Balada Hujan
Desember 20, 2015Baca Juga
Kau tak dengar suara di luar? Itu hujan. Ya, hujan. Ia pernah datang, sekali tahun, mengguyur tanah yang gersang
Belakangan, kota ini, memang lebih sering terguyur hujan. Air tumpah dari langit nyaris tak pernah berhenti. Dua hari mengguyur tak jeda, sehari berikutnya hanya menyisakan mendung tanpa secer(c)ah cahaya dari langit.
Gelap makin cepat datang. Azan Ashar yang berkumandang seolah mendahului maghrib yang masih berselang tiga jam. Langit gelap tertutup mendung, diselingi kilat yang berburu di permukaan awan.
Saya jadi terbiasa dengan air hujan. Di beberapa kesempatan, saya (sengaja) berhujan-hujanan. Sekadar menikmati apa yang tak bisa ditemui di musim yang lalu. Pakaian basah tiada terkira. Pertama kali bertemu hujan di musim ini, deras, saya harus menahan kecepatan laju kendaraan dari Maros hingga Makassar. Itu saat saya pulang menyambangi kampung kelahiran saya. Mungkin, sebulan kemarin...
"Kita jadi tak bisa kemana-mana kalau hujan," ujar teman saya.
Benar. Sekali waktu, saya menikmati rasa "tak-kemana-mana" itu di kamar kost-an.
Oiya, saya punya kamar di kost-an baru. Dekorasi pertamanya, saya dan seorang kawan mengisinya dengan rak untuk koleksi buku bacaan kami. Melihat koleksi bukunya sedikit lebih banyak, saya jadi terlecut ingin menambah lebih banyak koleksi buku lagi. Akh, saatnya menggalakkan program "investasi dua buku - sekali gaji". Hahahaha....
Bukannya tak punya agenda liputan. Beberapa agenda liputan on the spot justru terganggu dengan hujan yang tak henti mengguyur kota Makassar. Banjir dimana-mana. Jalanan beton tak punya jalur pengairan khusus untuk buangan airnya. Di kiriman grup BBM kantor, saya melihat jalanan protokol di depan kantor Gubernuran justru sudah menyerupai sungai.
Saya mencoba menikmati kenyamanan tak dipusingkan tuntutan berita. Lagipula, saya masih punya strategi khusus untuk memenuhi target (pribadi) berita tiap hari. Apalagi kalau tak ada acara resmi on the spot.
"Kalau jadi jurnalis olahraga, agak santai ya?" ujar teman sekantor saya.
Hm... padahal dulu saya cukup menghindari ditempatkan di salah satu desk ini. Entah bagaimana caranya, saya menikmatinya perlahan. Meski kata "mitos" di dunia garis kiri jurnalisme, tugas wartawan olahraga sama sekali tak menggiurkan. Amat jauh dari kesejahteraan sebagai seorang wartawan. #masa bodoh
Kesibukan baru terpacu di kala ada laga atau turnamen yang sedang berlangsung. Saya tak bisa hanya mengandalkan beberapa channel kenalan maupun kreativitas mengolah isu. Apalagi jika sudah berkaitan dengan salah satu skuat kebanggaan kota ini, PSM.
Di saat menjalani liputan pun saya masih sering disapa hujan. Di kala menanti pete-pete (baca: angkutan umum), saya harus berteduh sesekali. Menumpang pete-pete di kala hujan seolah bertemu dengan mobil alphard. Seolah malaikat penyelamat.
Di atas mobil, muncul wajah-wajah lega usai berhadapan hujan di pinggir jalan. Hujan menampar-nampar kaca depan mobil. Nyanyian hujan terdengar cukup jelas dari arah kaca depan dan atap kendaraan.
Hujan sungguh menggelikan. Sekali waktu ingin membuat terlelap. Sekali waktu memaksa wajah tetap terjaga rasa kantuk. Sekali waktu mengesalkan. Sekali waktu mengundang galau.
"Jangan sering kehujanan. Nanti sakit berdatangan,"
Biarlah. Sembari menguji ketahanan tubuh, saya ingin mencicip sedikit perhatian(nya).
Kau tau hujan, ia menderas kala rindu terlampau pekat. Bukankah manusia di bumi terlalu sering menguapkan rindunya ke atas langit? Karena rindu separuh bumi terlampau berat didekap langit sendirian. Sudah kubilang, rindu itu berat.
--Imam Rahmanto--
*Hah? Hujan membuat saya mengigau...
2 comments
Setiap baca yang ada "adeknya" selalu mau langsung muncul depan Kak Imam bilang. "Acikipiuu. Bahagia ta mamo ada kasi perhatian. Eya."
BalasHapusEyyyaaaaa!!!
Hapus