....

Dari ketinggian yang dinginnya sudah bisa mencengkeram kulit. (Imam Rahmanto)



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments