Antara "Rumah" dan Kompasiana

Januari 10, 2016

Baca Juga

Seorang teman perempuan sempat bertanya,

"Bagaimana membedakan antara tulisan yang Kak Imam posting di 'rumah' sendiri dengan tulisan yang diposting di Kompasiana?"

Ia bertanya demikian setelah mengirimkan salah satu screenshot artikel yang saya posting di Kompasiana baru-baru ini. Kebetulan, artikel itu sempat dilihatnya menjadi Headline bersama jajaran artikel lain. Padahal, tulisan tersebut diplot sebagai HL tepat tengah malam, diantara lelap orang-orang hendak beraktivitas kembali esok hari.

Akh, saya bingung bagaimana menjawabnya. Itu hampir serupa ketika saya harus menjawab pertanyaan dari seorang gadis, "Kenapa menyukai saya?" _ _"

Kata pepatah, tak semua pertanyaan butuh penjelasan. Akan tetapi, untuk yang satu ini, saya punya sedikit penjabarannya. Kalau punya waktu, sembari menyeruput cappuccino juga tak apa.

Saya mengenal Kompasiana sudah sejak lama. Bahkan gadget Samsung Galaxy Y yang masih setia bertengger di tangan saya adalah hadiah pemberian event menulis Kompasiana, 3-4 tahun silam. Kala itu, "rumah" (blog) saya masih belum terbangun dengan baik. Perabotannya masih berantakan, dan pemiliknya jarang pulang ke rumah.

Kompasiana, sebagai media blog alternatif, memberikan saya kesempatan bagus untuk tetap update pengalaman menulis. Pada prinsipnya, saya percaya, tulisan yang diposting di Kompasiana pasti punya pembacanya sendiri. Yah, paling sedikit sampai 20 orang lah. Untung-untung kalau sampai 50 orang.

Tampilannya juga membuat betah untuk mengembangkan segala jenis tulisan, baik "pengalaman" maupun opini. Apalagi disini berkumpul segala lapisan pembaca. Semacam kerumunan (crowded) yang menunggu tulisan-tulisan baru dari para Kompasianer (penulis di Kompasiana).

Akan tetapi, kian lama, saya tergugah untuk mengurus kembali "rumah" (baca: blog) saya. Karena tak ingin terlantar di dunia maya. Kompasiana, hanya semacam ruang diskusi publik. Bukan "rumah" yang sebenar-benarnya di dunia maya, menurut saya.

Saya akhirnya pulang ke "rumah". Kian memperhatikannya. Menyirami kembang-kembang di halamannya. Menyiangi rumput yang sudah setinggi badan. Mengecatnya dengan sederhana. Memperkayanya dengan segala macam tulisan, ala saya, tanpa embel apapun.

Karena rumah yang nyaman selalu menjadi tempat kita jadi diri sendiri                             

Setiap tetamu yang datang hendak berkunjung, saya persilakan masuk. Kalau sempat, saya akan menyuguhi segala macam sajian yang saya miliki. Saya tak perlu malu dengan segala tulisan itu. Karena saya tahu, para tetamu yang datang memang ingin berkenalan dengan saya. Maka saya tak perlu menyembunyikan apa-apa.

Ibarat di dunia nyata, Kompasiana itu rumah susun atau hotel penginapan dengan beraneka ragam penghuninya, sementara blog adalah rumah saya menyusun segala kepribadian dan harapan. :D

Nah, kini saya ingin membedakan postingan di "penginapan" Kompasiana dan "rumah".

Saya cenderung memposting hal-hal menarik dan bermanfaat di Kompasiana. Jika menurut saya hal itu sangat layak diketahui masyarakat umum, Kompasiana bisa jadi "forum" terbaik buat berbincang maupun berdiskusi. Disini, segala macam lapisan profesi saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Dari hal remeh-temeh, hingga hal-hal berat yang sudah sampai pada tataran analisis dan penelitian.

Agak berbeda dengan isi "rumah" saya, yang sebagian besar justru bercerita tentang diri pribadi. Terkadang, hal-hal bersifat pribadi seperti itu, agak malu-malu untuk saya posting di Kompasiana. Masa iya, saya memposting kegalauan, pengalaman-tak-penting, asmara, sok-bijak, di jejaring seluas Kompasiana? Hahaha....

Meski begitu, tak menutup kemungkinan tetap ada tulisan-tulisan yang biasanya saya posting di kedua tempat itu. Pun, kalau tulisan itu memang dianggap layak dipublikasikan secara luas. Biasanya saya malah ikut membagikannya di akun jejaring sosial seperti facebook maupun twitter.

Eh, tapi tidak termasuk tulisan hasil profesi saya sebagai pewarta berita. Tulisan-tulisan itu sudah punya tempatnya di media saya bekerja. Tulisan di "rumah" sebatas apa yang saya alami dan pelajari di lapangan sebagai seorang jurnalis. Ibarat behind the scene dari beberapa pengalaman meliput saya

Saya selalu membedakan: ada tempat kita menulis dengan hati-hati (kepala), ada tempat kita menulis dengan hati.

Jadi, sembari berbagi hal menarik sewajarnya di Kompasiana, saya tetap punya "rumah" untuk melepas penat dan tertidur pulas sepanjang maya (baca: hari).



--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments