Takut
Mei 30, 2016Baca Juga
"Kamu tahu, apa musuh terbesar dalam hidupmu?"
"Kebencian?"
"Bukan. Ada hal yang lebih besar dari itu dan justru melahirkan hal-hal yang salah satunya kebencian,"
"Apa itu?"
"Ketakutan-ketakutan yang dikebiri dalam labirin otakmu"
Sejenak lalu, saya menjumpai ketakutan-ketakutan itu...
Dentum bass memekakkan telinga. Mata mencari cahaya dalam keremangan. Suara tawa terkadang berganti dengan desahan. Berbotol-botol minuman yang beralkohol dihadapkan pada gelas yang lebih banyak menyisakan aroma rokok.
Dalam keremangan, gadis-gadis tak tahu caranya berpakaian seluruh badan. Gelora birahi seolah tak ingin bertuan. Melonjak coba mempengaruhi iman.
"Ayo dong, Mam. Minum segelas saja," seorang teman menyodori saya minuman bir. Sembari tertawa bersama teman-teman lainnya. Padahal ia tidak sedang mabuk. Belakangan saya baru tahu ketahanannya dengan minuman keras memang sungguh pantas diadu.
Saya menolak halus. "Duh, dokter melarang saya. Tidak boleh minum begituan katanya." Di hadapan kami, di atas meja berbentuk lingkaran, sudah tersedia teko tiga liter minuman kuning berbusa.
Saya sedang berada di tempat hiburan malam; diskotik!
Tiga hari kemarin, saya dihadapkan dengan peliputan yang terasa begitu asing. Sejujurnya, bukan hal yang asing bagi saya mengerjakan tugas liputan untuk desk entertainment itu. Bertemu artis dan mewawancarainya adalah hal biasa. Di kasta pembagian liputan, rubrik artis dan konco-konconya justru menjadi yang paling mudah. Kenapa tidak? Hal sesederhana "suka-makan-coto-Makassar" saja bisa jadi bahan berita. Yang namanya artis, mereka sudah punya nilai berita dari unsur ketokohannya.
Hanya saja, tugas itu menjadi berbeda ketika harus dilakoni pada waktu larut malam. Pemilihan waktu yang sebenarnya ingin saya redam dengan tidur di pelukan buku-buku. Ditambah, nuansanya tak lagi semacam konser artis di lapangan terbuka. If you know what I mean, saya terpaksa harus mencicipi dunia malam para DJ dan sosialita untuk pertama kalinya.
"Lah, kamu kan wartawan sport?" tanya seorang teman.
Saya membenarkannya. Akan tetapi, di satu sisi, masing-masing wartawan harus dibekali dengan kemampuan serba bisa". Tentu saja, itu alasan lain di luar karena "tugas dan perintah".
"Besok malam, kamu saja yang liput, ya?" pinta salah seorang redaktur. Tak elok rasanya jika harus menolak penugasan hanya karena perasaan risih. Bisa-bisa penilaian sebagai wartawan militan kian jauh.
Gemerlap dunia malam yang pertama saya temui di Zona Cafe Makassar. Lokasinya sudah sering saya lalui jika ingin bersantai ke Benteng Fort Rotterdam Makassar. Sayangnya, sekelebatan mata saja yang melihat tempat hiburan orang dewasa itu. Betapa eksotik dan remang-remang dunia malam disana yang seharusnya jadi waktu tidur.
Kata teman, sesama wartawan (tetapi lebih berpengalaman di diskotik), tempat clubbing disana memang termasuk tempat paling ramai. Itu lantaran harganya yang menyasar ekonomi menengah. "Lokasinya juga strategis, berdiri sendiri di pinggir jalanan," imbuhnya.
Saya agak was-was memasuki dunia malam semacam itu. Risih juga melihat semua jenis manusia bertebaran disana. Kalau pernah melihat diskotik di film-film, maka suasananya tak jauh beda. Beruntung, ada teman-teman lain yang sudah berpengalaman. Saya sisa mengikuti saja seperlunya.
Baru-baru ini, saya dipertemukan lagi dengan dunia malam semacam itu. Lokasinya di salah satu hotel berbintang lima. Timing-nya bertepatan dengan nonton bareng final Liga Champion. Tidak grogi lagi kok. Sudah terbiasa. Hahahaha....
Takut adalah hal paling manusiawi. Akal terlalu banyak mengolah dampak ketakutan yang bahkan belum tentu akan terjadi, meski hanya untuk proteksi diri.
Seperti halnya Ultron, dalam film Avenger. Ia salah mempersepsikan kecerdasannya mencari solusi untuk kejahatan. Alih-alih membasminya, ia justru ingin menghancurkan umat manusia agar tak ada lagi akar kejahatan. Robot cerdas buatan Tony Stark (Iron Man) ini terlalu "takut" akan masa depan yang sebenarnya belum tentu bakal terjadi. Over protective.
Meski tujuannya baik, ketakutan terkadang menjadi pangkal hal buruk yang cenderung kita alami. Kebencian. Kecemburuan. Apatis. Kemarahan. Kebengisan. Pelit.
Kita takut kehilangan, maka kita menjadi egois. Takut disakiti, maka kita lebih dahulu menyakiti. Takut kekurangan, orang-orang menjadi pelit. Takut bertanggung jawab, maka kita lari dari kenyataan. Takut mencoba hal-hal baru, kita cenderung bersikap apatis. Takut gagal, kita menghalalkan segala cara. Takut dosa, itu baru wajar.
Pun saya, takut terjerumus hal-hal buruk dari tempat yang selalu dianggap ladang kemaksiatan. Toh, kenyataannya, tak ada hal yang menyamai ketakutan di kepala. Saya justru menikmati itu sebagai sebuah pengalaman baru. Meskipun beberapa teman yang hanya melihat sekilas gambar di timeline mulai membangun persepsi seadanya.
Otak memang butuh selalu disegarkan dengan hal-hal baru.
"Kebencian?"
"Bukan. Ada hal yang lebih besar dari itu dan justru melahirkan hal-hal yang salah satunya kebencian,"
"Apa itu?"
"Ketakutan-ketakutan yang dikebiri dalam labirin otakmu"
***
Sejenak lalu, saya menjumpai ketakutan-ketakutan itu...
Dentum bass memekakkan telinga. Mata mencari cahaya dalam keremangan. Suara tawa terkadang berganti dengan desahan. Berbotol-botol minuman yang beralkohol dihadapkan pada gelas yang lebih banyak menyisakan aroma rokok.
Dalam keremangan, gadis-gadis tak tahu caranya berpakaian seluruh badan. Gelora birahi seolah tak ingin bertuan. Melonjak coba mempengaruhi iman.
"Ayo dong, Mam. Minum segelas saja," seorang teman menyodori saya minuman bir. Sembari tertawa bersama teman-teman lainnya. Padahal ia tidak sedang mabuk. Belakangan saya baru tahu ketahanannya dengan minuman keras memang sungguh pantas diadu.
Saya menolak halus. "Duh, dokter melarang saya. Tidak boleh minum begituan katanya." Di hadapan kami, di atas meja berbentuk lingkaran, sudah tersedia teko tiga liter minuman kuning berbusa.
Saya sedang berada di tempat hiburan malam; diskotik!
Zona Cafe. (Imam Rahmanto) |
Tiga hari kemarin, saya dihadapkan dengan peliputan yang terasa begitu asing. Sejujurnya, bukan hal yang asing bagi saya mengerjakan tugas liputan untuk desk entertainment itu. Bertemu artis dan mewawancarainya adalah hal biasa. Di kasta pembagian liputan, rubrik artis dan konco-konconya justru menjadi yang paling mudah. Kenapa tidak? Hal sesederhana "suka-makan-coto-Makassar" saja bisa jadi bahan berita. Yang namanya artis, mereka sudah punya nilai berita dari unsur ketokohannya.
Hanya saja, tugas itu menjadi berbeda ketika harus dilakoni pada waktu larut malam. Pemilihan waktu yang sebenarnya ingin saya redam dengan tidur di pelukan buku-buku. Ditambah, nuansanya tak lagi semacam konser artis di lapangan terbuka. If you know what I mean, saya terpaksa harus mencicipi dunia malam para DJ dan sosialita untuk pertama kalinya.
"Lah, kamu kan wartawan sport?" tanya seorang teman.
Saya membenarkannya. Akan tetapi, di satu sisi, masing-masing wartawan harus dibekali dengan kemampuan serba bisa". Tentu saja, itu alasan lain di luar karena "tugas dan perintah".
"Besok malam, kamu saja yang liput, ya?" pinta salah seorang redaktur. Tak elok rasanya jika harus menolak penugasan hanya karena perasaan risih. Bisa-bisa penilaian sebagai wartawan militan kian jauh.
Gemerlap dunia malam yang pertama saya temui di Zona Cafe Makassar. Lokasinya sudah sering saya lalui jika ingin bersantai ke Benteng Fort Rotterdam Makassar. Sayangnya, sekelebatan mata saja yang melihat tempat hiburan orang dewasa itu. Betapa eksotik dan remang-remang dunia malam disana yang seharusnya jadi waktu tidur.
Kata teman, sesama wartawan (tetapi lebih berpengalaman di diskotik), tempat clubbing disana memang termasuk tempat paling ramai. Itu lantaran harganya yang menyasar ekonomi menengah. "Lokasinya juga strategis, berdiri sendiri di pinggir jalanan," imbuhnya.
Saya agak was-was memasuki dunia malam semacam itu. Risih juga melihat semua jenis manusia bertebaran disana. Kalau pernah melihat diskotik di film-film, maka suasananya tak jauh beda. Beruntung, ada teman-teman lain yang sudah berpengalaman. Saya sisa mengikuti saja seperlunya.
Baru-baru ini, saya dipertemukan lagi dengan dunia malam semacam itu. Lokasinya di salah satu hotel berbintang lima. Timing-nya bertepatan dengan nonton bareng final Liga Champion. Tidak grogi lagi kok. Sudah terbiasa. Hahahaha....
Retro's Club. (Imam Rahmanto) |
***
Takut adalah hal paling manusiawi. Akal terlalu banyak mengolah dampak ketakutan yang bahkan belum tentu akan terjadi, meski hanya untuk proteksi diri.
Seperti halnya Ultron, dalam film Avenger. Ia salah mempersepsikan kecerdasannya mencari solusi untuk kejahatan. Alih-alih membasminya, ia justru ingin menghancurkan umat manusia agar tak ada lagi akar kejahatan. Robot cerdas buatan Tony Stark (Iron Man) ini terlalu "takut" akan masa depan yang sebenarnya belum tentu bakal terjadi. Over protective.
Meski tujuannya baik, ketakutan terkadang menjadi pangkal hal buruk yang cenderung kita alami. Kebencian. Kecemburuan. Apatis. Kemarahan. Kebengisan. Pelit.
Kita takut kehilangan, maka kita menjadi egois. Takut disakiti, maka kita lebih dahulu menyakiti. Takut kekurangan, orang-orang menjadi pelit. Takut bertanggung jawab, maka kita lari dari kenyataan. Takut mencoba hal-hal baru, kita cenderung bersikap apatis. Takut gagal, kita menghalalkan segala cara. Takut dosa, itu baru wajar.
Pun saya, takut terjerumus hal-hal buruk dari tempat yang selalu dianggap ladang kemaksiatan. Toh, kenyataannya, tak ada hal yang menyamai ketakutan di kepala. Saya justru menikmati itu sebagai sebuah pengalaman baru. Meskipun beberapa teman yang hanya melihat sekilas gambar di timeline mulai membangun persepsi seadanya.
Otak memang butuh selalu disegarkan dengan hal-hal baru.
--Imam Rahmanto--
0 comments