Pesan-pesan

Desember 10, 2015

Baca Juga

"Nak, kalau pagi, jangan lupa tetap sarapan. Biar mo' (cuma) mie instan saja. Yang penting perutmu terisi," pesan mamak beberapa minggu lalu.

Saya memang baru saja pulang dari kampung halaman. Menuntaskan rindu yang tertahan, diiringkan dengan tuntutan adminsitrasi kependudukan saya. Biar cuma sehari, selalu ada wajah ibu yang berseri-seri menyambut anaknya.

Saya selalu suka membuat kejutan saat hendak pulang ke rumah. Dengan begitu, saya bisa menikmati kerutan di rona wajah mamak yang kian menua. Ia terkejut sejenak. Berlanjut wajah data. Mamak memang tak mampu berekspresi layaknya sinetron yang kerap ditontonnya tiap hari.

"Loh, kamu kok pulang?"

Saya kerap hanya menjawab dengan senyum sumringah. Saya rindu masakan mamak. Biar cuma sehari, mamak juga suka membuatkan makanan kesukaan anaknya.

Pulang mendadak, sebenarnya sekaligus tak ingin terlalu banyak "diawasi" di perjalanan. Setiap jam menanyakan kabar tentang keberadaan di jalan. Hehe...

"Tetap shalat loh nak, apapun keadaanmu. Tak boleh bolong," pesan bapak, selalu.

Dulu, bapak hanya berpesan tanpa pernah menunjukkan kewajibannya itu. Mungkin, sebagai orang tua yang baik, ia ingin mengajarkan hal-hal baik pada anaknya. Setelah menderita sakit berkepanjangan, paraplegia, ia baru menyadari betapa pentingnya meluangkan waktu barang 5-10 menit "mengobrol" dengan Yang Kuasa. Kini, waktu shalat Bapak juga ditambahi dengan membaca kitab Suci Alquran.

Bapak memang banyak berubah. Tak lagi mengisap rokok. Tak lagi menyeruput kopi pekat. Hanya saja, keinginan agar anak-anaknya berlabuh di Pe-En-Es masih kukuh hingga kemarin. Itu menjadi satu-satunya pekerjaan yang menurut Bapak punya jaminan masa tua buat anak-anaknya.

Wajar jikalau saya mesti lebih banyak berjuang untuk membuktikan bahwa pekerjaan sebagai jurnalis justru lebih menjanjikan. Banyak pengalaman. Banyak perjalanan. Banyak kenalan. Banyak tantangan. Hingga banyak pendapatan (semoga).

"Jangan bertengkar lagi ya, Kak," pesan adik saya.                                                                 

Ia selalu tahu kapan harus menenangkan saya. Setiap kali mendengar omongan Bapak tentang keluarga, saya harus menahan kepala yang berkecamuk. Terkadang, saya tak bisa hanya diam menanggapi obrolan Bapak. Sudah sewajarnya karena anaknya tak sekecil dulu lagi.

Lekat di kepala, adik saya yang dulu selalu terisak-isak di tengah perbincangan telepon. Lantaran rindu dan sakit yang berpadu jadi satu. Saya jadi tak tega menelantarkan rindunya, hingga memutuskan "kembali" ke pelukan bapak dan mamak.

***

"Bangun. Shalat subuh, ndak boleh lupa," dan satu suara yang tak bosan membuka mata saban hari. 

Seseorang yang justru tak pernah saya sangka bakal menyita separuh perhatian saya.

Saya dipertemukannya kembali dengan pagi. Semenjak bergelut di liputan olahraga, yang sebagian besar beraktivitas siang dan sore, ritme bangun pagi saya mulai berubah. Saya terbiasa bangun di atas pukul 8 pagi. Akh, shalat subuh pun sudah serupa shalat dhuha.

Maka ia menjadi "alarm" khusus tiap pagi. Meski, sekali-dua kali saya masih sempat keterusan tidur usai mencermati suaranya dari seberang telepon. _ _"

Meski begitu, saya perlahan menikmatinya. Caranya menyadarkan saya setiap fajar. Caranya membuat saya lupa akan sesuatu. Caranya mencintai pagi hari, kendati saya lebih menyukai senja. Bukankah perbedaan saling melengkapkan? Sama halnya dulu ketika saya menikmati banyak persamaan, yang justru tak melekatkan. Seperti kutub magnet.

"Bersyukurlah," pesan Tuhan dalam salah satu ayatnya...




--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments