Pilihan-pilihan
Desember 15, 2015Baca Juga
Belakangan, di akun medsos teman-teman saya sedang ramai selebrasi beasiswa LPDP. Memang, pengumuman kelulusan penerima beasiswa itu baru dicetuskan beberapa hari sebelumnya. Bagi sebagian besar mahasiswa, itu termasuk beasiswa bergengsi. Selain dibiayai sepenuhnya oleh Kementerian Keuangan untuk kuliah anywhere-you-wanna-go, beasiswa itu juga bisa menjadi batu loncatan meraup gelar S2 yang lebih "bernilai" dan berkelas (katanya) di mata masyarakat.
"Kalau begitu, setelah setahun bekerja nanti, kamu bisa kan mendaftar beasiswa itu?" tanya seorang kawan.
Saya hanya membalasnya dengan senyuman. Saya masih bergeming. Di kepala saya, masih kukuh keinginan tak lagi mengejar gelar kependidikan. Bukannya tak mampu, saya hanya terlalu letih menjalani pendidikan berlatar belakang "sekolah formal". Belajar di ruang kelas, mendengarkan penjelasan guru atau dosen, membuat makalah, presentasi kelompok, skripsi, browsing referensi karya tulis, dan semacamnya.
Sejujurnya, saya juga nyaris lelah mengejar prestasi kependidikan lagi. Kehidupan sekolah formal sudah terlalu padat direkami prestasi sebagai "anak pintar". Dalam kehidupan yang telah terlewat, saya baru menyadari, kenapa tidak menjajal sedikit "belokan" di masa sekolah dulu? Toh, kasta kehidupan sekarang tak pernah ditentukan langsung dari seberapa besar nilai akademik dahulu.
Gelar kependidikan hanya sebatas sematan di belakang nama untuk dipamerkan kepada orang lain yang memerlukannya. Sementara hanya sebagian kecil dari lulusan yang punya kompetensi akademik sebanding. Saya sendiri bahkan tak pernah membawa-bawa gelar "S.Pd" kemana pun melangkah. Cukup menjadi apa adanya, tanpa batasan bergaul dengan siapa saja.
"Kamu tak ada niat lanjut S2?"
Saya masih punya sedikit keinginan melanjutkan pada jenjang lebih tinggi. Akan tetapi, kelanjutan dari gelar saya sebelumnya mungkin akan diabaikan. Saya hanya akan mengejar pemahaman pada jurusan yang ingin saya selami. Tidak pada gelar S2-nya.
Semisal, gelar "S.Pd" saya di jurusan Matematika tidak akan berlanjut ke jenjang magisternya. Saya justru penasaran menjajal Imu Komunikasi di jenjang S2. Nah, tak linear, bukan? Memang. Karena tujuan saya tak mentok untuk kepentingan gelar semata. Saya hanya benar-benar ingin mempelajarinya. Itu saja. Tapi, entah kapan waktunya.
Di rumah pun, bapak selalu memancing keinginan saya agar melanjutkan gelar kependidikan ke ranah pegawai negeri. Apa daya? Saban mengobrol, bapak selalu menunjukkan ekspektasinya kepada pekerjaan, yang katanya, punya jaminan masa tua terbaik itu.
"Sudahlah, Pa'. Saya dasarnya memang tak suka pekerjaan pemerintahan begitu. Masuk rutin tiap hari, ngabsen. Pakai baju seragam. Bengong di dalam ruangan ber-AC. Saya masih butuh banyak pengalaman dan perjalanan," kekesalan saya meledak suatu waktu.
Saya sedang menikmati masa-masa paruh waktu saya sebagai seorang jurnalis. Banyak hal baru yang seutuhnya tak saya temukan di lingkungan sekolah resmi. Di saat orang-orang membanggakan pekerjaan sebagai Pe-En-Es, saya justru bangga menjadi bagian koorporasi media, untuk sementara waktu.
