Puasa Keluarga
Juni 05, 2016Baca Juga
Saya nampaknya bakal menjalani puasa pertama dengan bapak, mamak, dan adik. Ini termasuk langka. Karena semenjak hidup di Makassar, saya kerap hanya bisa menitip salam dan sahur. Beberapa tahun bahkan harus merasai berlebaran tanpa sajian rumah tinggal.
Puasa pertama bukan di rumah. Saya justru jauh dari rumah, sejam perjalanan berkendara ke arah utara. Dikelilingi orang-orang yang sedang mempertahankan hidup. Berbaur dengan aroma alkohol dan jarum suntik. Termasuk bapak, yang beberapa hari lalu mesti dirujuk ke rumah sakit kabupaten tetangga, Tana Toraja.
"Bapakmu dirujuk ke rumah sakit. Kamu pulang ya," ucap mamak dari ujung telepon. Suaranya ditingkahi ribut-ribut para pengantar pasien di koridor rumah sakit. Nama di layar telepon menunjukkan tetangga yang sudah mengantarkan bapak bersama mamak ke rumah sakit.
"Iya, Mak. Saya usahakan," jawab saya agak berat. Beberapa hal di kepala membuat saya terlalu logis mempertimbangkan segala sesuatu.
Tugas kantor yang menumpuk, karena beban lapangan bertambah. Memulai Juni kemarin, saya ditunjuk untuk membantu rubrik halaman lainnya; IT. Ada perasaan "tak enak" meninggalkan pekerjaan yang diamanahkan kepada saya baru beberapa hari jika harus meminta izin pulang ke rumah. Saya sebenarnya terbiasa "fokus" pada tugas-tugas semacam itu. Sejak dulu, hal semacam itu bahkan lebih prioritas ketimbang panggilan rumah.
Entahlah, sesuatu memang sedang salah. Padahal, di film-film, saya sendiri benci melihat karakter seorang ayah yang lebih mementingkan pekerjaan dibanding waktu bersama istri dan anaknya. Sebanyak apapun harta yang dimilikinya. Kelak, saya tak ingin menjelma demikian. Berbenahlah, diri.
Akan tetapi, tiba harinya, saya tetap mengencangkan harapan untuk pulang. Ini juga sebagai penebusan atas kesalahan-kesalahan di masa silam. Saya tak begitu peduli lagi dengan fokus pekerjaan di kantor. Ditambah, libur juga termasuk hal langka dalam setahun kaki saya menginjakkan dunia kerja. "Kedua orang tua tak butuh uangmu. Mereka hanya butuh waktumu."
Segala sesuatu tentang keluarga, seolah mendapat restu dari siapa saja. Semua mengamini, keluarga yang terpenting. Redaktur di kantor tak butuh mengerutkan keningnya untuk memberikan izin pulang ke rumah. Kapan harus kembali, hanya diungkapkan pula seadanya. "Komunikasi saja kalau sudah bisa kembali," katanya.
"Yah, kalau tentang orang tua, sudah tak bisa diganggu gugat lagi," tandas seorang teman di waktu yang berbeda. Ia hendak mengajak untuk hadir di acara pelaporan penghujung kepengurusan lembaga pers kampus kami.
Saya juga terpaksa tak bisa melihat adik-adik di lembaga pers kampus mengakhiri kepengurusannya. Tak bisa lagi melihat wajah-wajah dewasa berderai air mata. Tentu, ada suara helaan napas lega melepas beban yang dipikul setahun. Sukses atau tidak, ada proses pendewasaan di dalamnya.
Akh ya, saya terngiang-ngiang kejadian tiga tahun kemarin. Seolah deja vu. Kejadian yang sama persis dengan panggilan mamak di ujung telepon. Tepat ketika bapak pertama kali mendapatkan penyakit yang hingga kini berlabuh padanya. Tepat pula ketika beberapa hari menjelang akhir kepengurusan saya sebagai pengelola di lembaga pers itu. Gamang pula yang menghampiri saya.
Kalau bukan seperti ini, mungkin pikiran-pikiran logis saya masih banyak menyusun pertimbangan. Karena waktu berkumpul bersama keluarga, terasa sangat mahal bagi segala kesibukan. Skenario dadakan sudah dipersiapkan Tuhan agar otak kiri tak perlu lagi meramu banyak alasan. Barangkali seperti itu.
Biarlah puasa pertama jadi kebahagiaan bagi kedua orang tua. Anaknya yang bebal dan keras kepala sudah pulang. Ia siap menyerah sebelum dirangkul kesibukan beberapa hari ke depan. Pun, sebelum ia tak ingat lagi siapa dirinya.
