Putaran Peran
Desember 27, 2016Baca Juga
Di kantor kami, anak-anak baru sudah mulai bertugas. Mereka adalah wajah-wajah yang masih menyiratkan senyum penasaran. Segar bin cemerlang. Sebagian besar tak terpaut jauh dari usia saya.
Saya kerap berjumpa dengan mereka yang jumlahnya dua kali lipat dari angkatan saya. Datang ke kantor. Menunggu panggilan koreksi redaktur. Menunggui rapat. Duduk berkumpul sesuai desk masing-masing. Diam menyimak arahan dan proses rapat dengan redaktur. Menerima tugas. Pulang ke rumah. Berharap esok pekerjaan tidak lebih sulit.
Mereka seperti kami, setahun silam. Berbekal mimpi untuk menjadi seorang wartawan. Meski sebagian hanya menjadikannya alternatif pengganjal perut, karena pekerjaan yang diidamkan tak kunjung datang. Setidaknya, ada jawaban atas pertanyaan di kampung yang selalu menyambar gengsi, "Kamu kerja apa?"
Diantara teman-teman saya pun, banyak yang memendam latar belakang semacam itu. Hanya saja, seiring waktu, mereka merasai bahwa pekerjaan mengepul berita tak semiris yang selalu terlihat. Sebagian lagi, berhenti karena sudah menemukan pekerjaan yang lebih menebalkan saku celana.
Seperti saya dulu, mereka juga masih menyimpan banyak pertanyaan di kepala.
"Saya sudah menemuinya. Katanya......."
"Bagaimana caranya......"
"Kak, apa maksudnya kalau istilah seeded?"
"Siapa yang bisa ditemui...."
Telinga saya didengungi berbagai macam keluhan dan pertanyaan silih berganti. Komunikasi via pesan instan juga masih ramai seminggu belakangan. Di posisi itu, tentu saja mereka masih butuh banyak bimbingan. Tak mudah menjalani keseharian yang harus ikut menyisipkan orang-orang baru dalam daftar kenalan di kepala kita. Siapa tahu pula menjadi kenangan.
Kehidupan memang senantiasa terus berputar, ya. Tetapi, bukan dalam putaran roda yang berulang, berkenaan nasib baik atau nasib buruk. Bukan tentang adagium yang sudah sering beredar, "Ada kalanya kita di atas (beruntung), ada kalanya kita berada di bawah (sial)."
Bagi saya, ada putaran yang berbeda. Ini tentang putaran yang terus maju dan bergerak lantang mempertanyakan apa peran diri sendiri.
Kalau saya pernah menjadi "adik" dari kakak senior di media, kini saya jadi "kakak" senior buat adik-adik baru. Kalau saya pernah banyak pertanyaan, saya kini punya banyak persiapan jawaban. Kalau saya pernah takut-takut ditegur karena bahan naskah yang kurang, kok sekarang giliran saya yang tak segan menegur kekurangan naskah mereka. Kalau saya pernah ditawari boncengan menuju kantor, saya sudah seharusnya beralih menawarkan boncengan untuk orang lain.
Itu juga terjadi sebagai siklus kehidupan. Semasa kecil, kita selalu mengharapkan perlindungan dari bapak. Kelak, kita bakal lebih dewasa untuk mengayomi anak sendiri. Mamak pernah menjadi tempat kita merengek meminta uang jajan. Kini, tak ada lagi rengekan untuk meminta. Kita justru tak perlu banyak alasan untuk memberikan apa saja yang dibutuhkan mamak dan adik.
Segalanya berputar dan terus berjalan. Pun usia. Ibarat roda sepeda, kan? Dikayuh dan berputar. Hanya saja, sepeda tak pernah berada di tempat yang sama. Rodanya berputar, yang tentu akan bergerak meninggalkan tempatnya. Entah dikayuh maju atau mundur.
Suatu masa sebagai wartawan kampus, saya pernah begitu jengkel dengan perangai para senior. Seolah tak pernah ada bagian yang benar pada pekerjaan kami. Selalu berujung gerutu dan serapah. Saya pun berharap tak pernah berada di posisi mereka yang selalu menjadi hal yang patut kami takuti.
"Kelak, kalau jadi senior, saya tak mau seperti mereka," begitu gumam saya.
Nyatanya, roda terus berputar maju. Peran-peran memang silih berganti. Senior kami yang dulunya menjadi "momok" sudah tak pernah lagi mengurusi adik-adiknya. Perannya berubah. Berganti kami, sebagai senior untuk adik-adik yang baru.
Sebagian dari kami, tanpa sadar, mengubah peran layaknya orang yang kami benci. Tentu saja, sepertinya, kami yang menjadi bahan perbincangan (dan keluhan) mereka di balik layar. Seperti yang kami lakukan dulu untuk mengobati kekesalan dengan menumpahkan semuanya tanpa ampun. Tanpa sepengetahuan senior tentunya.
Akh, terkadang kita memang tanpa sadar mengayuh kehidupan ke arah yang seharusnya dihindari.
Bukankah kehidupan memang seperti itu? Terus berputar tanpa pernah mengulang momen. Hanya kejadian yang nyaris serupa. "Rasa" kenangan juga tak pernah bisa kembali, meskipun dalam kejadian yang sama.
Saat kita bertindak sebagai diri kita di momen ini, waktu akan membekap dan membawa kita terus menjauh dan bepergian. Sebagian hal ikut berubah. Hal baru adalah bagian penting dari perubahan itu. Kita hanya perlu menyadari tujuan sepeda yang sedang dikayuh. Baik atau buruk kah, peran kita di masa mendatang. Berguna atau sia-sia belaka.
--Imam Rahmanto--
0 comments