Guéri*

Januari 21, 2016

Baca Juga

Hujan...

(Foto: Penkdix Palme, fotografer)


Akhir-akhir ini, kota kami sudah sering disapa hujan. Meski tak deras, cuaca sudah tak sepanas kemarin lagi. Pakaian saya yang dijemur sejak dua hari lalu tak mau kering-kering.

Mendung terus menggelayut di ujung kota. Petir berburu dan menyambar. Untung suaranya tak memekakkan telinga. Hanya saja, di beberapa daerah, cuaca itu tak jarang menimbulkan bencana, seperti angin puting beliung. Termasuk pembangkit listrik yang kehilangan daya karena disambar petir.

Saya jadi jengah melihat orang-orang mengeluh di akun media sosialnya. Suara begitu bising meributkan "blackout" atau pemadaman listrik. "Sudahlah, biarkan PLN bekerja semaksimal mungkin," *sambil lalu

Cuaca begini juga kerap mengganggu kondisi tubuh. Hujan yang tak pandang waktu, biasanya menyebabkan penyakit. Penyakit rindu, eh. Orang-orang menggigil kedinginan. Terserang masuk angin. Demam tinggi. Saya juga belum melengkapi diri dengan mantel hujan. Padahal itu hal wajib bagi pengendara motor di musim penghujan ini.

Saya sudah terbiasa kehujanan. Pun, sepulang liputan hari ini, saya berhujan-hujanan. Gara-gara panggilan mendadak.

"Ke kantor sekarang. Soalnya email tak bisa dibuka," pesan singkat dari atasan di kantor (baca; redaksi).

Yah, mungkin gara-gara cuaca pula kondisi jaringan terganggu. Padahal saya baru beberapa menit tiba di Lapangan Karebosi. Hendak menyaksikan latihan skuat kebanggaan Makassar. Para pemain berlari-lari menggocek bola di bawah hujan, yang sesekali gerimis, sesekali menderas.

Tiap jalan, rinainya berbeda-beda, bukan?

Beruntung, saya tak pernah sakit hanya karena berhujan-hujanan. Bahkan sakit paling parah, demam tinggi, cuma diselesaikan saja dengan "melungker" di dalam selimut tebal. Sengaja. Biar badan berkeringat. Suhu badan kembali normal.

Cuaca sedang tak menentu. Kesehatan ikut tak menentu. Sebisanya, mari jaga kesehatan. Tak perlu membenci hujan, karena ia tak pernah tahu sisi hidup mana yang ingin diobatinya...

***

"Mungkin, Kak Imam yang sedang galau?" iseng seorang kawan bertanya.

Bukan. Saya tidak sedang galau. Tidak. Tidak. Saya hanya sedang... rindu.

Tahu kalau dia sakit dan harus diopname, membuat saya seolah mau berteleportasi saja dan sejenak muncul di hadapannya. Apalagi saat kemarin mendengar suaranya yang nyaris habis tertelan penyakitnya.

Dulu, saya agak risau jika harus berada di bagian-bagian rumah sakit. Bangsalnya. Kamarnya. Ranjangnya. Selasarnya. Kursinya. Putihnya. Aromanya. Dokternya.

Ada ingatan-ingatan buruk tentang keluarga yang ingin saya enyahkan dari kepala. Saya terlalu dibayang-bayangi "pelarian" pertama dari keluarga. Berawal dari rumah sakit, saya nyaris menjadi anak durhaka. Akh, kalau mengingat-ingat itu, saya butuh waktu panjaaaang untuk bercerita.

Dan kini, perempuan yang kerap berujar "hati-hati," sepanjang waktu itu harus dirawat disana. Suara parau yang diperdengarkan lewat telepon semakin tenggelam. Pun, saya tahu kabarnya hari ini dari adik perempuan kecilnya yang esok hari ikut final balap karung.

"Kalau saya menang, ditraktir ya?" ia selalu tak lupa mengingatkan janji saya. Hahaha... Tentu saja, Manis. Lagipula saya sudah menjanjikannya.

"Asalkan kau mau janji jaga kakakmu yang satu itu, nanti saya tambahkan traktirnya," balas saya.

"Betul?"

"Iya. Serius," kunci saya sembari tersenyum.


Semoga esok, kembali membaik.

Rétablis-toi vite...**


--Imam Rahmanto--

Catatan:  
* Bahasa Perancis, artinya "Sembuh, Pulih"
* Bahasa Perancis, artinya "Semoga Lekas Sembuh"

You Might Also Like

2 comments

  1. Ahah..
    Syukanya baca tulisang yang masih kasmaran. Adudueee.

    Cepak sembuh adik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apa ya ini?
      Bagusnya kalau kau juga sekalian kembali sama yang dari SKL itu. Hahahahaha... :P

      Hapus