Masih banyak tempat yang belum saya jelajahi. Khususnya di luar negeri. Akan tetapi, sebelum mengenali tanah orang, kenali dulu tanahmu sendiri. Dan hingga kini, saya baru menginjak lima-enam kota di Indonesia. Sangat minim, bukan?
Lantas, beasiswa yang menjadi buruan para mahasiswa itu memang menjadi jalan melenggang ke negara lain. Hanya saja, saya lebih memilih melakukan perjalanan tanpa perlu direcoki dengan urusan akademik dan belajar nyaris setiap hari. Senyata-nyatanya, saya ingin menikmati perjalanan karena kesenangan dan hobi terhadap sesuatu. Mungkin, dalam hal perjalanan melaporkan suatu peristiwa.
Bagaimana pun, sejatinya saya cenderung lebih tertarik menyelami "sekolah kehidupan". Ruang kelas dimana saja. Guru siapa saja. Tak berbatas waktu. Praktek sehari-hari. Berkenalan dengan partner yang cukup berbeda secara visi maupun misi.
Dengan begitu, saya tak akan menyesali apa-apa...
Fiuhh...
Saya sedang menjalani hari yang berat hari ini. Ada banyak beban di kepala (baca: liputan) yang memaksa diselesaikan. Cuaca hujan juga agak menghambat. Namun, namanya wartawan, hadangan apapun harus bisa dijinakkan.
Saya agak kelimpungan menyelesaikan beberapa bahan hari ini. Mungkin, saya agak lupa untuk start di awal waktu. Lupa pula kalau harus memback-up salah seorang rekan yang kena libur hari ini. Jadinya, satu-dua bahan jadi tak nyangkut dalam listing pribadi saya. #damn
Akan tetapi...
Tahukah...
Kelimpungan begini yang cukup mencandui keseharian saya di lapangan. Besok-besok, pasti sudah lupa lagi. Serius. Saya perlahan mulai belajar menertawakan kesulitan saya. Mengapresiasinya sebagai bahan belajar dan berbenah diri. Bukankah hidup ini memang lucu, tergantung kadar humor yang kita kantongi?
Mari tetap bersyukur sembari tetap mengencangkan tiang pancang mimpi-mimpi kita.
"Kalau begitu, setelah setahun bekerja nanti, kamu bisa kan mendaftar beasiswa itu?" tanya seorang kawan.
Saya hanya membalasnya dengan senyuman. Saya masih bergeming. Di kepala saya, masih kukuh keinginan tak lagi mengejar gelar kependidikan. Bukannya tak mampu, saya hanya terlalu letih menjalani pendidikan berlatar belakang "sekolah formal". Belajar di ruang kelas, mendengarkan penjelasan guru atau dosen, membuat makalah, presentasi kelompok, skripsi, browsing referensi karya tulis, dan semacamnya.
Sejujurnya, saya juga nyaris lelah mengejar prestasi kependidikan lagi. Kehidupan sekolah formal sudah terlalu padat direkami prestasi sebagai "anak pintar". Dalam kehidupan yang telah terlewat, saya baru menyadari, kenapa tidak menjajal sedikit "belokan" di masa sekolah dulu? Toh, kasta kehidupan sekarang tak pernah ditentukan langsung dari seberapa besar nilai akademik dahulu.
Gelar kependidikan hanya sebatas sematan di belakang nama untuk dipamerkan kepada orang lain yang memerlukannya. Sementara hanya sebagian kecil dari lulusan yang punya kompetensi akademik sebanding. Saya sendiri bahkan tak pernah membawa-bawa gelar "S.Pd" kemana pun melangkah. Cukup menjadi apa adanya, tanpa batasan bergaul dengan siapa saja.
"Kamu tak ada niat lanjut S2?"
