Optimisme

Januari 15, 2016

Baca Juga

Saya sedang berada di warkop seperti biasanya. Hujan baru saja mengguyur agak pelan. Gerimis. Sepanjang perjalanan kemari, hujan berlari-lari jatuh ke jalan. Tak sampai 15 menit, ia mereda.

Padahal saya berharap hujan turun lebih deras lagi. Sudah lebih seminggu kota ini memendam rindunya pada hujan. Orang-orang sudah mulai jengah pada terik siang hari. Panasnya membuat emosi yang tertahan bisa meledak berbusa-busa.

Pun, saya. Berharap lebih basah dan kuyup saat tiba di warkop. Mungkin, saat badan terasa menggigil, aroma nikmat kopi asli yang disajikan warung ini bisa terasa lebih nikmat. Salah satu usaha kecil menengah yang terasa merakyat ketimbang Starbucks dan kroni-kroninya.

Di ibukota negeri, orang-orang sedang ramai berbincang tentang kejadian kemarin. Tahukah? Teror kian memanas, yang berawal dari ledakan di kedai kopi itu. Kemarin, kejadian serupa aksi tembak-tembakan di film Hollywood tersaji di depan mata. Penjahat. Polisi. Berlindung. Lemparan granat. Baku tembak. Bom waktu. Darah.

Cari saja di google dan media sosial. Kejadian teror di Jakarta kemarin mulai bising bersiul-siul.

Imbasnya tak hanya di Jakarta. Di kota kami, penjaga keamanan mulai menerapkan siaga satu. Semalam, saat pulang dari redaksi, saya melihat beberapa polisi bersiaga di persimpangan-persimpangan jalan. Di mall, pemeriksaan makin ketat. Tak jarang, polisi mempertontonkan kokangan senjatanya. Anak-anak sekolah bertanya-tanya pada orang dewasa. "Kenapa polisi ramai sekali?"

Ah ya, polemik di negeri kita tak pernah usai. (Belum) hilang satu, tumbuh berganti.

Kelompok teroris menyasar ibukota. Teroris yang katanya bergerak secara internasional. Teroris yang katanya dilandasi perjuangan jihad. Teroris yang katanya umat beragama. Lantas, haruskah mengorbankan nyawa-nyawa tak rimba dosanya? Ketika mencap orang bule sebagai kafir, sesungguhnya sudah sejauh apa pemahaman agama kita? Heran.

Dalam kepala, saya berpikir, darimana pula para pelaku (setanah air) punya pikiran menghabisi nyawa orang lain? Miris memikirkan para pelaku yang tak pandang bulu menyusulkan nyawa pada sang Pencipta. Entah, doktrin seperti apa lagi yang telah mereka terima. Miris.

Seorang gadis kecil menyela. Suara kerincingan uang logam di dalam toplesnya berbaur dengan keributan pengunjung warkop. Di sisinya, seorang kakek tua renta terpatah-patah menyejajari langkahnya. Kasihan. Kemana-mana, gadis kecil itu menuntunnya sembari membunyikan toples pada para pengunjung.

Tak tega memandang wajah gadis kecil itu, saya biarkan saja ia berlalu.

Terkadang, untuk menyadarkan manusia, Tuhan mengirimkan cobaan. Bisa saja insiden teror itu sebagai wadah pemersatu bangsa.

Tengoklah beberapa media hari ini. Saya sangat-teramat-sangat suka. Sebagian besar media memakai judul yang bernuansa positif dan menyemangati. Judulnya memaknai semangat pantang menyerah. Salah satu alasannya, menghindari upaya penyebaran ketakutan di seluruh negeri, termasuk melalui medsos. Inilah optimisme.

Di media saya bekerja, Harian FAJAR, tertulis besar-besar "Basmi Habis ISIS". Di media lainnya, Republika, termuat sampul koran bendera merah putih dengan judul "Kami Tidak Takut". Pun, media sebesar Kompas memakai judul "Bangkit Bersama Lawan Terorisme". Keren!

Bukankah judul-judul membangkitkan semangat seperti itu lebih baik?

Seperti kata Menteri Pendidikan, Anies Baswedan: Berhentilah merutuk dan mengutuk kegelapan. Mari mulai menyalakan lilin dan menerangi kegelapan itu sendiri.

***

Baru punya waktu mengamati satu demi satu berita soal ibukota, semalam. Kemarin, tepat tengah hari, saya sebenarnya mendapatkan kabar teror itu. Hanya saja, tidak begitu mengikuti perkembangannya karena sedang "diliburkan".

Yah, hari "libur" itu saya menikmatinya. Betapa Tuhan tahu apa yang saya butuhkan dalam rentang kesibukan tak henti. Seminggu belakangan, saya jadi punya banyak waktu mengamati senyum seorang perempuan manis dari dekat.

Saya menyeruput kopi-susu yang sedari tadi tersaji di depan meja. Pemilik kedai kopi sudah tahu kebiasaan saya. Tanpa perlu diminta, segelas kopi-susu tersaji di atas meja setiap kali saya berkunjung kesana. Karena saya tak suka kopi pekat.

Pahit sedikit. Manis lama-lama.

Itu pula yang pernah dikatakan perempuan saya saat mampir kesini. Pahitnya bikin ia seolah mau muntah. Namun berselang, minumannya justru nyaris habis setengah. "Kan biar saya melebur denganmu," ujarnya saat saya tanya alasannya memaksakan diri. Jawaban yang terlalu filosofis, yang membuat saya hanya bisa tersenyum.

"Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan." --Filosofi Kopi, Dee

Kabar-kabar yang bertebaran di dunia maya seharusnya semakin membuat kita merapatkan tangan. Berhenti menyebarkan foto-foto sensasional, apalagi yang memperlihatkan kengerian para korban.

Selain gemas, saya kadung jengkel dengan aksi teror di ibukota itu. Saya gemas lantaran tidak bisa ikut berdebar-debar memacu adrenalin mengumpulkan bahan berita di lokasi sana. Seandainya bisa, tentu hal yang cukup menantang bisa melalui kejadian itu. Seperti yang sempat dialami fotografer Tempo. Duh, semakin membuat saya ingin melenggang ke tempat itu.

Meskipun begitu, kondisi ini makin membuat kita makin waspada. Negara kita tak lagi seramah dahulu. Kejadian itu sekaligus mengingatkan agar kita menyatukan persepsi dan rasa bahwa: Kami Tidak Takut!

***

Hujan akhirnya mengguyur di paruh jalan saya menuju redaksi, petang. Tak ada mantel. Saya agak kuyup dibuatnya. Sementara di redaksi tak ada minuman yang bisa menghangatkan. Kalau begini, saya jadi ingin balik kanan menyeduh se-sachet cappuccino.

Berdoa saja, semoga tanah air kita kembali damai, setenang hujan yang sedang dirindukan...

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments