Kesempurnaan Acak
Juni 13, 2016Baca Juga
Kerjaan iseng. (Imam Rahmanto) |
Kesenangan menggambar itu hanya sebatas hobi. Seperti halnya memetik gitar, saya tak pernah benar-benar ingin mendalaminya. Apalagi menjadikan sebagai lumbung penghasilan. Bagi saya, hobi yang beraneka ragam itu cuma untuk penghilang penat atau pengisi kekosongan. Di lain kesempatan, saya juga senang menjajal keterampilan lain.
Doodle, sebenarnya bukan hal baru. Saya mengenalnya hampir setahun lalu. Berawal dari rasa penasaran, didukung hadiah pena gambar dari seorang kakak senior, hingga mencoba-coba sendiri gambarnya di atas kertas.
Karena masih amatir, satu gambar baru bisa rampung dalam rentang waktu sejam. Bisa dua jam, kalau banyak objek tiruan. Oh ya, saya mempelajari doodle dengan meniru objek-objek doodle lainnya. Beberapa elemen kecil saya gabungkan dalam gambar buatan sendiri. Dari beberapa objek yang saya comot, mereka saling melengkapi menjadi satu gambar utuh meski penempatannya juga secara acak.
Jikalau butuh objek gambar yang lebih "real", saya akan mencarinya dari gambar-gambar kartun lain. Imajinasi saya masih belum sampai pada tahap advance untuk mengimbangi para doodler maupun kartunis sebenarnya.
Gambar saya sih tak sempurna banget seperti aslinya. Akan tetapi, saya tetap puas. Karena sebuah doodle tak butuh gambar yang sempurna. Gambar yang sempurna justru bukan doodle namanya. Bisa jadi malah kartun, karikatur atau justru menjelma lukisan. Doodle hanya butuh keramaian, keunikan, atau kelucuannya tersendiri.
Oiya, ternyata perihal jodoh juga berlaku demikian (ehh??). Tak butuh kesempurnaan. Sempurna yang hakiki justru datang dari penerimaan atas ketaksempurnaan itu. Toh, tak ada yang namanya sempurna. Bukankah kesempurnaan datang dari perasaan saling melengkapi?
Baru-baru ini saya mendapati sebuah anekdot yang cukup mengena, "Kalau sama, kita hanya bisa saling berbagi. Tetapi kalau berbeda, maka kita bisa saling melengkapi."
"Bulan puasa ini kok bikin Kak Imam jadi baper ya? Statusnya (BBM) kalau bukan tentang mantan, asmara, pasti tentang jodoh," seorang teman bertanya.
Hahaha...masa iya?? Jadi tak sadar. Mungkin jodoh saya sudah setengah jalan. #duh, tepok jidat.
***
Menggerakkan pena di atas kertas memang dipercaya sebagai terapi psikologis atau mental. Orang-orang mempercayai, tulisan atau gambar (memakai) tangan lebih sering menyembuhkan perasaan. Informasi-informasi tertulis juga lebih mudah ditransfer ke ingatan. Pun, hanya sebatas kegiatan mengarsir atau mewarnai.
Dalam pekerjaan lapangan, saya justru menemui para wartawan media sebesar Kompas masih sering menggunakan blognote dalam kegiatan wawancaranya. Selain merekam pakai handphone, tangan mereka juga ikut lincah menulis manual di atas blognote tipis itu.
Dan, cobalah diingat-ingat, kapan terakhir kalinya kita mengguratkan tulisan di atas kertas??
Akh, jadi rindu dengan tulisan tangan saya.
--Imam Rahmanto--
0 comments