Saya masih punya sedikit keinginan melanjutkan pada jenjang lebih tinggi. Akan tetapi, kelanjutan dari gelar saya sebelumnya mungkin akan diabaikan. Saya hanya akan mengejar pemahaman pada jurusan yang ingin saya selami. Tidak pada gelar S2-nya.
Semisal, gelar "S.Pd" saya di jurusan Matematika tidak akan berlanjut ke jenjang magisternya. Saya justru penasaran menjajal Imu Komunikasi di jenjang S2. Nah, tak linear, bukan? Memang. Karena tujuan saya tak mentok untuk kepentingan gelar semata. Saya hanya benar-benar ingin mempelajarinya. Itu saja. Tapi, entah kapan waktunya.
Di rumah pun, bapak selalu memancing keinginan saya agar melanjutkan gelar kependidikan ke ranah pegawai negeri. Apa daya? Saban mengobrol, bapak selalu menunjukkan ekspektasinya kepada pekerjaan, yang katanya, punya jaminan masa tua terbaik itu.
"Sudahlah, Pa'. Saya dasarnya memang tak suka pekerjaan pemerintahan begitu. Masuk rutin tiap hari, ngabsen. Pakai baju seragam. Bengong di dalam ruangan ber-AC. Saya masih butuh banyak pengalaman dan perjalanan," kekesalan saya meledak suatu waktu.
Saya sedang menikmati masa-masa paruh waktu saya sebagai seorang jurnalis. Banyak hal baru yang seutuhnya tak saya temukan di lingkungan sekolah resmi. Di saat orang-orang membanggakan pekerjaan sebagai Pe-En-Es, saya justru bangga menjadi bagian koorporasi media, untuk sementara waktu.
Masih banyak tempat yang belum saya jelajahi. Khususnya di luar negeri. Akan tetapi, sebelum mengenali tanah orang, kenali dulu tanahmu sendiri. Dan hingga kini, saya baru menginjak lima-enam kota di Indonesia. Sangat minim, bukan?
Lantas, beasiswa yang menjadi buruan para mahasiswa itu memang menjadi jalan melenggang ke negara lain. Hanya saja, saya lebih memilih melakukan perjalanan tanpa perlu direcoki dengan urusan akademik dan belajar nyaris setiap hari. Senyata-nyatanya, saya ingin menikmati perjalanan karena kesenangan dan hobi terhadap sesuatu. Mungkin, dalam hal perjalanan melaporkan suatu peristiwa.
Bagaimana pun, sejatinya saya cenderung lebih tertarik menyelami "sekolah kehidupan". Ruang kelas dimana saja. Guru siapa saja. Tak berbatas waktu. Praktek sehari-hari. Berkenalan dengan partner yang cukup berbeda secara visi maupun misi.
Dengan begitu, saya tak akan menyesali apa-apa...
(Sumber: google.com) |
***
Fiuhh...
Saya sedang menjalani hari yang berat hari ini. Ada banyak beban di kepala (baca: liputan) yang memaksa diselesaikan. Cuaca hujan juga agak menghambat. Namun, namanya wartawan, hadangan apapun harus bisa dijinakkan.
Saya agak kelimpungan menyelesaikan beberapa bahan hari ini. Mungkin, saya agak lupa untuk start di awal waktu. Lupa pula kalau harus memback-up salah seorang rekan yang kena libur hari ini. Jadinya, satu-dua bahan jadi tak nyangkut dalam listing pribadi saya. #damn
Akan tetapi...
Tahukah...
Kelimpungan begini yang cukup mencandui keseharian saya di lapangan. Besok-besok, pasti sudah lupa lagi. Serius. Saya perlahan mulai belajar menertawakan kesulitan saya. Mengapresiasinya sebagai bahan belajar dan berbenah diri. Bukankah hidup ini memang lucu, tergantung kadar humor yang kita kantongi?
Mari tetap bersyukur sembari tetap mengencangkan tiang pancang mimpi-mimpi kita.
--Imam Rahmanto--
0 comments