Selamat berpuasa di hari-hari Ramadhan. Berdoalah, kita tak lebih buruk dibanding Ramadhan kemarin.
Puasa pertama bukan di rumah. Saya justru jauh dari rumah, sejam perjalanan berkendara ke arah utara. Dikelilingi orang-orang yang sedang mempertahankan hidup. Berbaur dengan aroma alkohol dan jarum suntik. Termasuk bapak, yang beberapa hari lalu mesti dirujuk ke rumah sakit kabupaten tetangga, Tana Toraja.
"Bapakmu dirujuk ke rumah sakit. Kamu pulang ya," ucap mamak dari ujung telepon. Suaranya ditingkahi ribut-ribut para pengantar pasien di koridor rumah sakit. Nama di layar telepon menunjukkan tetangga yang sudah mengantarkan bapak bersama mamak ke rumah sakit.
"Iya, Mak. Saya usahakan," jawab saya agak berat. Beberapa hal di kepala membuat saya terlalu logis mempertimbangkan segala sesuatu.
Tugas kantor yang menumpuk, karena beban lapangan bertambah. Memulai Juni kemarin, saya ditunjuk untuk membantu rubrik halaman lainnya; IT. Ada perasaan "tak enak" meninggalkan pekerjaan yang diamanahkan kepada saya baru beberapa hari jika harus meminta izin pulang ke rumah. Saya sebenarnya terbiasa "fokus" pada tugas-tugas semacam itu. Sejak dulu, hal semacam itu bahkan lebih prioritas ketimbang panggilan rumah.
Entahlah, sesuatu memang sedang salah. Padahal, di film-film, saya sendiri benci melihat karakter seorang ayah yang lebih mementingkan pekerjaan dibanding waktu bersama istri dan anaknya. Sebanyak apapun harta yang dimilikinya. Kelak, saya tak ingin menjelma demikian. Berbenahlah, diri.
Akan tetapi, tiba harinya, saya tetap mengencangkan harapan untuk pulang. Ini juga sebagai penebusan atas kesalahan-kesalahan di masa silam. Saya tak begitu peduli lagi dengan fokus pekerjaan di kantor. Ditambah, libur juga termasuk hal langka dalam setahun kaki saya menginjakkan dunia kerja. "Kedua orang tua tak butuh uangmu. Mereka hanya butuh waktumu."
Segala sesuatu tentang keluarga, seolah mendapat restu dari siapa saja. Semua mengamini, keluarga yang terpenting. Redaktur di kantor tak butuh mengerutkan keningnya untuk memberikan izin pulang ke rumah. Kapan harus kembali, hanya diungkapkan pula seadanya. "Komunikasi saja kalau sudah bisa kembali," katanya.
"Yah, kalau tentang orang tua, sudah tak bisa diganggu gugat lagi," tandas seorang teman di waktu yang berbeda. Ia hendak mengajak untuk hadir di acara pelaporan penghujung kepengurusan lembaga pers kampus kami.
Saya juga terpaksa tak bisa melihat adik-adik di lembaga pers kampus mengakhiri kepengurusannya. Tak bisa lagi melihat wajah-wajah dewasa berderai air mata. Tentu, ada suara helaan napas lega melepas beban yang dipikul setahun. Sukses atau tidak, ada proses pendewasaan di dalamnya.
Akh ya, saya terngiang-ngiang kejadian tiga tahun kemarin. Seolah deja vu. Kejadian yang sama persis dengan panggilan mamak di ujung telepon. Tepat ketika bapak pertama kali mendapatkan penyakit yang hingga kini berlabuh padanya. Tepat pula ketika beberapa hari menjelang akhir kepengurusan saya sebagai pengelola di lembaga pers itu. Gamang pula yang menghampiri saya.
Kalau bukan seperti ini, mungkin pikiran-pikiran logis saya masih banyak menyusun pertimbangan. Karena waktu berkumpul bersama keluarga, terasa sangat mahal bagi segala kesibukan. Skenario dadakan sudah dipersiapkan Tuhan agar otak kiri tak perlu lagi meramu banyak alasan. Barangkali seperti itu.
Biarlah puasa pertama jadi kebahagiaan bagi kedua orang tua. Anaknya yang bebal dan keras kepala sudah pulang. Ia siap menyerah sebelum dirangkul kesibukan beberapa hari ke depan. Pun, sebelum ia tak ingat lagi siapa dirinya.
Selamat berpuasa di hari-hari Ramadhan. Berdoalah, kita tak lebih buruk dibanding Ramadhan kemarin.
--Imam Rahmanto--
0 comments