Lelah, Boleh. Nyerah, Ogah.

Desember 30, 2015

Baca Juga

"Boleh lelah, asal jangan menyerah."

Entah dimana saya pernah mendengar quote seperti itu. Tetapi, memang ada benarnya. Perihal lelah, atau capek, itu hal manusiawi. Toh, semanusia-manusianya manusia, punya batas kesanggupan juga dalam memikul beban. 

Selasa, selalu menjadi hard-day buat saya. Salah satunya karena mesti membackup salah satu halaman, yang terkadang saya sendiri bingung bagaimana menanganinya secara utuh. Ini nih akibatnya ketinggalan isu. Seseorang juga sedang tak jelas-jelasnya tanpa kabar.

"Dan ini kali pertama gue lihat kakak yg satu ini mengeluh =D"

Seorang teman perempuan mengirimkan pesan. Aduh. Segembira, segokil, seusil, se-kepo apa sih gue (saya)? Sampai dianggap tak pernah lelah dan mengeluh. _ _"

Pernah menonton film "Inside Out"? Salah satu film, yang menurut saya, cukup menarik. Kesampingkan alasan lain bahwa saya juga masih suka film kartun. Saya baru beberapa hari lalu menamatkan film itu usai berlelah-lelah ria di lapangan liputan. Sengaja meluangkan sedikit waktu menonton film dari laptop seorang kawan.

Soal emosi yang mengontrol kehidupan manusia. Sad (sedih), Joy (gembira), Fear (ketakutan), Anger (kemarahan), dan Disgust (jijik). Mereka semua digambarkan hidup di kepala seorang anak perempuan periang bernama Riley. Merekalah yang mengontrol emosi dan menghias keseharian sang gadis berusia 11 tahun itu.

Film itu mengajarkan bahwa setiap emosi itu berharga. Sedih, marah, jijik, takut punya perannya masing-masing. Itulah yang membuat manusia jadi manusia seutuhnya.

Joy : How did you do that?                    
Sad : Oh, I don't know. He was sad. So I listened to what...                                                 

Itu adegan dimana Bing Bong, tokoh khayalan Riley, bersedih lantaran kereta roketnya juga ikut dihapus (dilupakan). Saking sedihnya, ia nyaris tidak mau melanjutkan perjalanan bersama Joy dan Sad yang tersesat di dunia memory dan harus segera kembali ke "kantor pusat."

Awalnya, Joy dengan karakteristik riang gembiranya, mencoba menghibur Bing Bong. Apa daya, Bing Bong hanya bisa duduk termenung tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia teramat sedih. Bing Bong yang lucu, saat bersedih, air matanya justru berupa permen.

Akan tetapi, Sad justru melakukan hal berbeda. Duduk di samping Bing Bong. Diam. Ikut mengatakan belasungkawanya. Dan mendengarkan Bing Bong bercerita panjang lebar tentang roket kesayangannya. Bing Bong bahkan sempat bersandar di bahu Sad, yang seolah paham perasaan sedih Bing Bong.


Inside Out mengajarkan kita tentang kegunaan masing-masing emosi. Kesedihan, tak selamanya buruk. Ada saatnya setiap orang butuh bersedih, meluapkan segala uneh-unegnya, agar orang lain tahu yang terpendam di kepalanya. Setiap emosi, punya waktunya sendiri untuk berguna. Namun, emosi pula yang membangun karakter dasar setiap kepribadian manusia. Entah periang, penggalau, pemarah, atau penakut. Di film itu, dijelaskan pula bagaimana setiap hobi, keluarga, pertemanan, kekonyolan, asmara, dan semacamnya dibangun dari ingatan-ingatan yang didasari emosi dominan.

Ah, yang namanya capek juga serupa itu. Mungkin, saya hanya butuh tidur sebentar dan besok sudah lupa semuanya. Ah, mau tidur, saya masih kelaparan...

***

"Jadi PNS saja. Jadi guru. Bisa dengan mulai mengambil langkah di SM-3T biar gampang terangkat," ujar salah seorang perempuan pada saya. Apa yang dikatakan selanjutnya, off the record. :3

Sedari awal, saya sudah ngotot tak ingin menjalani pekerjaan yang berbau pemerintahan. Tak mau masuk kantor dengan rentang aturan tertentu. Menangani hal yang sama hampir setiap hari. Mengenakan seragam yang sudah diwajibkan.

Sekali lagi, saya belum berminat...

Meski bekerja sebagai jurnalis, seperti sekarang ini, saya akui banyak kehilangan waktu bersantai.

Waktu luang yang harus tersisihkan oleh momen mencari dan merangkum berita. Sesudahnya, saya masih harus ke kantor "nyetor muka" ke redaktur terkait berita yang dikirimkan. Saya hanya sekali-kali saja mangkir-mangkir nakal. -,-

Tak cukup lagi waktu bersantai dan nge-cappuccino dengan teman-teman sekadar berbagi tawa. Meluangkan waktu melirik gadis-gadis manis. Kehilangan waktu cuci mata di toko-toko buku. Tak ada lagi waktu menonton film. Tak punya banyak waktu menemui adik-adik di lembaga pers kampus (LPM Profesi) sekadar "mendorong" kabar tabloidnya.

Namun, saya mencanduinya....

Berapa kali pun saya memasang wajah memelas usai diomeli redaktur, mengulangi tulisan yang masih harus diupgrade keesokan harinya, kecewa saat tulisan tak dimuat, kecewa pula saat tulisan yang dimuat tak sebanyak yang terkirim, kelaparan menunggui rapat listing malam hari oleh redaktur di desk olahraga, ketinggalan angkot dan tidak dapat tebengan motor, saya tetap suka kesulitan itu.

Pada dasarnya, saya menikmati tantangannya. Kedewasaan dan cara berpikir dewasa dibangun dari sebanyak apa menghadapi masalah... :)



--Imam Rahmanto--

*bagi kalian yang tergolong suka bermanja-manja dan tak suka tantangan, ya sudah, saya takkan pernah menyarankan jadi jurnalis.

You Might Also Like

0 comments