Per(Jodoh)an

Desember 21, 2016

Baca Juga



Malam semakin bergulir. Bintang-bintang di atas kepala tak ada yang sanggup menarik hati. Saya seolah merindukan kembali perkampungan Sidrap, yang baru dua hari lalu saya tinggalkan. Sesilau-silaunya lampu sirkuit balap yang berjejer di Puncak Mario, bintang disana tak pernah malu-malu menyapa gulita. Justru di kota ini, Makassar, bias langit seolah takluk dengan lampu-lampu jalan dan beton.

Kopi-susu masih belum ludes. Saya baru beberapa menit lalu tiba untuk menyelesaikan sedikit naskah di warkop langganan ini. Mendapati kabar seorang teman bakal melangsungkan pernikahan bulan depan. Bukan hal aneh. Di usia kami sekarang, sudah lazim pertanyaan standar, "Kapan menikah?". Pertanyaan seperti, "Bagaimana skripsimu?" atau, "Kapan wisuda?" sudah bukan masanya.

Tengah malam di sebuah villa Puncak Mario. (Imam Rahmanto)

Saya pernah mempercayai sebuah mitos: ujian pertama bagi sepasang kekasih itu ada di tiga bulan pertama. Waktu-waktu itu disebut sebagai masa kritis sekaligus ujian. Karena tak bisa dipungkiri, cinta yang berbunga-bunga hanya ada saat masa penjajakan untuk mencari pengakuan.

Nah, jika sejoli yang dimabuk asmara itu bisa melaluinya, hubungannya "diramal" bakal berlangsung lama.

Terbukti masa kritis semacam itu pernah saya lalui. *uhuk!* Sayangnya, seperti mitos, saya tak mampu melalui tiga bulan pertamanya. Bisa ditebak, kisah asmara selalu berakhir di ujung tanduk.

Akan tetapi, kenyataan lain membawa saya pada beberapa kejadian menyebalkan. Mitos semacam itu tak sepenuhnya benar. Karena, toh, ada banyak pasangan yang punya kisah asmara langgeng bertahun-tahun namun tak bermuara pada tempat yang sama: pelaminan.

Betapa Tuhan selalu punya banyak skenario untuk membolak-balikkan hati manusia. Bukan semata-mata hati yang memainkan peranannya. Malah, terkadang hati dan perasaan yang menaunginya masih sama. Hanya saja, faktor lain memaksa sepasang kekasih harus berhenti dari perjalanannya bergandeng tangan. Keduanya terpaksa memutar arah yang tak sejalur.

Baru-baru ini, saya menjumpai seorang teman perempuan seperti itu. Saya tak begitu mengenalnya dengan baik, karena jarang bertemu dan menjalin komunikasi. Pun, saya mengenalnya lewat kekasihnya yang merupakan sahabat kami di lembaga pers kampus.

Kehidupannya termasuk agak berat belakangan ini. Meskipun, menurut pengakuannya, ia masih bisa tersenyum dan tegar diantara sahabat-sahabatnya yang justru menangisi kisahnya. Tetapi, seperti cappuccino, masih ada pahit tersisa diantara manis senyumnya.

Saat menjumpai senyumnya, malam lalu, ketegaran memang dipikulnya begitu rapi. Akan tetapi, saya tetap mendapati dirinya belum mengutarakan semua hal yang ingin disampaikannya secara utuh. Semudah-mudahnya perempuan mengulum senyum, soal hati tak bisa terus ditutup-tutupi. Laki-laki masih bisa menawar hatinya. Perempuan? Tak pernah mampu menawar hati dengan logika.

"Sakit sih, tentu saya merasa sakit. Hati perempuan mana yang tidak sakit seperti itu. Tetapi, untuk meratapinya, saya mau apa juga," ungkapnya sambil tersenyum, tanpa mata yang berkaca-kaca.

Saya hampir dibuatnya terkesima dengan senyum dan cerita yang lepas saja ia bagi. Untuk bertemu dan bertatap muka seperti ini saja, ia tak perlu banyak berpikir. Saya maslah mengira, perempuan-perempuan patah hati akan mengurung dirinya dalam kamar, menghabiskan ratusan tissue, menamatkan puluhan drama korea, menyuap segentong eskrim, atau menggigit lebih banyak batang cokelat.

Saya jadi tak perlu bertanya jika ia harus menampik mitos di awal cerita yang sudah disebutkan. Kisahnya sendiri sudah "nyaris" langgeng. Bertahun-tahun lamanya, ia dan lelakinya menjalani masa pacaran. Saat pertama kali hatinya berbunga-bunga menerima pernyataan cinta yang masih berpakaian putih abu-abu, ia tak pernah membayangkan harus berhenti di persimpangan jalan.

Saya pernah membayangkan, kelak kami akan datang beramai-ramai mengucapkan selamat untuk keduanya di atas pelaminan. Berfoto bersama, lalu ucapannya diterbitkan di tabloid kampus sebagai masa berbahagia. Maklum, sebagai salah satu senior lembaga pers kampus. Muka-muka kami tertawa lebar, meski masih dalam keadaan ingin menjahili keduanya.

Bagaimana tidak, sebagai sahabat, kami tak jarang bersikap usil untuk setiap teman yang punya pasangan, termasuk untuk keduanya. Berdalih verifikasi pasangan, kami menjahili pasangan atau bahkan yang masih dalam tahap odo'-odo' (gebetan). Saya pun pernah di posisi sebagai korban.

Hanya saja, keduanya selalu bergeming. Alih-alih berharap keduanya bertengkar, mereka justru adem-ayem dan baik-baik saja. Hingga suatu waktu, kami harus menyerah pada tahap "verifikasi" kurang ajar itu. Barangkali, karena keduanya sudah menjalin tali kasih yang begitu lama, maka tahan terhadap segala cobaan dan ujian. Begitu pikir saya (dan teman-teman). Alhasil, perempuan itu mulai terbiasa dengan kekonyolan kami.

Kenyataannya, roda nasib tak ada yang pernah bisa menebak. Sekuat apapun sang wanita menunggui lelakinya, Tuhan justru membalikkan segala bayangan indahnya. Selantang apapun ia menolak pinangan lelaki lain, kekasihnya justru terkungkung dalam perjodohannya sendiri. Pilar usia pacaran yang bertahun-tahun lamanya harus runtuh karena: perjodohan.

"Entahlah. Saat saya dijodohkan pun, saya masih bisa memilih sendiri. Tetapi, dia, justru tak bisa atau mungkin tak mau menolak. Entahlah, kemana komitmennya sebagai lelaki, yang seharusnya lebih punya keberanian,"

Soal komitmen, nampaknya setiap lelaki punya ukurannya masing-masing. Entah janji seperti apa yang pernah dilontarkan pada kekasih. Barangkali, orang tua sahabat saya itu punya kapasitas lebih besar dalam hal pemilihan pasangan anaknya. Meski kata teman perempuan itu, perjodohan kekasihnya bukan sesuatu yang dipaksakan. Dalam artian, sebenaenya masih bisa dinego oleh lelakinya.

Saya juga tak bisa menyalahkan jika ia tak mampu membela diri di depan kedua orang tuanya atas perjodohan itu. Status "lelaki" bukan jaminan bisa tegas atas pendirian pribadi. Ada beberapa orang yang tak mampu sekadar membela diri di hadapan orang tuanya. Akh, jangan bandingkan dengan saya yang kerap kali masih keras kepala di hadapan bapak.

Apapun pertimbangannya, lepasnya masa kasih yang dirangkai bertahun-tahun itu patut disesalkan. Saya harus mengakui, menunggui orang yang salah, masih lebih nyaman, ketimbang menunggui orang yang benar tapi menyalahi keinginannya sendiri. Keduanya sama-sama tak enak. Akan tetapi, paling tidak, pilihan pertama tadi tak membumbungkan "harapan palsu".

***

Jodoh dan bodoh sebenarnya sangat berdekatan. Hanya berbeda satu huruf. Demi mengejar jodoh, kita rela berlaku bodoh. Padahal sejatinya kita memang benar-benar bodoh karena tak pernah menyadari bahwa jodoh bukan hitung-hitungan waktu dan usia. Sepanjang apapun usia pacaran, toh, kenyataannya tak menjamin bermuara pada impian yang sama.

Ada pula perempuan-perempuan menunggui lelakinya. Katanya, si lelaki akan datang dengan janji ijab kabul di depan penghulu. Jaminannya adalah usia pacaran mereka yang dijalani selama bertahun-tahun. Hasilnya? Keluarga si perempuan ternyata telah menerima pinangan lelaki lain yang lebih mapan. Karena tuntutan adat dan adab. Untuk contoh satu ini, lelaki malang yang pernah mengalaminya, hanya berjarak satu sekat dinding dengan kamar saya.

Mendengar kisah-kisah seperti itu, saya hanya bisa bersyukur tak pernah merasainya. Kata teman, saya beruntung tak pernah berpacaran lama seumur skripsi mahasiswa bandel yang tak kelar-kelar. Padahal, saya terkadang berharap bisa melampiaskan segala keluh-kesah pada perempuan tersayang. Giliran ada, malah mitos itu membayang-bayangi. Hahaha....

Bukankah sungguh mendamaikan, menikmati raut wajah dan senyum perempuan terkasih yang tulus mengembang di kala penat sedang bertandang?

Menikah? Duh, saya masih harus belajar menjadi lelaki bertanggung jawab dan memegang komitmen di hadapan kedua orang tuanya. Siapa pun perempuan itu.


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

1 comments