Ber(i)tanya...
Januari 30, 2016Baca Juga
Seorang kakek tua sedang berjalan di samping saya. Berusia lanjut, sudah berkepala enam. Langkahnya tak patah-patah. Justru masih kuat berjalan menapaki jalanan berbeton sekeliling lapangan. Orang-orang berpapasan tak lepas menyapanya. Ia hendak mengantarkan saya menemui temannya.
"Maaf, Coach Haji. Saya jadi merepotkan," ucap saya menyejajari langkahnya.
"Ndak, kok. Apalagi kamu juga tidak kenal sama dia, makanya saya antar," jawabnya santai.
"Tadi dia pakai baju kuning dan topi putih," jelasnya bergumam sendiri, sembari terus mengamati setiap mimik wajah di pinggir lapangan.
Orang-orang sedang menonton pertandingan sepak bola. Kami berharap bisa menjumpai temannya itu di tempat tadi ia berbincang, beberapa menit yang lalu.
Saya sedang mencari seorang narasumber. Seorang lelaki tua yang punya kaitan sejarah dengan salah satu klub sepak bola binaan di kota ini. Lelaki tua yang mengantarkan saya, termasuk pembina klub seangkatannya.
Saya diarahkan padanya oleh kenalan pelatih tim amatir saat sedang mencari-cari referensi di lapangan.
"Ohh...kalau itu, coba tanya Haji Rasyid disana. Pelatihnya Swadiri, itu yang pakai baju putih dan topi. Duduk disana," ujar pelatih di sisi lapangan menunjuk seorang lelaki diantara penonton lainnya. Jaraknya berada di luar lapangan, beberapa meter di belakang gawang. Duduk bersama anak-anak muda lainnya.
Berbekal tanya agak ragu dan takut-salah-orang, saya mengajukan pertanyaan: "Benar dengan Haji Rasyid, pelatihnya Swadiri?"
Ia lantas menyambut saya begitu hangat. Sedikit bekal tentang klub PSM Makassar, saya memulai perbincangan. Termasuk tujuan utama saya mencari "jejak" teman seangkatannya itu.
Pekerjaan saya sebagai pewarta sebenarnya memang tak pernah lepas dari pertanyaan maupun pernyataan. Saban hari saya berhadapan dengan narasumber, menodongkan pertanyaan, yang biasanya dibalas dengan beberapa pernyataan. Atau kita balik saja; pernyataan narasumber itulah yang justru menimbulkan pertanyaan.
Saya suka dengan itu. Banyak bertanya mengajarkan saya selaku pendengar yang baik. Pun, tugas saya di dunia olahraga, memaksa agar telinga dipancangkan sekuat-kuatnya. Biarkan kepala menyaring informasi sebanyak apa pun yang mampu ditampungnya.
Serius. Saya masih tak habis pikir, penugasan di dunia olahraga, terkhusus sepak bola, bisa sedikit memberikan perubahan bagi minat dan pengetahuan saya. Saya belajar banyak tentang istilah dan kisruh di dunia sepak bola. Belajar memahami pergolakan antar klub. Belajar menyiangi informasi di setiap jejaring-jejaring dunia nyata dan dunia maya. Yah, semua itu tak lepas dari "bertanya".
Betapa lucu mengingat pertanyaan polos saya ketika menjejakkan pengalaman di dunia sepak bola untuk pertama kalinya.
"Apa sih perbedaan antara turnamen dan kompetisi?"
Yah, meski pertanyaan lain juga sesekali disimpan sendiri agar tak ditertawai lebih jauh. alamak
Akan tetapi, saya justru bangga mengokang senjata khas para jurnalis itu. Kami bahkan kerap dituntut "kepo" lebih jauh tentang segala hal.
Saya paling suka jika mulai mengulik masalah pribadi teman-teman saya #ehh, tetapi ini serius. Sejujur-jujurnya kita mengenal orang lain, dari sejauh apa kita mengetahui kehidupannya. Terkadang, masalah asmara yang membuka lebih banyak cabang di kepala setiap orang. Hahahaha....
Mengajukan pertanyaan justru mengakrabkan. Tak ada yang salah dengan itu. Setiap orang butuh berinteraksi. Dan memulainya, kerap kali memang harus dimulai dengan bertanya, "Apa kabar?"
Berkeliling lapangan tanpa membuahkan hasil. Keesokan harinya, saya dijumpai kembali oleh Haji Rasyid. Ia langsung menghampiri saya di bench panitia.
"Kamu kan yang kemarin mencari Haji Kadir? Anyelir?" tanyanya agak ragu menunjuk saya dari luar bench. Bench sederhana ini prakarya tim panitia turnamen, yang sebagian besar merupakan anak-anak wartawan.
"Oiya, Coach Haji," saya agak risih juga ia mau susah-susah mencari saya lagi.
"Tadi Haji Kadir ada disana. Dia pakai baju kuning, topi kuning. Anak-anaknya juga sedang latihan," cetusnya tanpa basa-basi.
"Atau sini, kita sama-sama kesana," ajaknya lagi mengabaikan rasa canggung saya. Hanya karena rentetan pertanyaan kemarin, saya dapat segudang pertolongan di hari berikutnya. Tak salah jika saya harus mengucapkan terima kasih.
Pun, besok saya masih harus merangkum banyak perrtanyaan pada narasumber yang lainnya...
"Maaf, Coach Haji. Saya jadi merepotkan," ucap saya menyejajari langkahnya.
