Cobaan

Juni 08, 2016

Baca Juga

Saya tak punya banyak kesempatan berpetualang di masa sekolah dulu. Bukan tak mau. Bapak terlalu protektif pada anak sulungnya. Meski teman-teman sepantaran saya sudah bepergian kemana-mana, lintas kabupaten sekalipun, bapak masih menegaskan teritori tertentu. Saya cukup menjadi pendengar yang baik saat teman-teman puas bercerita pengalaman berkendara ke kota, waswas ditilang polisi, ngebut di tikungan, hingga merasai jalanan ke wisata pemandian Lewaja.

Bapak tak pernah mengizinkan saya pergi jauh-jauh. Pandai menggeber motor, jarak tempuh terbanyak hanya seputar sekolah dan rumah teman. Seingat saya, jarak terjauh mungkin bisa dicapai jika bulan Ramadan tiba. Usai shalat Subuh, saya biasa mencari hiburan ke desa yang berada di puncak pegunungan. Tentu, beramai-ramai bersama anak remaja lainnya.

"Kamu belum punya SIM, awas ditahan polisi," ancam bapak selalu. Polisi terkadang jadi momok bagi anak remaja seperti kami.

Jelang memasuki dunia perkuliahan, bapak baru merestui urusan SIM saya. Saat itulah saya baru punya kebebasan menjelajah kesana-kemari, tanpa takut ditegur atau dimarahi orang tua. Tetapi, masih sebatas kota Makassar saja. Akh, masa kuliah memang selalu menjadi "pelarian" sekaligus pembebasan bagi anak remaja kampung seperti kami.

Barangkali dari sanalah jiwa jelajah saya terbentuk. Lama dikerangkeng, begitu penasaran dengan dunia luar. Banyak hal yang menurut saya butuh ditapaki.

Mata selalu terasa nyaman melihat tempat-tempat baru. Darah saya berdesir, seperti orang yang pertama kali jatuh cinta. Bahasa-bahasa baru terasa cukup menggelikan sekaligus menyenangkan.

Sejauh ini, Tana Toraja termasuk daerah baru bagi saya. Dalam ingatan, saya pernah ke tempat seribu tongkonan ini. Namun itu sudah terlampau silam. Ingatan tentangnya sudah suram. Pertama, liburan ke Londa dan Wai Makula bersama teman sekelas merayakan kelulusan SD. Kedua, dirujuk ke RSUD Lakipadada gegara kecelakaan motor.

Sebenarnya, jarak Tana Toraja (Tator) tak begitu jauh dari rumah. Perbatasannya di arah utara Enrekang hanya memakan waktu 5-10 menit. Sebagian teman-teman SMA saya bahkan berdomisili disana. Sesekali saya pernah main ke rumah mereka.

Di benak saya hanya terpaut tentang jalanan lurus dan besar ke arah utara. Tak jauh berbeda dengan jalanan ke ibukota kabupaten Enrekang. Meski sempat kesasar di beberapa percabangan jalan, saya terbantu Google Map yang menunjukkan lokasi rumah sakit. Sayang, tujuan saya ke Tana Toraja bukan untuk liburan...

***

RSUD Lakipadada. (ImamR)
Ramadan disini terasa begitu sepi. Nuansanya tak jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Tak usah berharap mendengarkan suara muadzin berkumandang di lima waktu. Mayoritas penduduk non-muslim. Jumlah masjid tak lebih banyak dibanding cabang-cabang jalan porosnya.

Untuk tahu kapan waktu sahur atau berbuka, hanya bisa memanfaatkan angka 1-12 di pergelangan tangan. Bagi yang lebih lihai, bisa pakai jalur terbenamnya matahari. Atau ingin lebih modern dan simple? Cukup amati timeline status di media sosial terdekat semisal BBM. Kata-kata bernada "Alhamdulillah" yang tampil beruntun sudah mewakili waktu membatalkan puasa.

Sebagian besar warung makanan juga masih beroperasi sebagaimana biasanya. Tak tanggung-tanggung, makanan yang ditawarkan juga kerap membuat air liur menetes. Bakso dari binatang berhidung datar dihalalkan disini. Plang tiap warung terang-terangan menunjukkan salah satu menu andalan itu.

Akan tetapi, suasana seperti itu seharusnya memberikan "tantangan khusus" bagi umat muslim yang sedang berpuasa. Toleransi tetap berjalan. Karena puasa bukan sekadar menahan lapar. Bukankah puasa adalah soal bagaimana menahan godaan dan menjaga hawa nafsu? Semakin banyak tantangan, semakin tinggi tingkat keimanan seseorang di mata Tuhan.

Kalau kita berpuasa, tak selalu harus dihormati dengan cara menghindari orang-orang yang tak berpuasa. Hingga mereka yang tak berpuasa justru merasa sungkan. "Maaf, saya makan disini." Menunjukkan seolah-olah kita minta dikasihani karena sedang berpuasa.

Di kota-kota besar, banyak yang protes jika warung makan tutup. Mereka menganggap tak dihargai jika sedang berpuasa. Ormas agama juga berbondong-bondong menutup THM demi lancarnya berpuasa. Katanya, mengundang syahwat. Lantas, apa gunanya puasa jika dijalani hanya sekadar menahan lapar tanpa cobaan atau godaan?

Wajar jikalau siapa saja bisa berpuasa 30 hari dengan resiko penambahan berat badan. Semua godaan kan diberangus.
Seolah jalan tol yang mulus tanpa hiasan perbukitan di tepiannya.

Di bangsal rumah sakit Tana Toraja ini, penghuni saling menghormati. Beberapa pasien merupakan penduduk asli. Lainnya lagi, penduduk yang tetap memeluk agama Islam. Reminder sahur hanya berbekal alarm. Makanan seadanya, tanpa hidangan olahan dapur. Sekali-kali cukup menyeduh mie instan. Yah, itu pun patut disyukuri. Saya masih bisa bersama keluarga.

Semoga kesulitan semacam itu yang seyogyanya membuat kita jadi kuat. Tanpa tantangan, orang-orang takkan berlapang dada. Cobaan di bulan berpuasa, mudah-mudahan Tuhan punya skenario terbaik.

--Imam Rahmanto--


PS: 
Saya kembali ke Makassar, membuntuti bapak yang dirujuk ke rumah sakit kota. Entah berapa lama kami harus bertahan dalam kondisi ini. Entah berapa banyak lagi doa-doa mesti dipanjatkan. Aduh, tulisan saya sedang berputar-putar seperti kepala pemiliknya.

You Might Also Like

0 comments