Singkat dan Nekat

Desember 15, 2016

Baca Juga


Saya seharusnya telah tertidur sejak tadi. Sepulang dari tugu kota, saya sudah diantarkan Fathir dan Anti di kost seorang teman lainnya, Aprisal. Adik kelas saya itu menjadi alternatif untuk menghabiskan waktu istirahat semalam di Jogja.

"Jadi mau kemana saja besok, Kak?" tanya Aprisal di sela-sela kantuknya. Kamarnya juga masih kosong.

Belum ada perlengkapan seperti anak-anak kost pada umumnya. Usianya sebagai penduduk kota Jogja masih belum genap sebulan. Keesokan harinya, dia harus menghadiri absensi pertamanya sebagai mahasiswa Magister.

"Menurutmu, kemana bagusnya?"

"Wah, kalau saya malah ndak tahu, Kak. Saya belum genap sebulan disini. Belum sempat kemana-mana, cuma di kost saja," akunya.

"Yah, tanya Google saja lah. Lagipula adami juga motornya Anti na titip. Biar sendiri juga, ndak masalah lah," ujar saya kemudian.


Senja di kota Jogja (Foto: Imam Rahmanto)

***

Rencana biasanya berubah tak terduga. Seorang teman sekelas di kampus dulu, Rahman ternyata berada di kota yang sama. Saya baru tahu, ternyata dia melanjutkan kuliah magisternya di universitas tertua disana. Berbekal beasiswa LPDP. Jadilah, saya berdua menyusuri beberapa tempat di kota Jogja dengannya.

Akan tetapi, jangan berpikir jika teman saya satu ini juga melintasi banyak jalan seperti penduduk pribumi. Nyatanya, kami menysuri kota masih dengan bekal Google Map.

"Yah, di depan belok kiri. Eh, salah, harusnya tadi, lorong pertama sebelumnya," berkali-kali saya harus rangkap sebagai navigator.

"Bagaimana sih caramu lihat peta?" kesalnya jika sudah salah jalan. Kami hanya balas tertawa satu sama lain.

Saya tetap menikmatinya. Ketidaktahuan kami justru berbuah hal-hal konyol di kota itu. Tempat-tempat, yang juga belum pernah dikunjunginya sebagai "senior" kota itu.

Museum lukis Affandi jadi tujuan kami saat mendapati studio Upside Down World Jogja masih tutup di pagi hari. Di media sosial, saya sebenarnya mendapati salah satu ajang foto-foto itu lagi nge-hits. Sayangnya, studio yang berada di sekitar jalur Ring Road itu baru buka di atas pukul sepuluh.

Galeri lukisan yang saya kunjungi itu cukup memikat. Saya menyempatkan diri untuk menyimpan beberapa bahan cerita dan obrolan untuk dijadikan sebagai naskah berita. Selain berniat jalan-jalan, saya bisa "menyelam sambil minum air". Tak ada tuntutan, namun jadi sebuah kebutuhan.

Sebagai seorang Bibliophile, toko buku adalah tempat wajib yang harus saya kunjungi di mana saja. Apalagi Jogja, yang terkenal dengan stok buku-bukunya untuk mahasiswa. Saya menyambangi dua tempat, yang salah satunya tak jauh beda dengan toko buku kebanyakan. Sementara satunya lagi, di Shopping Center, benar-benar memanjakan gairah berbelanja buku. Jika butuh buku terbitan lama, pusat penjualan buku di dekat Taman Pintar itu bisa jadi pilihan utama. Meski kualitasnya KW, paling tidak bisa menambal beberapa edisi buku yang tak lagi diterbitkan zaman sekarang.