"Ndak, kok. Apalagi kamu juga tidak kenal sama dia, makanya saya antar," jawabnya santai.
"Tadi dia pakai baju kuning dan topi putih," jelasnya bergumam sendiri, sembari terus mengamati setiap mimik wajah di pinggir lapangan.
Orang-orang sedang menonton pertandingan sepak bola. Kami berharap bisa menjumpai temannya itu di tempat tadi ia berbincang, beberapa menit yang lalu.
Saya sedang mencari seorang narasumber. Seorang lelaki tua yang punya kaitan sejarah dengan salah satu klub sepak bola binaan di kota ini. Lelaki tua yang mengantarkan saya, termasuk pembina klub seangkatannya.
Saya diarahkan padanya oleh kenalan pelatih tim amatir saat sedang mencari-cari referensi di lapangan.
"Ohh...kalau itu, coba tanya Haji Rasyid disana. Pelatihnya Swadiri, itu yang pakai baju putih dan topi. Duduk disana," ujar pelatih di sisi lapangan menunjuk seorang lelaki diantara penonton lainnya. Jaraknya berada di luar lapangan, beberapa meter di belakang gawang. Duduk bersama anak-anak muda lainnya.
Berbekal tanya agak ragu dan takut-salah-orang, saya mengajukan pertanyaan: "Benar dengan Haji Rasyid, pelatihnya Swadiri?"
Ia lantas menyambut saya begitu hangat. Sedikit bekal tentang klub PSM Makassar, saya memulai perbincangan. Termasuk tujuan utama saya mencari "jejak" teman seangkatannya itu.
***
Pekerjaan saya sebagai pewarta sebenarnya memang tak pernah lepas dari pertanyaan maupun pernyataan. Saban hari saya berhadapan dengan narasumber, menodongkan pertanyaan, yang biasanya dibalas dengan beberapa pernyataan. Atau kita balik saja; pernyataan narasumber itulah yang justru menimbulkan pertanyaan.
Saya suka dengan itu. Banyak bertanya mengajarkan saya selaku pendengar yang baik. Pun, tugas saya di dunia olahraga, memaksa agar telinga dipancangkan sekuat-kuatnya. Biarkan kepala menyaring informasi sebanyak apa pun yang mampu ditampungnya.
Serius. Saya masih tak habis pikir, penugasan di dunia olahraga, terkhusus sepak bola, bisa sedikit memberikan perubahan bagi minat dan pengetahuan saya. Saya belajar banyak tentang istilah dan kisruh di dunia sepak bola. Belajar memahami pergolakan antar klub. Belajar menyiangi informasi di setiap jejaring-jejaring dunia nyata dan dunia maya. Yah, semua itu tak lepas dari "bertanya".
Betapa lucu mengingat pertanyaan polos saya ketika menjejakkan pengalaman di dunia sepak bola untuk pertama kalinya.
"Apa sih perbedaan antara turnamen dan kompetisi?"
Yah, meski pertanyaan lain juga sesekali disimpan sendiri agar tak ditertawai lebih jauh. alamak
Akan tetapi, saya justru bangga mengokang senjata khas para jurnalis itu. Kami bahkan kerap dituntut "kepo" lebih jauh tentang segala hal.
Saya paling suka jika mulai mengulik masalah pribadi teman-teman saya #ehh, tetapi ini serius. Sejujur-jujurnya kita mengenal orang lain, dari sejauh apa kita mengetahui kehidupannya. Terkadang, masalah asmara yang membuka lebih banyak cabang di kepala setiap orang. Hahahaha....
Mengajukan pertanyaan justru mengakrabkan. Tak ada yang salah dengan itu. Setiap orang butuh berinteraksi. Dan memulainya, kerap kali memang harus dimulai dengan bertanya, "Apa kabar?"
***
Berkeliling lapangan tanpa membuahkan hasil. Keesokan harinya, saya dijumpai kembali oleh Haji Rasyid. Ia langsung menghampiri saya di bench panitia.
"Kamu kan yang kemarin mencari Haji Kadir? Anyelir?" tanyanya agak ragu menunjuk saya dari luar bench. Bench sederhana ini prakarya tim panitia turnamen, yang sebagian besar merupakan anak-anak wartawan.
"Oiya, Coach Haji," saya agak risih juga ia mau susah-susah mencari saya lagi.
"Tadi Haji Kadir ada disana. Dia pakai baju kuning, topi kuning. Anak-anaknya juga sedang latihan," cetusnya tanpa basa-basi.
"Atau sini, kita sama-sama kesana," ajaknya lagi mengabaikan rasa canggung saya. Hanya karena rentetan pertanyaan kemarin, saya dapat segudang pertolongan di hari berikutnya. Tak salah jika saya harus mengucapkan terima kasih.
Pun, besok saya masih harus merangkum banyak perrtanyaan pada narasumber yang lainnya...
--Imam Rahmanto--
2 comments
Aku percaya, bertanya itu tidak salah, karena tidak ada pertanyaan yang salah kan? Dan percaya aja, masih banyak orang baik di dunia ini, yang nggak cuma mau jawab pertanyaan kita, tapi juga menawarkan bantuan..
BalasHapusAku percaya, bertanya itu tidak salah, karena tidak ada pertanyaan yang salah kan? Dan percaya aja, masih banyak orang baik di dunia ini, yang nggak cuma mau jawab pertanyaan kita, tapi juga menawarkan bantuan..
BalasHapus