Dari Atas Pesawat
Desember 26, 2015Baca Juga
(Sumber: ariesadhar.com) |
Baru-baru ini saya menyelesaikan lagi satu novel yang sudah lama masuk dalam antrean baca. Akh, untuk menamatkan novel setebal 344 halaman saja saya mesti mencicilnya hampir seminggu. Kalau dihitung dari awalan baca di Goodreads, ada sekira 10 hari lamanya rentang waktu menuntaskan novel "Critical Eleven". Malu juga sih rasanya tidak baca buku di saat kamar punya jejeran rak buku yang menarik di depan mata.
Sebenarnya, salah satu alasan membaca novel ini karena penasaran dengan karya terbaru Ika Natassa. Buku pertama yang sempat saya baca dari penulis nyentrik ini adalah Antologi Rasa-nya. Hm...nuansa baca yang mengagumkan, lantaran ia mampu menyatukan semua sudut pandang dari beberapa tokoh yang diangkatnya.
Dibekap penasaran dengan buku lainnya, saya mulai mencicip karya Ika Natassa yang lain. Ada Divortiare, Twivortiare. Dan dari hasil bacaan itu, gaya menulisnya: sama!
Sungguh, Ika nampaknya sudah menasbihkan karakter menulisnya selalu demikian.
Tak heran ketika membaca karya teranyarnya ini, saya mendapati suguhan yang sama. Meski hanya dua sudut pandang dari tokoh utama, Anya dan Ale,namun itu sudah menunjukkan keahlian penulis dalam meramu sudut pandang penceritaannya. Salut!
Kisah "Critical Eleven" ini bercerita tentang salah satu prahara rumah tangga antar pasangan suami-istri. Di awal membaca novel ini, mungkin kita hanya akan menyangka ceritanya berputar pada kisah percintaan romantis dewasa. Di awal membuka novel, bercerita tentang pertemuan Anya Baskoro dan Aldebaran Risjad di atas pesawat sebelum take off.
"Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya."
Akan tetapi, setelah melahap hampir separuh buku ini, saya baru menyadari hal unik lainnya. Penulis mencoba memutar-mutar alurnya diantara dua tokoh yang bertindak sebagai pusat cerita ini. Saya suka cara bercerita "mundur"nya yang tak monoton. Ditambah pula dengan cerita dari sudut pandang orang yang berbeda.
Dua hal lain yang tak pernah hilang dari karakter novel Ika: latar dan gaya bertutur yang berkelas.
Latar novelnya selalu tak lepas dari kehidupan kalangan tingkat menengah ke atas. Bisa dibilang, sebagian tokohnya adalah orang-orang glamor nan elegan. Saya sedikit sekali menemukan tokoh yang punya latar belakang keluarga dan pekerjaan yang biasa-biasa saja.
Gaya hidup elit itu juga berimbas pada gaya bertutur sang tokoh. Isi novel bisa jadi cukup merepotkan bagi orang-orang yang tak paham berbahasa Inggris. Tak ada terjemahan khusus untuk setiap kalimat yang menggunakan bahasa bule itu. Bagus juga buat belajar memperdalam bahasa Inggris.
Yah, mungkin inilah satu ciri khas Ika Natassa.
Selebihnya, saya menganggap novel ini sungguh menarik. Kendati banyak orang yang mencap novel terbitan dalam negeri kurang berbobot, saya tetap menganggap beberapa penulis punya gayanya sendiri mempertahankan pembaca. Seperti halnya novel, beberapa film Indonesia juga masih punya kualitasnya kok.
***
"Berani menjalin hubungan berarti berani menyerahkan sebagian kendali atas perasaan kita kepada orang lain. Menerima fakta bahwa sebagian dari rasa kita ditentukan oleh orang yang menjadi pasangan kita," --hal. 8
"Waktu adalah satu-satunya hal di dunia ini yang terukur dengan skala sama bagi semua orang, tapi memiliki nilai berbeda bagi setiap orang. Satu menit tetap senilai enam puluh detik, namun lamanya satu menit itu berbeda bagi orang yang sedang sesak napas kena serangan asma, dengan yang sedang dimabuk cinta." --hal.17
"Hal-hal terbaik dalam hidupjustru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu," --hal.31
"Kata orang, saat kita berbohong satu kali, sebenarnya kita berbohong dua kali. Bohong yang kita ceritakan ke orang, dan bohong yang kita ceritakan ke diri kita sendiri." --hal.57
"In life, there are no heroes and villains, only various states of comproomise." --hal.112
"Hujan dan kenangan bukan perpaduan yang sehat untuk seseorang yang sedang berjuang melupakan." --hal.190
"Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita." --hal.252
--Imam Rahmanto--
0 comments