Jogja yang identik dengan Malioboro, juga tak luput dari kunjungan kami. Untuk daerah ini, kami tak memerlukan Google Map. Rahman sudah sangat paham dengan lokasi pusat perbelanjaan dan oleh-oleh itu. Sepanjang jalan beraspal, delman juga ramai berjejer menandakan banyak wisatawan asing yang ingin meinkamti kota Jogja dengan perlahan. Untuk menuntaskan

Tujuan terakhir, kami berkunjung ke Prambanan. Itu di penghujung waktu. Selain Rahman, Anti dan Aprisal juga menyempatkan diri menikmati senja dari sana. Dengan sedikit paksaan, Aprisal yang sempat ingin "mager" di kamar kost, akhirnya mengiyakan ajakan seniornya.

"Saya juga tak tahu dimana itu Prambanan," kata Aprisal.

"Gampanglah. Kan sudah ada petanya. Katanya Anti juga, lokasi sudah kelihatan dari jalan poros," jawab saya.

Dan benar saja, kami sudah disuguhi puncak salah satu candi dari jalan poros. Meski jadwal buka candi hanya sampai pukul tiga sore, kami tetap saja diperkenankan masuk. Sebelum pukul enam, semua wisatawan sudah wajib keluar. "Tak apalah. Pas. Karena pesawat saya take off jam 6," gumam saya dalam hati.

Travel Jogja#01

***


Saya beruntung dikelilingi banyak orang baik di setiap perjalanan. Beberapa orang yang dikenal sejak di Makassar, atau orang-orang hanya menemukan keakraban lewat percakapan dunia maya.

Saya juga seharusnya berterima kasih kepada teman-teman yang tak pernah lelah direpotkan selama di kota-kota asing, termasuk Jogja. Bagaimana kami harus berkejaran waktu memburu waktu boarding pesawat, lantaran terlalu menikmati pengalaman pertama di Candi Prambanan. Ujung-ujungnya ternyata pesawat mengalami delay.

Teman-teman saya sampai harus mengorbankan badan mereka kuyup sesampai di kost. Barangkali, waktu mengerjakan tugas kuliah juga dikorbankan hanya demi "tamu" seperti saya.

Saya perlahan memahami, merencanakan perjalanan adalah hal yang mesti diprioritaskan sebelum melakukan perjalanan itu sendiri. Tanpanya, apa yang diidam-idamkan mungkin sulit terlaksana. Lebih baik gagal mewujudkan rencana, ketimbang sama sekali tak menyusun rencana. Kata tetua bijak, orang yang gagal merencanakan sudah pasti gagal mewujudkan.

Padahal, saya sendiri saban hari selalu berhadapan dengan planning, planning, dan planning. Liputan, harus direncanakan dengan sangat baik. Itu yang saya pelajari dari pekerjaan sebagai kuli tinta, sejak masa mahasiswa. Tentunya selain belajar arti disiplin dan deadline.

Saya tak pernah menyusun rencana begitu mendetail untuk perjalanan #Onedaytrip di Jogja, tempo hari. Satu hari itu, hanya dibekali pengetahuan asal caplok dari dunia maya. Toh, saya benar-benar masih hijau di kota istimewa itu.

Terlepas dari itu, saya justru semakin excited untuk menyambangi banyak tempat di negeri ini. Ada banyak (tantangan) perjalanan yang bisa membuat saya selalu menyunggingkan senyum. Kenyataannya, saya masih terikat di kota itu. Sebulan berikutnya, saya kembali datang dengan lebih banyak titik jelajah (meski hanya untuk penugasan liputan).

Akan tetapi, beberapa hal yang berentetan itu semakin membuat saya yakin akan perjalanan-perjalanan berikutnya. Jauh dan semakin jauh. Baru dan semakin baru. Bisa jadi ke luar negeri (yang sudah lama saya inginkan). Maka tak heran jika saya akhirnya memutuskan untuk membuat paspor. Tak peduli arah angin akan membawa kemana...





--Imam Rahmanto--


Ps: Sebenarnya saya ingin meluangkan banyak waktu untuk bercerita segala hal tentang Jogja. Nyatanya, waktu terus berjalan dan membuat saya terperangkap dalam kisah-kisah itu. Di sisi lain, saya punya banyak hal lainnya di kepala yang ingin dipulangkan pada "rumah" tersayang ini. 

You Might Also Like

0 comments